Select Menu

SaintekSIROH

PKS BERKHIDMAT UNTUK RAKYAT

BERITA SIAK

FIQIH

SIROH

Kesehatan

Saintek

Video Pilihan


pkssiak.org - Hakikat kesyukuran dalam Rajut kisah #Garam di buku "Lapis Lapis Keberkahan" ustadz @salimafillah

1. Ini kisah sebutir #Garam.

2. Titah Ar Rahman kepadanya adalah untuk mengasinkan lidah dan mengisi darah seorang hamba hina bernama Salim, yang tinggal di Yogyakarta.

3. Betapa jauh baginya, sebab ia masih terjebak di dalam ombak, di Laut Jawa yang bergolak.

4. Setelah terombang-ambing bersama penantian yang panjang, angin musim bergerak ke timur, menggesernya pelan-pelan menuju pesisir Madura.

5. Dan petani-petani garam di Bangkalan, membelokkan arus air ke tambak-tambak mereka.

6. Betapa bersyukur sebutir garam itu saat ia mengalir bersama air memasuki lahan penguapan. Penunaian tugasnya kian dekat.

7. Tiap kali terik mentari menyinari, giat para petambak itu menggaru ke sana kemari, agar bebutir yang jutaan jumlahnya kian kering dan mengkristal.

8. Sebutir #Garam yang kita tokohkan dalam cerita ini,

9. Harap-harap cemas semoga ia beruntung dimasukkan ke dalam karung goni.

10.  Sebab sungguh, ada bebutir yang memang tugasnya berakhir di sini. Tertepikan bersama becekan lumpur di sudut-sudut ladang #Garam.

11.  Dan dia terpilih, terbawa oleh para pengangkut ke pabrik pemurnian di Pamekasan.

12.  Sebakda melalui serangkaian pembasuhan dan pengisian zat-zat yang konon mendukung kesehatan, dia dikemas rapi.

13.  Digudangkan untuk menunggu pengepakan dan pengiriman.

14.  Betapa masih panjang jalannya, betapa masih lama berjumpa dengan sosok yang ia dijatahkan sebagai rizqi baginya.

15.  Ringkasnya, setelah berbulan, ia malang melintang menuju Jakarta, lalu Semarang, sebelum akhirnya tiba di Yogyakarta.

16.  Dari pasar induknya, terlempar ia ke pasar kota, baru diambil pedagang pasar kecamatan akhirnya. #Garam

17.  Lalu terkulaklah ia oleh pemilik warung kecil, yang rumahnya sebelah-menyebelah dengan makhluq yang ditujunya. Kian dekat, makin rapat. #Garam

18.  Ketika seorang wanita, istri dari lelaki yang akan ia tuju dalam amanah yang diembannya, membeli dan menentengnya pulang, betapa haru rasanya. #Garam

19.  Masuklah ia ke dalam masakan lezatnya, berenang dan melarutkan dirinya. #Garam

20.  Lalu terdengar suara, “Sayang, silakan sarapan. Masakannya sudah siap.” #Garam

21.  Dan lelaki itu, bergerak pelan dari kamarnya, menjemputnya dengan sebuah suapan yang didahului doa. #Garam

22.  Segala puji bagi Allah, yang memberi titah untuk mengasinkan lidah dan mengisi darah. #Garam

23.  Segala puji bagi Allah, yang mengatur perjumpaannya dengan makhluq ini sesudah perjalanan yang tak henti-henti. #Garam

24.  Segala puji bagi Allah, yang menyambutkan doa bagi tunainya tugas yang diembannya. #Garam

25.  Betapa jarang kita mentafakkuri rizqi. Seakan semua yang kita terima setiap hari adalah hak diri yang tak boleh dikurangi. #Garam

26.  Seakan semua yang kita nikmati setiap hari adalah jatah rutin yang murni dan tak boleh berhenti. #Garam

27.  Seakan semua yang kita asup setiap hari adalah memang begitulah adanya lagi tak boleh diganggu gugat. #Garam

28.  Padahal, hatta sebutir garampun adalah rizqi Allah yang menuntut disyukuri. #Garam

29.  Hatta sebutir garam, menempuh perjalanan yang tak mudah lagi berbulan, #Garam

30.  Untuk menemui pengasupnya yang hanya berpindah dari kamar tidur ke ruang makan. #Garam

31.  Betapa kecil upaya kita, dibandingkan cara Allah mengirimkan rizqiNya. #Garam

32.  Kita baru merenungkan sebutir garam, bagaimanakah bebijian, sayur, ikan, dan buahnya? #Garam

33.  Bagaimanakah katun, wol, dan sutranya? Bagaimanakah batu, kayu, pasir, dan gentingnya? Bagaimanakah besi, kaca, dan karet rodanya? #Garam

34.  Maka seorang ‘Alim di Damaskus suatu hari berkata tentang sarapannya yang amat bersahaja.

35.  “Gandum dari Najd, garam dari Marw, minyak dari Gaza, dan air Sungai Yordan. Betapa hamba adalah makhluqMu yang paling kaya wahai Rabbana!”

36.  Seperti sabda Nabi saw. “Bukanlah kekayaan itu dari banyaknya bebarang harta”.

37.  Demikian yang direkam Imam Al Bukhari dan Imam Muslim, “Kekayaan sesungguhnya adalah kayanya jiwa.”

38.  Akhirnya, mari kita dengarkan sang Hujjatul Islam. “Boleh jadi kau tak tahu di mana rizqimu”, demikian Imam Al Ghazali berpesan,

39.  “Tetapi rizqimu tahu di manakah engkau. Jika ia ada di langit, Allah akan memerintahkannya turun untuk mencurahimu.

40.  Jika ia ada di bumi, Allah akan menyuruhnya muncul untuk menjumpaimu. Dan jika ia berada di lautan, Allah akan menitahkannya timbul untuk menemuimu.”

41.  Demikian rajut kisah #Garam dalam buku #Lapis-LapisKeberkahan ust. @salimafillah. Semoga kita bisa memahami tentang hakikat kesyukuran.

*dari twit @nurrohmanna2n9
[pkspiyungan.org]


pkssiak.org “Ya Rasulallah”, demikian Ummu Sulaim bergegas menemui Sang Nabi ketika beliau tiba di Madinah dalam hijrah, “Semua lelaki dan perempuan penduduk Yatsrib telah menghaturkan hadiah kepadamu. Namun aku sungguh tak memiliki apa-apa untuk dipersembahkan. Maka inilah putraku Anas ibn Malik. Bahagiakanlah kami dengan menjadikannya sebagai pelayanmu.”

Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam menerima wakaf Ummu Sulaim itu dengan berbahagia. Beliau jadikan Anas sebagai sebaik-baik khadam, dan beliau perlakukan Anas dengan sebaik-baik keadaban. “Sepuluh tahun aku berada di rumah Rasulullah”, ujar Anas kelak, “Dan tak pernah sama sekali beliau menegurku dengan kata-kata, ‘Mengapa kau berbuat ini?’ atau ‘Mengapa tak kaukerjakan itu?’”.

Sejatinya, Anas bukan hanya menjadi pelayan, namun juga seakan dialah putra kesayangan dan murid Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang paling dekat. “Kami melihat Anas ibn Malik seakan-akan dia adalah bayang-bayang Rasulullah yang mengikuti beliau ke manapun pergi”, demikian kesaksian beberapa sahabat. “Tak ada yang shalatnya lebih mirip Rasulullah”, begitu kata Abu Hurairah, “Daripada putra Ummu Sulaim.”

Demikianlah. Selama sepuluh tahun, detak-detik kehidupan Anas ibn Malik berdenyut dan berdentam bersama derasnya wahyu dan luhurnya nubuwwah.Detak dan detiknya adalah lapis-lapis keberkahan.

