pkssiak.org -
Barangsiapa memperbagus hal-hal tersembunyinya, niscaya Allah jelitakan apa yang tampak dari dirinya.
Barangsiapa memperbaiki hubungannya dengan Allah, niscaya Allah baikkan hubungannya dengan sesama.
Barangsiapa disibukkan oleh urusan agamanya, maka Allah yang kan mencukupinya dalam perkara dunia.
-‘Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz-
Seandainya kita adalah seekor cicak, mungkin sudah sejak dulu kita berteriak, “Ya Allah, Kau salah rancang dan keliru cetak!”
Sebab cicak adalah binatang dengan kemampuan terbatas. Dia hanya bisa
merayap meniti dinding. Langkahnya cermat. Jalannya hati-hati. Sedang
semua yang ditakdirkan sebagai makanannya, memiliki sayap dan mampu
terbang ke mana-mana. Andai dia berfikir sebagai manusia, betapa
nelangsanya. “Ya Allah”, mungkin begitu dia mengadu, “Bagaimana hamba
dapat hidup jika begini caranya? Lamban saya bergerak dengan tetap harus
memijak, sedang nyamuk yang lezat itu melayang di atas, cepat melintas,
dan ke manapun bebas.” Betapa sedih dan sesak menjadi seekor cicak.
Tapi mari ingat sejenak bahwa ketika kecil dulu, orang tua dan guru-guru
mengajak kita mendendang lagu tentang hakikat rizqi. Lagu itu berjudul,
‘Cicak-cicak di Dinding’.
Bahwa tugas cicak memang hanya berikhtiar sejauh kemampuan. Karena soal
rizqi, Allah lah yang memberi jaminan. Maka kewajiban cicak hanya
diam-diam merayap. Bukan cicak yang harus datang menerjang. Bukan cicak
yang harus mencari dengan garang. Bukan cicak yang harus mengejar dengan
terbang.
“Datang seekor nyamuk.”
Allah Yang Maha Mencipta, tiada cacat dalam penciptaanNya. Allah Yang
Maha Kaya, atasNya tanggungan hidup untuk semua yang telah dijadikanNya.
Allah Yang Maha Memberi Rizqi, sungguh lenyapnya seisi langit dan bumi
tak mengurangi kekayaanNya sama sekali. Allah Yang Maha Adil, takkan
mungkin Dia bebani hambaNya melampaui kesanggupannya. Allah Yang Maha
Pemurah, maka Dia jadikan jalan karunia bagi makhluqNya amatlah mudah.
“Datang seekor nyamuk.”
Allah yang mendatangkan rizqi itu. Betapa dibanding ikhtiyar cicak yang
diam-diam merayap, perjalanan nyamuk untuk mendatangi sang cicak sungguh
lebih jauh, lebih berliku, dan lebih dahsyat. Jarak dan waktu
memisahkan keduanya, dan Allah dekatkan sedekat-dekatnya. Bebas si
nyamuk terbang ke mana jua, tapi Allah bimbing ia supaya menuju pada
sang cicak yang melangkah bersahaja. Ia tertakdir dengan bahagia,
menjadi rizqi bagi sesama makhluqNya, sesudah juga menikmati rizqi
selama waktu yang ditentukanNya.
“Dan tiada dari segala yang melata di bumi melainkan atas tanggungan
Allah lah rizqinya. Dia Maha Mengetahui di mana tempat berdiam dan
tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab Lauhul Mahfuzh yang
nyata.” (QS Huud [11]: 6)
“Daabbah”, demikian menurut sebagian Mufassir, “Adalah kata untuk
mewakili binatang-binatang yang hina bersebab rendahnya sifat mereka,
terbelakang cara bergeraknya, kotor keadaannya, liar hidupnya, dan
bahkan bahaya dapat ditimbulkannya.” Allah menyebut daabbah di ayat ini,
seakan-akan untuk menegaskan; jika binatang-binatang rendahan,
terbelakang, kotor, liar, dan berbahaya saja Dia jamin rizqinya, apatah
lagi manusia.
***
“Sesungguhnya rizqi memburu hamba”, demikian sabda Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagaimana dicatat oleh Imam Ath
Thabrani, “Lebih banyak dari kejaran ajal terhadapnya.”
Ini kisah sebutir garam. Titah Ar Rahman kepadanya adalah untuk
mengasinkan lidah dan mengisi darah seorang hamba hina bernama Salim,
yang tinggal di Yogyakarta. Betapa jauh baginya, sebab ia masih terjebak
di dalam ombak, di Laut Jawa yang bergolak.