Betapa berbahagianya dia menerima doa Rasulullah, “Ya Allah panjangkanlah umurnya, perbanyaklah anak dan hartanya, serta berkahilah baginya di dalam kesemua itu.” Maka Anas hidup hingga usia seratus tahun atau lebih, sentausa di tengah keluarga besarnya, sejahtera dengan kecukupan yang penuh berkah.

Dan Anas tahu, di rumah Rasulullah itu dia menghirup udara yang amat berharga, berada di antara debu-debu yang sangat bernilai, dan mengeja detak-detik yang penuh dengan lapis-lapis keberkahan. Maka dia mengerahkan segenap indranya untuk mengambil ayat-ayat ilmu, titis-titis rizqi, dan gerak-gerak ‘amal dari Sang Nabi, mendekapnya bagai permata di dalam jiwa, menuangkannya sebagai daya bagi raga.

Adalah Anas ibn Malik mengumpulkan air bekas mandi Rasulullah, lalu mencampurkannya ke dalam air mandinya. Adalah Anas ibn Malik mengumpulkan keringat Rasulullah, dan mencampurkannya ke dalam minyak wangi yang dibalurkan ke sekujur badannya. Adalah Anas ibn Malik mengumpulkan rambut yang jatuh, gigi yang tanggal, dan benda-benda peninggalan Rasulullah dari sandal hingga surbannya, untuk kelak dia wasiatkan diikutsertakan dalam penguburan dirinya.

Tapi yang paling berkah dari itu semua adalah, bahwa dari Anas ibn Malik kelak, ummat ini berhutang 2286 hadits yang dia riwayatkan. Betapa berharga matanya yang menyaksikan, telinganya yang menyimak, dan akalnya yang memahami sepanjang  detak-detik kebersamaannya dengan Rasulullah. Kini, tiap kali hadits-hadits itu ditulis, dihafal, diajarkan, dan diamalkan oleh ummat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Anas ibn Malik berhak atas pahala yang tak henti mengalir hingga hari kiamat.

Sang titipin, menjelma menjadi mata air ilmu dan samudra keberkahan. 


Oleh: Salim A. Fillah
[pkssumut.or.id]



pkssiak.org Mari sejenak mendampingi seorang Ibu yang melahirkan.

Makhluq Allah yang mulia ini nyawanya berada di ujung tanduk. Serangan rasa nyeri luar biasa menyergap ketika rahim mulai berkontraksi. Makin lama kian sering dan kian menyakitkan. Otot-otot serasa dikejangkan dan tulang-tulang seperti dibetoti. Puncaknya, ketika sang bayi sudah saatnya menghirup udara dunia, maka yang dirasakan sang Ibu adalah perobekan luas, luka jerih yang berdarah-darah, dan tubuh yang dipaksa untuk berkelojotan menuntaskan bebannya.

Rasa sakit itu, sungguh tak terkatakan.

Tetapi lihatlah itu, ketika luka robek masih menyemburkan darah, ketika tenaga tubuh habis lunglai disadap persalinan, ketika rasa lelah timbun-menimbun dengan nyeri menyayat tanpa henti, sang ibu tersenyum begitu indahnya. Seakan semua rasa sakit itu sirna ketika sang bayi yang menangis demikian keras diletakkan di atas dadanya, dalam pelukannya.

Terbayangkah jika rasa sakit dahsyat yang kemudian menguap dalam sekejap macam itu dialami juga oleh seorang pria?

***

Setelah mendaki, lelaki itu masuk terlebih dahulu, menyibak ruang cekung di antara batu. Rikat matanya memeriksa tiap pojok. Dia temukan setidaknya ada empat lubang, sarang makhluk berbisa di gua itu. “Tunggulah sejenak ya Rasulallah”, ujarnya. Dipinggirkannya semua kerikil dan batu. Disapunya lantai dengan surban hingga pasirnya rata dan lembut. Diletakkannya bekal di sudut-sudut.

Lalu diapun duduk. Ditepatkannya selonjoran kaki dan tapak-tapak tangannya pada lubang-lubang yang diperkirakan dihuni binatang berbisa. Anggota tubuhnya dikerahkan untuk menutup bahaya sengatan dari liang-liang itu. Lalu Rasulullah pun masuk, merebahkan diri untuk beristirahat di pangkuan lelaki itu.

Lelaki itu, Abu Bakr Ash Shiddiq yang kurus badannya, pucat kulitnya, dan lembut hatinya; mendampingi Muhammad Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hijrahnya. Kali ini, mereka sedang berada di Gua Tsur untuk menghindarkan diri dari kejaran Quraisy yang murka berat atas lolosnya Muhammad. Dan inilah mereka di sini, menghindar dari jalur perjalanan beberapa jenak untuk mengecoh para pemburu nyawa Sang Nabi.

Belum beberapa lama mereka di situ, Abu Bakr telah mulai merasa sengatan-sengatan binatang berbisa mencekatnya. Rasa ngilu, pedih, dan nyeri yang tak tertahankan menjalar seakan hendak merusakkan syaraf dan melumpuhkan badannya. Tapi dia tetap diam dan menggigit bibir. Ditahannya rasa sakit itu demi agar Sang Nabi tak terganggu istirahatnya. Beliau Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam pulas sekali.

Beberapa lelaki Quraisy tampaknya mengetahui persembunyian mereka dan memeriksa pintu gua. Abu Bakr mulai gelisah dan disergap cemas. Tepat pada saat itu, sebulir air mata tak mampu lagi ditahannya hingga jatuh menitik berketipak di pipi Sang Nabi. Beliau bangun.

“Jangan sedih hai Abu Bakr”, ujar beliau menatap sahabatnya dengan teduh, “Allah bersama kita.”

Nabi mengatakan “jangan sedih” alih-alih “jangan takut”, sebab meski ketakutan meraja, sungguh Abu Bakr lebih tercekam oleh kesedihannya memikirkan sahabat tercinta. Betapa mereka saling mengerti isi hati.

“Orang-orang itu ya Rasulallah”, ucap Abu Bakr yang telah lupa pada sakitnya, “Andai mereka melihat ke arah kaki mereka sendiri, pastilah mereka akan mengetahui keberadaan kita.”

“Bagaimana pendapatmu hai Abu Bakr”, lanjut Rasulullah sambil tersenyum, “Jika ada dua orang dan yang ketiganya adalah Allah?”

Kalimat Rasulullah dan senyum beliau, ketenangan dan keteduhan wajahnya tiba-tiba membuat Abu Bakr serasa diguyur embun sejuk ketenteraman. Segala rasa sakit akibat sengatan binatang-binatang jahat itu tak lagi terasa. Dunia serasa dipenuhi cahaya yang berpendar-pendar, hangat dan penuh cinta. Sebab mereka berdua telah menyatu, dengan Allah sebagai saksinya, sebagai yang ketiganya.

Inilah cinta penawar luka. Adakah kita punya?


(sumber: http://salimafillah.com/cinta-penawar-luka/)

pkssiak.org  -

Barangsiapa memperbagus hal-hal tersembunyinya, niscaya Allah jelitakan apa yang tampak dari dirinya.
Barangsiapa memperbaiki hubungannya dengan Allah, niscaya Allah baikkan hubungannya dengan sesama.
Barangsiapa disibukkan oleh urusan agamanya, maka Allah yang kan mencukupinya dalam perkara dunia.

-‘Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz-

Seandainya kita adalah seekor cicak, mungkin sudah sejak dulu kita berteriak, “Ya Allah, Kau salah rancang dan keliru cetak!”

Sebab cicak adalah binatang dengan kemampuan terbatas. Dia hanya bisa merayap meniti dinding. Langkahnya cermat. Jalannya hati-hati. Sedang semua yang ditakdirkan sebagai makanannya, memiliki sayap dan mampu terbang ke mana-mana. Andai dia berfikir sebagai manusia, betapa nelangsanya. “Ya Allah”, mungkin begitu dia mengadu, “Bagaimana hamba dapat hidup jika begini caranya? Lamban saya bergerak dengan tetap harus memijak, sedang nyamuk yang lezat itu melayang di atas, cepat melintas, dan ke manapun bebas.” Betapa sedih dan sesak menjadi seekor cicak.

Tapi mari ingat sejenak bahwa ketika kecil dulu, orang tua dan guru-guru mengajak kita mendendang lagu tentang hakikat rizqi. Lagu itu berjudul, ‘Cicak-cicak di Dinding’.

Bahwa tugas cicak memang hanya berikhtiar sejauh kemampuan. Karena soal rizqi, Allah lah yang memberi jaminan. Maka kewajiban cicak hanya diam-diam merayap. Bukan cicak yang harus datang menerjang. Bukan cicak yang harus mencari dengan garang. Bukan cicak yang harus mengejar dengan terbang.

“Datang seekor nyamuk.”

Allah Yang Maha Mencipta, tiada cacat dalam penciptaanNya. Allah Yang Maha Kaya, atasNya tanggungan hidup untuk semua yang telah dijadikanNya. Allah Yang Maha Memberi Rizqi, sungguh lenyapnya seisi langit dan bumi tak mengurangi kekayaanNya sama sekali. Allah Yang Maha Adil, takkan mungkin Dia bebani hambaNya melampaui kesanggupannya. Allah Yang Maha Pemurah, maka Dia jadikan jalan karunia bagi makhluqNya amatlah mudah.

“Datang seekor nyamuk.”

Allah yang mendatangkan rizqi itu. Betapa dibanding ikhtiyar cicak yang diam-diam merayap, perjalanan nyamuk untuk mendatangi sang cicak sungguh lebih jauh, lebih berliku, dan lebih dahsyat. Jarak dan waktu memisahkan keduanya, dan Allah dekatkan sedekat-dekatnya. Bebas si nyamuk terbang ke mana jua, tapi Allah bimbing ia supaya menuju pada sang cicak yang melangkah bersahaja. Ia tertakdir dengan bahagia, menjadi rizqi bagi sesama makhluqNya, sesudah juga menikmati rizqi selama waktu yang ditentukanNya.

“Dan tiada dari segala yang melata di bumi melainkan atas tanggungan Allah lah rizqinya. Dia Maha Mengetahui di mana tempat berdiam dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab Lauhul Mahfuzh yang nyata.” (QS Huud [11]: 6)

“Daabbah”, demikian menurut sebagian Mufassir, “Adalah kata untuk mewakili binatang-binatang yang hina bersebab rendahnya sifat mereka, terbelakang cara bergeraknya, kotor keadaannya, liar hidupnya, dan bahkan bahaya dapat ditimbulkannya.” Allah menyebut daabbah di ayat ini, seakan-akan untuk menegaskan; jika binatang-binatang rendahan, terbelakang, kotor, liar, dan berbahaya saja Dia jamin rizqinya, apatah lagi manusia.

***

“Sesungguhnya rizqi memburu hamba”, demikian sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagaimana dicatat oleh Imam Ath Thabrani, “Lebih banyak dari kejaran ajal terhadapnya.”

Ini kisah sebutir garam. Titah Ar Rahman kepadanya adalah untuk mengasinkan lidah dan mengisi darah seorang hamba hina bernama Salim, yang tinggal di Yogyakarta. Betapa jauh baginya, sebab ia masih terjebak di dalam ombak, di Laut Jawa yang bergolak.

Setelah terombang-ambing bersama penantian yang panjang, angin musim bergerak ke timur, menggesernya pelan-pelan menuju pesisir Madura. Dan petani-petani garam di Bangkalan, membelokkan arus air ke tambak-tambak mereka. Betapa bersyukur sebutir garam itu saat ia mengalir bersama air memasuki lahan penguapan. Penunaian tugasnya kian dekat.

Tiap kali terik mentari menyinari, giat para petambak itu menggaru ke sana kemari, agar bebutir yang jutaan jumlahnya kian kering dan mengkristal. Sebutir garam yang kita tokohkan dalam cerita ini, harap-harap cemas semoga ia beruntung dimasukkan ke dalam karung goni. Sebab sungguh, ada bebutir yang memang tugasnya berakhir di sini. Tertepikan bersama becekan lumpur di sudut-sudut ladang garam.

Dan dia terpilih, terbawa oleh para pengangkut ke pabrik pemurnian di Pamekasan. Sebakda melalui serangkaian pembasuhan dan pengisian zat-zat yang konon mendukung kesehatan, dia dikemas rapi, digudangkan untuk menunggu pengepakan dan pengiriman. Betapa masih panjang jalannya, betapa masih lama berjumpa dengan sosok yang ia dijatahkan sebagai rizqi baginya.

Ringkasnya, setelah berbulan, ia malang melintang menuju Jakarta, lalu Semarang, sebelum akhirnya tiba di Yogyakarta. Dari pasar induknya, terlempar ia ke pasar kota, baru diambil pedagang pasar kecamatan akhirnya. Lalu terkulaklah ia oleh pemilik warung kecil, yang rumahnya sebelah-menyebelah dengan makhluq yang ditujunya. Kian dekat, makin rapat.

Ketika seorang wanita, istri dari lelaki yang akan ia tuju dalam amanah yang diembannya, membeli dan menentengnya pulang, betapa haru rasanya. Masuklah ia ke dalam masakan lezatnya, berenang dan melarutkan dirinya. Lalu terdengar suara, “Sayang, silakan sarapan. Masakannya sudah siap.” Dan lelaki itu, bergerak pelan dari kamarnya, menjemputnya dengan sebuah suapan yang didahului doa.

Segala puji bagi Allah, yang memberi titah untuk mengasinkan lidah dan mengisi darah. Segala puji bagi Allah, yang mengatur perjumpaannya dengan makhluq ini sesudah perjalanan yang tak henti-henti. Segala puji bagi Allah, yang menyambutkan doa bagi tunainya tugas yang diembannya.

***

Betapa jarang kita mentafakkuri rizqi. Seakan semua yang kita terima setiap hari adalah hak diri yang tak boleh dikurangi. Seakan semua yang kita nikmati setiap hari adalah jatah rutin yang murni dan tak boleh berhenti. Seakan semua yang kita asup setiap hari adalah memang begitulah adanya lagi tak boleh diganggu gugat.

Padahal, hatta sebutir garampun adalah rizqi Allah yang menuntut disyukuri.

Hatta sebutir garam, menempuh perjalanan yang tak mudah lagi berbulan, untuk menemui pengasupnya yang hanya berpindah dari kamar tidur ke ruang makan. Betapa kecil upaya kita, dibandingkan cara Allah mengirimkan rizqiNya. Kita baru merenungkan sebutir garam, bagaimanakah bebijian, sayur, ikan, dan buahnya? Bagaimanakah katun, wol, dan sutranya? Bagaimanakah batu, kayu, pasir, dan gentingnya? Bagaimanakah besi, kaca, dan karet rodanya?

Maka seorang ‘Alim di Damaskus suatu hari berkata tentang sarapannya yang amat bersahaja, “Gandum dari Najd, garam dari Marw, minyak dari Gaza, dan air Sungai Yordan. Betapa hamba adalah makhluqMu yang paling kaya wahai Rabbana!”

Dia mengingatkan kita pada sabda Rasulullah. “Bukanlah kekayaan itu dari banyaknya bebarang harta”, demikian yang direkam Imam Al Bukhari dan Imam Muslim, “Kekayaan sesungguhnya adalah kayanya jiwa.”