Setelah terombang-ambing bersama penantian yang panjang, angin musim
bergerak ke timur, menggesernya pelan-pelan menuju pesisir Madura. Dan
petani-petani garam di Bangkalan, membelokkan arus air ke tambak-tambak
mereka. Betapa bersyukur sebutir garam itu saat ia mengalir bersama air
memasuki lahan penguapan. Penunaian tugasnya kian dekat.
Tiap kali terik mentari menyinari, giat para petambak itu menggaru ke
sana kemari, agar bebutir yang jutaan jumlahnya kian kering dan
mengkristal. Sebutir garam yang kita tokohkan dalam cerita ini,
harap-harap cemas semoga ia beruntung dimasukkan ke dalam karung goni.
Sebab sungguh, ada bebutir yang memang tugasnya berakhir di sini.
Tertepikan bersama becekan lumpur di sudut-sudut ladang garam.
Dan dia terpilih, terbawa oleh para pengangkut ke pabrik pemurnian di
Pamekasan. Sebakda melalui serangkaian pembasuhan dan pengisian zat-zat
yang konon mendukung kesehatan, dia dikemas rapi, digudangkan untuk
menunggu pengepakan dan pengiriman. Betapa masih panjang jalannya,
betapa masih lama berjumpa dengan sosok yang ia dijatahkan sebagai rizqi
baginya.
Ringkasnya, setelah berbulan, ia malang melintang menuju Jakarta, lalu
Semarang, sebelum akhirnya tiba di Yogyakarta. Dari pasar induknya,
terlempar ia ke pasar kota, baru diambil pedagang pasar kecamatan
akhirnya. Lalu terkulaklah ia oleh pemilik warung kecil, yang rumahnya
sebelah-menyebelah dengan makhluq yang ditujunya. Kian dekat, makin
rapat.
Ketika seorang wanita, istri dari lelaki yang akan ia tuju dalam amanah
yang diembannya, membeli dan menentengnya pulang, betapa haru rasanya.
Masuklah ia ke dalam masakan lezatnya, berenang dan melarutkan dirinya.
Lalu terdengar suara, “Sayang, silakan sarapan. Masakannya sudah siap.”
Dan lelaki itu, bergerak pelan dari kamarnya, menjemputnya dengan sebuah
suapan yang didahului doa.
Segala puji bagi Allah, yang memberi titah untuk mengasinkan lidah dan
mengisi darah. Segala puji bagi Allah, yang mengatur perjumpaannya
dengan makhluq ini sesudah perjalanan yang tak henti-henti. Segala puji
bagi Allah, yang menyambutkan doa bagi tunainya tugas yang diembannya.
***
Betapa jarang kita mentafakkuri rizqi. Seakan semua yang kita terima
setiap hari adalah hak diri yang tak boleh dikurangi. Seakan semua yang
kita nikmati setiap hari adalah jatah rutin yang murni dan tak boleh
berhenti. Seakan semua yang kita asup setiap hari adalah memang
begitulah adanya lagi tak boleh diganggu gugat.
Padahal, hatta sebutir garampun adalah rizqi Allah yang menuntut disyukuri.
Hatta sebutir garam, menempuh perjalanan yang tak mudah lagi berbulan,
untuk menemui pengasupnya yang hanya berpindah dari kamar tidur ke ruang
makan. Betapa kecil upaya kita, dibandingkan cara Allah mengirimkan
rizqiNya. Kita baru merenungkan sebutir garam, bagaimanakah bebijian,
sayur, ikan, dan buahnya? Bagaimanakah katun, wol, dan sutranya?
Bagaimanakah batu, kayu, pasir, dan gentingnya? Bagaimanakah besi, kaca,
dan karet rodanya?
Maka seorang ‘Alim di Damaskus suatu hari berkata tentang sarapannya
yang amat bersahaja, “Gandum dari Najd, garam dari Marw, minyak dari
Gaza, dan air Sungai Yordan. Betapa hamba adalah makhluqMu yang paling
kaya wahai Rabbana!”
Dia mengingatkan kita pada sabda Rasulullah. “Bukanlah kekayaan itu dari
banyaknya bebarang harta”, demikian yang direkam Imam Al Bukhari dan
Imam Muslim, “Kekayaan sesungguhnya adalah kayanya jiwa.”