Akhirnya, mari kita dengarkan sang Hujjatul Islam. “Boleh jadi kau tak tahu di mana rizqimu”, demikian Imam Al Ghazali berpesan, “Tetapi rizqimu tahu di manakah engkau. Jika ia ada di langit, Allah akan memerintahkannya turun untuk mencurahimu. Jika ia ada di bumi, Allah akan menyuruhnya muncul untuk menjumpaimu. Dan jika ia berada di lautan, Allah akan menitahkannya timbul untuk menemuimu.”

Di lapis-lapis keberkahan, ada keyakinan utuh yang harus ditanamkan, bahwa Allah Yang Mencipta, menjamin rizqi bagi ciptaanNya.

***

Ada dua cara Allah mengaruniakan rizqi dalam dua keadaan yang dialami oleh Maryam binti ‘Imran, salah satu wanita termulia sepanjang zaman.

Kita mengenang, betapa agung nadzar istri ‘Imran untuk menjadikan buah hati yang dikandungnya sebagai pengkhidmah di Baitul Maqdis. Yang dia bayangkan adalah seorang anak lelaki yang akan menjadi imam ibadah di Al Quds, pengurai Taurat yang fasih, dan pembimbing ummat yang penuh teladan. Tetapi Allah yang Maha Berkehendak mengaruniakan anak perempuan.

“Maka Rabbnya menerima nadzar keluarga ‘Imran dengan penerimaan yang baik. Allah tumbuhkan dan didik Maryam dengan pengasuhan yang bagus, dan Allah jadikan Zakaria sebagai penanggungjawab pemeliharaannya. Setiap kali Zakaria masuk menemuinya di dalam mihrab, dia dapati ada rizqi di sisinya. Berkatalah dia, “Hai Maryam, dari manakah kaudapatkan ini?” Maryam menjawab, “Ia dari sisi Allah.” Sesungguhnya Allah mengaruniakan rizqi pada siapapun yang dikehendakiNya tanpa hisab.” (QS Ali ‘Imran [3]: 37)

Betapa jua, Allah Yang Maha Tahu tetap menerima nadzar itu. Maka sang Bunda membawa bayi Maryam ke Baitul Maqdis di mana para pemuka Bani Israil, Ahbar, dan para Rahib berkumpul, berharap untuk mendapatkan hak asuh atas Maryam yang yatim. Ketika mereka melemparkan pena-pena dalam undian, Allah mengamanahkan Maryam pada Zakaria.

Maryam tumbuh di lingkungan yang baik, dengan ta’dib yang baik, dibimbing insan terbaik. Jadilah dia seorang ahli ‘ibadah di Mihrab Baitul Maqdis, menjaga kesuciannya, mengkhidmahkan diri untuk rumah Allah. Dengan keyakinan utuh akan kuasa dan kemurahan Rabbnya, bahkan seorang Nabi tertakjub-takjub melihat limpahan anugerah Allah bagi gadis suci ini.

Tapi setiap insan diuji Allah dengan karunia terkait apa yang paling dijunjung tinggi oleh jiwanya. Pun juga Maryam yang begitu taat beribadah, yang lahir batin menjaga kebersihan dirinya, yang kudus dalam hati, fikiran, serta perbuatannya. Allah memilihnya untuk mengandung bayi ajaib, yang tercipta tanpa Ayah, yang menghuni rahimnya tanpa dia terlebih dulu disentuh seorang pria.

Karunia mengandung ujian, dan ujian mengandung karunia. Demikianlah hakikatnya.

Inilah dia di hari itu, berada di tempat yang jauh ke timur, sekira 8 mil dari Mihrabnya di Baitul Maqdis. “Dapatlah kita merasakan”, demikian ditulis Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhar, “Bahwa hidup Maryam ketika itu memang tersisih jauh dari kaum keluarga. Kegelisahan diri karena terpaan sakit dan kejang yang bertubi datang sebagaimana lazimnya wanita yang akan melahirkan menyebabkan dia mencari tempat yang sunyi dan teduh.”

“Maka rasa sakit menjelang persalinan memaksanya bersandar pada pangkal pohon kurma. Dia berkata, “Aduhai celaka, alangkah baik seandainya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tak berarti, lagi dilupakan.” (QS Maryam [20]: 23)

Di bawah naungan pohon itu, perasaannya mengawang, fikirannya melayang. Bahwa anak itu akan lahir, tapi tiada ayah baginya. “Adapun Maryam sendiri percaya bahwa ini adalah kehendak Allah”, lanjut Buya Hamka, “Tetapi apakah kaumnya akan percaya? Siapa pula yang akan percaya? Sepanjang zaman, belum pernah ada perawan yang hamil serta beranak tanpa ada lelaki yang menjadi bapak.”

Maka terlontarlah kalimat yang menyiratkan sesalan atas ketetapan Allah itu, bersebab rasa berat yang menekan-nekan hati dan menyesakkan dadanya. “Aduhai celaka, alangkah baik seandainya aku mati sebelum ini”, seru Maryam. Yakni sebelum dirinya hamil dengan cara ganjil yang sukar dijelaskan pada kaum Bani Israil yang sebagiannya suka usil.

“Dan aku menjadi barang yang tak berarti lagi dilupakan”, lanjut keluhan Maryam. Sungguh Maryam berharap tidak ada insan yang tahu, tidak ada siapapun yang mengenal, dan tidak sampai menjadi buah mulut orang-orang. “Memang”, jelas Buya Hamka, “Jikalau pencobaan telah memuncak sedemikian rupa, datang saat manusia merasa lebih baik mati saja.”

Allah Maha Mendengar, lagi Maha Mengetahui.

“Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah, “Janganlah engkau bersedih hati. Sesungguhnya Rabbmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan goyangkanlah pangkal pohon kurma itu ke arahmu. Niscaya ia akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.” (QS Maryam [20]: 24-25)

Yang pernah bertamu pada Allah dan menjenguk Rasulullah, pastinya telah melihat pohon kurma. Kokoh, gagah, tinggi, dan berruas-ruas sisa tandan di bagian bawahnya. Di Madinah Al Munawwarah, kami pernah mencoba menggoyangkannya, dan batang itu tak bergeming sedikitpun juga. Maka bayangkanlah perempuan yang lemah berdarah-darah setelah melahirkan, serta berada dalam perasaan tak karuan, yang terharuskan mengguncangnya agar buah ranumnya jatuh ke bumi.

Inilah ikhtiyar. Bagi Maryam, ia berat dan sukar.

Tapi iman memanglah yang utama, mentaati Allah harus jadi yang mula-mula. Maka dengan kemurahan dan kasihNya, saat Maryam menghabiskan seluruh sisa tenaganya untuk menggerakkan pangkal pokok yang besar itu, satu demi satu, ruthab pun lepas dari tangkainya.

Sebagian ‘ulama menyatakan, tak sebagaimana ketika dia berada di Mihrab dengan iman yang berseri-seri dan ibadah yang terjaga sekali, ucapan Maryam yang menyesali diri menunjukkan ketaksempurnaan penerimaannya akan ketetapan Allah. Hal itulah yang membuatnya tak mendapat rizqi yang langsung tersaji dari langit, namun harus mengupayakannya dengan meengguncang pokok kurma agar kurma basah di atas sana jatuh ke arahnya.

Allah menjamin rizqi Maryam dalam dua keadaan dengan dua cara penganugrahan. Lalu kita tahu, di lapis-lapis keberkahan, keyakinan yang tak lagi utuh, menambahkan peluh pada jalan ikhtiyar yang harus kita tempuh.

Salim A Fillah

*http://salimafillah.com/cicak-di-dinding-dan-keyakinan-utuh/
Oleh: Salim A. Fillah

pkssiak.org - Kemarin, lelaki kekar itu memukul seseorang sekali hantam. Dan korbannya mati. Semalaman dia gelisah, celingak-celinguk mengkhawatirkan dirinya. Si korban yang tewas adalah orang Qibthi, dari bangsa sang Fir’aun penguasa Mesir. Adapun dia dan teman-temannya dari keturunan Ya’qub, ‘Alaihissalam, suku pendatang yang diperbudak. Penguasa kejam itu bisa berbuat hal tak terbayangkan pada sahaya-sahaya yang melanggar aturan.

Lelaki dalam cerita di Surah Al Qashash itu, Musa namanya. Dan pagi ini, kawan yang tempo hari dibelanya hingga dia tak sengaja menghilangkan nyawa kembali meminta bantuannya. Lagi-lagi teman sekampung yang memang pembuat onar itu bersengketa dengan seorang penduduk Lembah Nil. “Sungguh kamu ini benar-benar pencari gara-gara yang sesat perbuatannya!”, hardik Musa.

Tapi Musa sukar bersikap lain. Dicekaunya leher pria Qibthi itu, dan kepalan tangannya siap meninju. “Wahai Musa”, kata orang itu dengan takut-takut, “Apakah kau bermaksud membunuhku seperti pembunuhan yang kau lakukan kemarin?” Musa terhenyak. Rasa bersalah menyergapnya, keraguan melumuri hatinya. Cengkeramannyapun mengendur dan lepas. Melihat itu si calon korban tumbuh nyalinya. “Kau ini memang hanya bermaksud menjadi orang yang sewenang-wenang di negeri ini!”, semburnya.

“Hai Musa”, tetiba muncul seorang lelaki yang tergopoh dari ujung kota, “Para pembesar negeri di sisi Fir’aun sedang berunding untuk membunuhmu. Keluarlah segera!” Musa bimbang. “Pergilah cepat!”, tegas orang itu, “Sungguh aku ini tulus memberimu saran!”

Tanpa tahu jalan dan tanpa ada kawan, Musa bergegas lari. Dengan penuh was-was dan galau dia ayunkan kaki. Batinnya menggumamkan harap, “Semoga Rabbku memimpinku ke jalan yang benar”. Langkahnya lebar-lebar dan tak berjeda, pandangnya lurus ke depan tanpa menoleh. Dan setelah menempuh jarak yang jauh; memburu nafas hingga menderu, menguras tenaga hingga lemas, memerah keringat hingga lemah; inilah dia kini, sampai di sebuah mata air.

Negeri itu, nantinya kita tahu, bernama Madyan. Musa melihat orang berrebut berdesak-desak memberi minum ternak-ternak. Adapun di salah satu sudut yang jauh, dua gadis memegang kekang kambing-kambingnya yang meronta, menahan mereka agar tak mendekat ke mata air meski binatang-binatang itu teramat kehausan tampaknya.

Musa nantinya akan disifati sebagai lelaki perkasa oleh salah seorang gadis itu. Bukan tersebab dia menceritakan kisahnya yang membunuh dengan sekali pukul, melainkan karena dalam lapar hausnya, lelah payahnya, takut cemasnya, serta asing kikuknya; Musa sanggup menawarkan bantuan. Orang yang masih mau dan mampu menolong di saat dirinya sendiri memerlukan pertolongan adalah pria yang kuat.
 

Musa melakukannya. Musa menggiring domba-domba itu ke mata air. Ketika dilihatnya ada batu menyempitkan permukaan situ, dia sadar inilah salah satu sebab orang-orang harus berdesak-desakan. Maka dengan sisa tenaga, diangkatnya batu itu, disingkarkannya hingga sumur itu lapang tepiannya. Lagi-lagi Musa membuktikan kekuatannya. Bahwa pria perkasa tidak mengharapkan imbalan dan ganjaran dari manusia.

Tanpa bicara lagi dan tak menunggu ungkapan terimakasih, Musa berlalu seusai menuntaskan tugasnya. Dia menggeloso di bawah sebuah pohon yang kecil-kecil daunnya. Rasa lelah melinukan tulangnya dan rasa lapar mencekik lambungnya. Kemudian dia berdoa, “Rabbi inni lima anzalta ilayya min khairin faqiir. Duhai Pencipta, Pemelihara, Pemberi Rizqi, Pengatur Urusan, dan Penguasaku; sesungguhnya aku terhadap apa yang Kau turunkan di antara kebaikan amat memerlukan.”

***

 Karena desakan hajat yang memenuhi jiwa; sebab keinginan-keinginan yang menghantui angan; kita lalu menghadap penuh harap pada Allah dengan doa-doa. Sesungguhnya meminta apapun, selama ianya kebaikan, tak terlarang di sisi Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Bahkan kita dianjurkan banyak meminta. Sebab yang tak pernah memohon apapun pada Allah, justru jatuh pada kesombongan.

“Kita dianjurkan untuk meminta kepada Allah”, demikian Dr. ‘Umar Al Muqbil menggarisbawahi tadabbur atas doa Musa setelah menolong dua gadis Madyan itu, “Baik hal kecil maupun hal besar”. Dalam kisah ini, sesungguhnya Musa yang kelaparan hendak meminta makanan. Cukup baginya, seandainya dia meminta jamuan kepada orang yang dia telah diberikannya jasa. Cukup baginya, sekiranya dia mengambil imbalan atas kebaikannya.

Tetapi Musa mengajarkan pada kita tiga hal penting dalam doanya. Pertama, bahwa hanya Allah yang layak disimpuhi kedermawananNya, ditadah karuniaNya, dan diharapi balasanNya. Mengharap kepada makhluq hanyalah kekecewaan. Meminta kepada makhluq hanyalah kehinaan. Bertimpuh pada makhluq hanyalah kenistaan.

Apapun hajat kita, kecil maupun besar, ringan maupun berat, remeh maupun penting; hanya Allah tempat mengharap, mengadu, dan memohon pertolongan.

Pelajaran kedua dari Musa adalah adab. Bertatakrama pada Allah, pun juga di dalam doa, adalah hal yang seyogyanya kita utamakan. Para ‘ulama menyepakati tersyariatkannya berdoa pada Allah dengan susunan kalimat perintah, sebagaimana banyak tersebut dalam Al Quran maupun Sunnah. Ia benar dan dibolehkan. Tetapi contoh dari beberapa Nabi dalam Al Quran menunjukkan ada yang lebih tinggi dari soal boleh atau tak boleh. Ialah soal patut tak patut. Ialah soal indah tak indah. Ialah soal adab.

Maka demikian pulalah Musa, ‘Alaihis Salam. Dia tidak mengatakan, “Ya Allah berikan.. Ya Allah turunkan.. Ya Allah sediakan..”. Dia merundukkan diri dan berlirih hati, “Duhai Rabbi; Penciptaku, Penguasaku, Penjamin rizqiku, Pemeliharaku, Pengatur urusanku; sungguh aku, terhadap apa yang Kau turunkan di antara kebaikan, amat memerlukan.”

Yang ketiga, bahwa Allah dengan ilmuNya yang sempurna lebih mengerti apa yang kita perlukan dan apa yang baik bagi diri ini daripada pribadi kita sendiri. Musa menunjukkan bahwa berdoa bukanlah memberitahu Allah apa hajat-hajat kita, sebab Dia Maha Tahu. Berdoa adalah bincang mesra dengan Rabb yang Maha Kuasa, agar Dia ridhai semua yang Dia limpahkan, Dia ambil, maupun Dia simpan untuk kita.

Maka Musa tidak mengatakan, “Ya Allah berikan padaku makanan”. Dia pasrahkan karunia yang dimintanya pada ilmu Allah yang Maha Mulia. Dia percayakan anugrah yang dimohonnya pada pengetahuan Allah yang Maha Dermawan. Diapun mengatakan, “Rabbi, sungguh aku, terhadap apa yang Kau turunkan di antara kebaikan, amat memerlukan.”

***

Gadis itu berjingkat dalam langkah malu-malu. Dia tutupkan pula ujung lengan baju ke wajah sebab sangat tersipu. Musa masih di sana, duduk bersahaja. Tepat ketika bayangan berkerudung itu menyusup ke matanya, lelaki gagah ini menundukkan pandangan.

“..Sesungguhnya Ayahku memanggilmu agar dia dapat membalas kebaikanmu yang telah memberi minum ternak-ternak kami..” (QS Al Qashash [28]: 25)

Allah yang merajai alam semesta memiliki jalan tak terhingga untuk memberikan karuniaNya kepada hamba. Baik untuk yang meminta maupun diam saja, yang menghiba maupun bermasam muka, yang yakin maupun tak percaya; limpahan rahmatNya tiada dapat dihalangi. Allah yang menguasai segenap makhluq memiliki cara tak terbatas untuk menghadirkan penyelesaian bagi masalah hambaNya. Allah yang menggenggam seluruh wujud, mudah bagiNya memilihkan sarana terbaik untuk menjawab pinta dan menghadirkan karunia.

Maka jangan pernah mengharap balasan itu datang dari orang yang pada kitalah budinya terhutang. Tapi dalam kisah ini, Allah pilihkan jawaban doa dan balasan kebaikan melalui orang yang padanya Musa telah menghulurkan bantuan. Bukan sebab tiadanya jalan lain, melainkan karena Allah memang hendak menghubungkan Musa dengan mata air kebaikan yang telah disiapkanNya bagi tugas besarnya kelak. Sebuah keluarga terpilih, yang akan menjadi tempatnya mendewasa dan jadi titik tolak kenabian dan kerasulannya.

Untuk kita insyafi agar diri hanya menggantungkan asa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, bahwa tak selalu Dia membalas kebaikan melalui orang yang menerima pertolongan kita. Hanya, mungkin saja itu terjadi. Sebab ada kebaikan yang Allah persiapkan di balik itu, berlipat-lipat, bergulung-gulung. Seperti yang dialami Musa.

“Berjalanlah di belakangku”, sahut Musa, “Dan berilah isyarat terhadap arah yang kita tuju.” Kita tahu, nanti Musa akan dijuluki sebagai ‘Yang Tepercaya’ karena ucapan ini. Sungguh memang, betapa tepercaya lelaki muda yang tetap menjaga pandangannya, pada gadis asing yang jelita, yang mendatanginya untuk kemudian berjalan hanya berdua.

Maka hari itu berubahlah hidup Musa. Sang pelarian dari Mesir menemukan tambatan hidup. Di rumah seorang bapak tua dari negeri Madyan, dia dijamu makan, dilingkupi perlindungan, diberi tempat tinggal, ditawari pekerjaan, kemudian nantinya dinikahkan, dan akhirnya diberi tugas kenabian.

Musa meminta makanan dengan tatakrama yang baik. Yaitu, dia pasrahkan kebaikan apapun yang hendak diberikan Allah padanya ke dalam cakupan ilmuNya. Musa meyakini bahwa apapun yang akan dikaruniakan Allah padanya adalah lebih baik dari semua dugaan dalam permohonannya. Maka Allah memberinya kelimpahan tak terbayangkan.

Demikianlah Allah, Rabb yang Maha Pemurah. Bahkan apa yang kita tak pernah memintanya, Dia tak pernah alpa memberikannya. Maka pada tiap doa, sesungguhnya kita diharap bersiap untuk menerima yang lebih baik, lebih banyak, dan lebih indah. Di dunia maupun akhirat. Sebab hanya di tanganNyalah segala kebaikan. Sebab Dialah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.

***

“Aku tak pernah mengkhawatirkan apakah doaku akan dikabulkan”, demikian ‘Umar ibn Al Khaththab pernah berkata. “Sebab setiap kali Allah mengilhamkan hambaNya untuk berdoa, maka Dia sedang berkehendak untuk memberi karunia.”

“Yang aku khawatirkan adalah”, lanjut ‘Umar, “Jika aku tidak berdoa.”

Takkan terasa manisnya kehambaan, hingga kita merasa bahwa bermesra pada Allah dalam doa itulah yang lebih penting dari pengabulannya. Takkan terasa lezatnya ketaatan, hingga kita lebih mencintai Dzat yang mengijabah permintaan kita, dibanding wujud dari pengabulan itu.
 

Inilah lapis-lapis keberkahan. Seperti Musa, di lapis-lapis keberkahan kita berlatih untuk meyakini bahwa segala kebaikan ada dalam genggaman Allah. Di lapis-lapis keberkahann, kita juga belajar bahwa ilmu Allah tentang kebaikan yang kita perlukan adalah pengetahuanNya yang sempurna, jauh melampaui kedegilan akal dan kesempitan wawasan kita. Maka di antara jalan berkah adalah, rasa percaya yang diwujudkan dalam tatakrama.

Di lapis-lapis keberkahan, kita mengeja iman dan adab itu dalam doa-doa. Dan inilah firmanNya yang Maha Mulia menutup renungan kita dengan lafal doa yang penuh makna:

“Katakan: duhai Allah, pemilik kerajaan maharaya, Engkau berikan kekuasaan kepada sesiapa yang Kau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan itu dari siapa saja yang Kau kehendaki. Engkau muliakan sesiapa yang Kau kehendaki, dan Engkau hinakan siapa jua yang Kau kehendaki. Di tanganMulah segala kebaikan. Sesungguhnya, Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Engkau memasukkan malam ke dalam siang dan Kau benamkan siang ke dalam malam. Engkau mengeluarkan yang hidup dari yang mati, dan Kau seruakkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau mengenugrahi rizki pada siapapun yang Kau kehendaki tanpa terbatasi.” (QS Ali ‘Imran [3]: 26-27)

pkssiak.org - Pak Prabowo, kami memilih Anda, tapi..

Tapi sungguh orang yang jauh lebih mulia daripada kita semua, Abu Bakr Ash Shiddiq, pernah mengatakan, “Saya telah dipilih untuk memimpin kalian, padahal saya bukanlah orang yang terbaik di antara kalian. Kalau saya berlaku baik, bantulah saya. Dan kalau anda sekalian melihat saya salah, maka luruskanlah.”

Maka yang kami harapkan pertama kali dari Anda, Pak Prabowo, adalah sebuah kesadaran bahwa Anda bukan pahlawan tunggal dalam masa depan negeri ini. Barangkali memang pendukung Anda ada yang menganggap Andalah orang terbaik. Tetapi sebagian yang lain hanya menganggap Anda adalah sosok yang sedang tepat untuk saat ini. Sebagian yang lainnya lagi menganggap Anda adalah “yang lebih ringan di antara dua madharat”.

Tentu saja, mereka yang tidak memiliih Anda menganggap Anda bukan yang terbaik, tidak tepat, dan juga berbahaya.

Dan jika Anda, Pak Prabowo, nantinya terpilih menjadi Presiden, maka mereka semua akan menjadi rakyat yang dibebankan kepada pundak Anda tanggungjawabnya di hadapan Allah. Maka kami berbahagia ketika Anda berulang kali berkata di berbagai kesempatan, “Jangan mau dipecah belah. Jangan mau saling membenci. Kalau orang lain menghina kita, kita serahkan pada Allah Subhanahu wa Ta’ala, Tuhan Maha Besar.”

Dan Anda juga harus menyadari bahwa barangsiapa merasa jumawa dengan kekuasaan, maka beban kepemimpinan itu akan Allah pikulkan sepelik-peliknya di dunia, dan tanggungjawabnya akan Dia jadikan penyesalan serta siksa di akhirat. Adapun pemimpin yang takut kepada Allah, maka Dia jadikan manusia taat kepadanya, dan Dia menolong pemimpin itu dalam mengemban amanahnya.

Pak Prabowo, kami memilih Anda, tapi..

Tapi sungguh orang yang jauh lebih perkasa daripada kita semua, ‘Umar ibn Al Khaththab, pernah mengatakan, “Seandainya tidaklah didorong oleh harapan bahwa saya akan menjadi orang yang terbaik di antara kalian dalam memimpin kalian, orang yang terkuat bagi kalian dalam melayani keperluan-keperluan kalian, dan orang yang paling teguh mengurusi urusan-urusan kalian, tidaklah saya sudi menerima jabatan ini. Sungguh berat bagi Umar, menunggu datangnya saat perhitungan.”

Maka yang kami harapkan berikutnya dari Anda, Pak Prabowo, adalah sebuah cita-cita yang menyala untuk menjadi pelayan bagi rakyat Indonesia. Sebuah tekad besar, yang memang selama ini sudah kami lihat dari kata-kata Anda. Dan sungguh, kami berharap, ia diikuti kegentaran dalam hati, seperti ‘Umar, tentang beratnya tanggungjawab kelak ketika seperempat milyar manusia Indonesia ini berdiri di hadapan pengadilan Allah untuk menjadi penggugat dan Anda adalah terdakwa tunggal bila tidak amanah, sedangkan entah ada atau tidak yang sudi jadi pembela.

Pak Prabowo, jangankan yang tak mendukung Anda, di antara pemilih Andapun ada yang masih meragukan Anda karena catatan masa lalu. Saya hendak membesarkan hati Anda, bahwa ‘Umar pun pernah diragukan oleh para tokoh sahabat ketika dinominasikan oleh Abu Bakr sebab dia dianggap keras, kasar, dan menakutkan. Tapi Anda bukan ‘Umar. Usaha Anda untuk meyakinkan kami bahwa kelak ketika terpilih akan berlaku penuh kasih kepada yang Anda pimpin harus lebih keras daripada ‘Umar.

Pak Prabowo, kami memilih Anda karena kami tahu, seseorang tak selalu bisa dinilai dari rekam jejaknya. ‘Umar yang dahulu ingin membunuh Nabi, kini berbaring mesra di sampingnya. Khalid yang dahulu panglima kebatilan, belakangan dijuluki ‘Pedang Allah’. Tapi Anda bukan ‘Umar. Tapi Anda bukan Khalid. Usaha Anda untuk berubah terus menjadi insan yang lebih baik daripada masa lalu Anda akan terus kami tuntut dan nantikan. Ya, maaf dan dukungan justru dari orang-orang yang diisukan pernah Anda ‘culik’ menjadi modal awal kepercayaan kami kepada Anda.

Pak Prabowo, kami memilih Anda, tapi..

Tapi orang yang jauh lebih dermawan daripada kita semua, ‘Utsman ibn ‘Affan, pernah mengatakan, “Ketahuilah bahwa kalian berhak menuntut aku mengenai tiga hal, selain kitab Allah dan Sunnah Nabi; yaitu agar aku mengikuti apa yang telah dilakukan oleh para pemimpin sebelumku dalam hal-hal yang telah kalian sepakati sebagai kebaikan, membuat kebiasaan baru yang lebih baik lagi layak bagi ahli kebajikan, dan mencegah diriku bertindak atas kalian, kecuali dalam hal-hal yang kalian sendiri menyebabkannya.”

Ummat Islam amat besar pengorbanannya dalam perjuangan kemerdekaan negeri ini. Pun demikian, sejarah juga menyaksikan mereka banyak mengalah dalam soal-soal asasi kenegaraan Indonesia. Cita-cita untuk mengamalkan agama dalam hidup berbangsa rasanya masih jauh dari terwujud.

Tetapi para bapak bangsa, telah menitipkan amanah Maqashid Asy Syari’ah (tujuan diturunkannya syari’at) yang paling pokok untuk menjadi dasar negara ini. Lima hal itu; pertama adalah Hifzhud Diin (Menjaga Agama) yang disederhanakan dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Kedua Hifzhun Nafs (Menjaga Jiwa) yang diejawantahkan dalam sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Ketiga Hifzhun Nasl (Menjaga Kelangsungan) yang diringkas dalam sila Persatuan Indonesia. Keempat Hifzhul ‘Aql (Menjaga Akal) yang diwujudkan dalam sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan. Dan kelima, Hifzhul Maal (Menjaga Kekayaan) yang diterjemahkan dalam sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Pak Prabowo, kami memilih Anda sebab kami berharap Anda akan melaksanakan setidak-tidaknya kelima hal tersebut; menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga kelangsungan, menjaga akal, dan menjaga kekayaan; dengan segala perwujudannya dalam kemaslahatan bagi rakyat Indonesia. Kami memilih Anda ketika di seberang sana, ada wacana semisal menghapus kolom agama di KTP, melarang perda syari’ah, mengesahkan perkawinan sejenis, mencabut tata izin pendirian rumah ibadah, pengalaman masa lalu penjualan asset-aset bangsa, lisan-lisan yang belepotan pelecehan kepada agama Allah, hingga purna-prajurit yang tangannya berlumuran darah ummat.

Pak Prabowo, seperti ‘Utsman, jadilah pemimpin pelaksana ungkapan yang amat dikenal di kalangan Nahdlatul ‘Ulama, “Al Muhafazhatu ‘Alal Qadimish Shalih, wal Akhdzu bil Jadidil Ashlah.. Memelihara nilai-nilai lama yang baik dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik.”

Pak Prabowo, kami memilih Anda, tapi..

Tapi orang yang lebih zuhud daripada kita semua, ‘Ali ibn Abi Thalib, pernah mengatakan, “Barangsiapa mengangkat dirinya sebagai pemimpin, hendaknya dia mulai mengajari dirinya sendiri sebelum mengajari orang lain. Dan hendaknya ia mendidik dirinya sendiri dengan cara memperbaiki tingkah lakunya sebelum mendidik orang lain dengan ucapan lisannya. Orang yang menjadi pendidik bagi dirinya sendiri lebih patut dihormati ketimbang yang mengajari orang lain.”

Pak Prabowo, hal yang paling hilang dari bangsa ini selama beberapa dasawarsa yang kita lalui adalah keteladanan para pemimpin. Kami semua rindu pada perilaku-perilaku luhur terpuji yang mengiringi tingginya kedudukan. Kami tahu setiap manusia punya keterbatasan, pun juga Anda Pak. Tapi percayalah, satu tindakan adil seorang pemimpin bisa memberi rasa aman pada berjuta hati, satu ucapan jujur seorang pemimpin bisa memberi ketenangan pada berjuta jiwa, satu gaya hidup sederhana seorang pemimpin bisa menggerakkan berjuta manusia.

Pak Prabowo, kami memilih Anda sebab kami tahu, kendali sebuah bangsa takkan dapat dihela oleh satu sosok saja. Maka kami menyeksamai sesiapa yang ada bersama Anda. Lihatlah betapa banyak ‘Ulama yang tegak mendukung dan tunduk mendoakan Anda. Balaslah dengan penghormatan pada ilmu dan nasehat mereka. Lihatlah betapa banyak kaum cendikia yang berdiri memilih Anda, tanpa bayaran teguh membela. Lihatlah kaum muda, bahkan para mahasiswa.

Didiklah diri Anda, belajarlah dari mereka; hingga Anda kelak menjelma apa yang disampaikan Nabi, “Sebaik-baik pemimpin adalah yang kalian mencintainya dan dia mencintai kalian. Yang kalian doakan dan dia mendoakan kalian.”

Pak Prabowo, kami memilih Anda, tapi..

Tapi orang yang lebih adil daripada kita semua, ‘Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz, pernah mengatakan, “Saudara-saudara, barangsiapa menyertai kami maka silahkan menyertai kami dengan lima syarat, jika tidak maka silahkan meninggalkan kami; yakni, menyampaikan kepada kami keperluan orang-orang yang tidak dapat menyampaikannya, membantu kami atas kebaikan dengan upayanya, menunjuki kami dari kebaikan kepada apa yang kami tidak dapat menuju kepadanya, dan jangan menggunjingkan rakyat di hadapan kami, serta jangan membuat-buat hal yang tidak berguna.”

Sungguh karena pidato pertamanya ini para penyair pemuja dan pejabat penjilat menghilang dari sisi ‘Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz, lalu tinggallah bersamanya para ‘ulama, cendikia, dan para zuhud. Bersama merekalah ‘Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz mewujudkan pemerintahan yang keadilannya dirasakan di segala penjuru, sampai serigalapun enggal memangsa domba. Pak Prabowo, sekali lagi, kami memilih Anda bukan semata karena diri pribadi Anda. Maka pilihlah untuk membantu urusan Anda nanti, orang-orang yang akan meringankan hisab Anda di akhirat.

Pak Prabowo, kami memilih Anda, tapi..

Tapi kalaupun Anda tidak terpilih, kami yakin, pengabdian tak memerlukan jabatan. Tetaplah bekerja untuk Indonesia dengan segala yang Anda bisa, sejauh yang Anda mampu.

Sungguh Anda terpilih ataupun tidak, kami sama was-wasnya. Bahkan mungkin, rasa-rasanya, lebih was-was jika Anda terpilih. Kami tidak tahu hal yang gaib. Kami tidak tahu yang disembunyikan oleh hati. Kami tidak tahu masa depan. Kami hanya memilih Anda berdasarkan pandangan lahiriyah yang sering tertipu, disertai istikharah kami yang sepertinya kurang bermutu.

Mungkin jika Anda terpilih nanti, urusan kami tak selesai sampai di situ. Bahkan kami juga akan makin sibuk. Sibuk mendoakan Anda. Sibuk mengingatkan Anda tentang janji Anda. Sibuk memberi masukan demi kemaslahatan. Sibuk meluruskan Anda jika bengkok. Sibuk menuntut Anda jika berkelit.

Inilah kami. Kami memilih Anda Pak Prabowo, tapi..

Tapi sebagai penutup tulisan ini, mari mengenang ketika Khalifah ‘Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz meminta nasehat kepada Imam Hasan Al Bashri terkait amanah yang baru diembannya. Maka Sang Imam menulis sebuah surat ringkas. Pesan yang disampaikannya, ingin juga kami sampaikan pada Anda, Pak Prabowo. Bunyi nasehat itu adalah, “Amma bakdu. Durhakailah hawa nafsumu! Wassalam.”

doa kami,

hamba Allah yang tertawan dosanya, warga negara Republik Indonesia

Salim A. Fillah
[pkskelapadua]


pkssiak.org - Inilah kota berjuluk sepotong Syam yang jatuh di Hijjaz; ialah Thaif, di tahun kesebelas kenabian.

Sungguh penduduk kota ini sama sekali tak sesejuk cuaca negerinya, bahkan mereka lebih garang dari angin gurun Tihamah. Inilah Sang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yang telah ditolak oleh tiga bersaudara putra ‘Amr Ats Tsaqafi, pemimpin Thaif, tetap berupaya menyampaikan risalahnya.

Maka orang-orang yang takut kedatangan Muhammad merusak niaga mereka dengan Makkah ini makin murka atas seruan Sang Rasul. Mereka berkerumun, mencerca dan meneriakinya. Dari dua barisan mereka mengejar dan melemparinya dengan batu. Tubuh Nabi itu lebam. Kakinya luka. Darah meleleh membasahi terompahnya. Zaid ibn Haritsah yang membentengi dengan tubuhnya, entah berapa rajaman yang tertoreh di kepala dan badannya.

Sang Nabi dihinakan dan diusir. Dia terus dikejar dan disakiti hingga tiga mil kemudian sampai di kebun anggur milik putra-putra Rabi’ah. Di sinilah mereka lalu meninggalkannya dan kembali ke Thaif. Adapun Rasulullah, tertatih beliau menghampiri sebatang pohon anggur, lalu duduk beristirahat meredakan rasa sakit yang zhahir maupun batin. Dengan senyum yang tertengadah ke langit namun airmata melelehi pipinya yang mulia, segala aduan hanya tertuju pada Penciptanya.

Utbah dan Syaibah ibn Rabi’ah yang sedang ada di kebunnya merasa iba melihat keadaan cucu ‘Abdul Muthalib itu. “Hai Addas”, panggil salah satu di antara keduanya kepada seorang pembantu, “Ambillah setandan anggur dan serahkan pada lelaki di sana itu.”

Addas beranjak menemui Sang Nabi. Diulurkannya anggur itu dan beliau menerimanya dengan tersenyum. “Siapakah namamu wahai saudara yang mulia?”, tanya Rasulullah. “Namaku Addas. Aku hanyalah pembantu Tuan Utbah dan Tuan Syaibah.” Addas memperhatikan, ketika memetik sebulir anggur dari tangkai, lelaki lusuh dan terluka namun berwajah seri itu menyebut nama Allah.

“Bismillaahirrahmaanirrahiim”, ucap Rasulullah sambil mengulurkan kembali anggurnya untuk menawari Addas. Addas menggeleng dan tersenyum.

“Kata-kata itu tak pernah diucapkan oleh orang-orang di negeri ini”, kata Addas.

“Dari manakah asalmu hai Addas, dan apa pula agamamu?”

“Aku seorang Nasrani. Aku penduduk negeri Ninaway.”

“Oh, dari negeri seorang shalih bernama Yunus ibn Matta?”, tanya Sang Rasul dengan penuh minat begitu Adas menyebut nama negeri asalnya. Mata Addas mengerjap, pupilnya melebar. Lelaki ini benar-benar membuatnya tertarik.

“Apa yang kau ketahui tentang Yunus ibn Matta?”, tanya Addas.

Sang Utusan tersenyum. “Dia saudaraku. Dia seorang Nabi, dan akupun seorang Nabi.”

Mendengar itu, Addas langsung merengkuh kepala Rasulullah. Dikecupnya dahi beliau dengan penuh cinta, diciumnya tangan beliau dengan penuh hormat, dan dikecupnya kaki beliau dengan penuh khidmat. Melihat kejadian itu Utbah dan Syaibah saling berbisik. “Demi Allah”, kata Utbah, “Muhammad telah merusak pembantu kita itu!”

Yang tertarik itu menarik. Maka Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah pribadi yang paling menawan di langit dan bumi, sebab cinta dan perhatiannya pada setiap insan yang dihadapi. Inilah kaidah penting pergaulan yang harus dihayati para da’i. Alih-alih menghabiskan waktu membuat orang-orang menyadari pesona kita, jauh lebih bermanfaat bagi seorang pejuang untuk tertarik pada mereka yang diserunya menuju kebenaran. Ialah ketertarikan pada diri lawan bicara, dan segala hal yang terkait mesra dengan mereka. Addas, Ninaway, dan Yunus ibn Matta umpamanya.

Sesungguhnya ketampanan, kepandaian, dan ketaatan pada Allah memang pesona yang menawan mata maupun rasa. Tetapi alangkah memuakkan sesosok insan yang gemar mengunjuk-unjukkan betapa rupawan, betapa cerdas, dan betapa shalih dirinya. Yang dinanti para manusia dari setiap keunggulan jasmani maupun akal, juga  kemesraan kita dengan Allah; hanyalah akhlaq mulia. Bukan yang lain.

Maka seperti Rasulullah, biarkan tangis kita tumpah-ruah hanya pada Allah; dan izinkan sesama merasakan manisnya senyuman langit yang merasuk ke hati mereka, sebab ia berhulu dari ketulusan dalam dada. 


by: Salim A. Fillah
[pkssumut.or.id]