Akhirnya, mari kita dengarkan sang Hujjatul Islam. “Boleh jadi kau tak
tahu di mana rizqimu”, demikian Imam Al Ghazali berpesan, “Tetapi
rizqimu tahu di manakah engkau. Jika ia ada di langit, Allah akan
memerintahkannya turun untuk mencurahimu. Jika ia ada di bumi, Allah
akan menyuruhnya muncul untuk menjumpaimu. Dan jika ia berada di lautan,
Allah akan menitahkannya timbul untuk menemuimu.”
Di lapis-lapis keberkahan, ada keyakinan utuh yang harus ditanamkan, bahwa Allah Yang Mencipta, menjamin rizqi bagi ciptaanNya.
***
Ada dua cara Allah mengaruniakan rizqi dalam dua keadaan yang dialami
oleh Maryam binti ‘Imran, salah satu wanita termulia sepanjang zaman.
Kita mengenang, betapa agung nadzar istri ‘Imran untuk menjadikan buah
hati yang dikandungnya sebagai pengkhidmah di Baitul Maqdis. Yang dia
bayangkan adalah seorang anak lelaki yang akan menjadi imam ibadah di Al
Quds, pengurai Taurat yang fasih, dan pembimbing ummat yang penuh
teladan. Tetapi Allah yang Maha Berkehendak mengaruniakan anak
perempuan.
“Maka Rabbnya menerima nadzar keluarga ‘Imran dengan penerimaan yang
baik. Allah tumbuhkan dan didik Maryam dengan pengasuhan yang bagus, dan
Allah jadikan Zakaria sebagai penanggungjawab pemeliharaannya. Setiap
kali Zakaria masuk menemuinya di dalam mihrab, dia dapati ada rizqi di
sisinya. Berkatalah dia, “Hai Maryam, dari manakah kaudapatkan ini?”
Maryam menjawab, “Ia dari sisi Allah.” Sesungguhnya Allah mengaruniakan
rizqi pada siapapun yang dikehendakiNya tanpa hisab.” (QS Ali ‘Imran
[3]: 37)
Betapa jua, Allah Yang Maha Tahu tetap menerima nadzar itu. Maka sang
Bunda membawa bayi Maryam ke Baitul Maqdis di mana para pemuka Bani
Israil, Ahbar, dan para Rahib berkumpul, berharap untuk mendapatkan hak
asuh atas Maryam yang yatim. Ketika mereka melemparkan pena-pena dalam
undian, Allah mengamanahkan Maryam pada Zakaria.
Maryam tumbuh di lingkungan yang baik, dengan ta’dib yang baik,
dibimbing insan terbaik. Jadilah dia seorang ahli ‘ibadah di Mihrab
Baitul Maqdis, menjaga kesuciannya, mengkhidmahkan diri untuk rumah
Allah. Dengan keyakinan utuh akan kuasa dan kemurahan Rabbnya, bahkan
seorang Nabi tertakjub-takjub melihat limpahan anugerah Allah bagi gadis
suci ini.
Tapi setiap insan diuji Allah dengan karunia terkait apa yang paling
dijunjung tinggi oleh jiwanya. Pun juga Maryam yang begitu taat
beribadah, yang lahir batin menjaga kebersihan dirinya, yang kudus dalam
hati, fikiran, serta perbuatannya. Allah memilihnya untuk mengandung
bayi ajaib, yang tercipta tanpa Ayah, yang menghuni rahimnya tanpa dia
terlebih dulu disentuh seorang pria.
Karunia mengandung ujian, dan ujian mengandung karunia. Demikianlah hakikatnya.
Inilah dia di hari itu, berada di tempat yang jauh ke timur, sekira 8
mil dari Mihrabnya di Baitul Maqdis. “Dapatlah kita merasakan”, demikian
ditulis Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhar, “Bahwa hidup Maryam ketika
itu memang tersisih jauh dari kaum keluarga. Kegelisahan diri karena
terpaan sakit dan kejang yang bertubi datang sebagaimana lazimnya wanita
yang akan melahirkan menyebabkan dia mencari tempat yang sunyi dan
teduh.”
“Maka rasa sakit menjelang persalinan memaksanya bersandar pada pangkal
pohon kurma. Dia berkata, “Aduhai celaka, alangkah baik seandainya aku
mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tak berarti, lagi
dilupakan.” (QS Maryam [20]: 23)
Di bawah naungan pohon itu, perasaannya mengawang, fikirannya melayang.
Bahwa anak itu akan lahir, tapi tiada ayah baginya. “Adapun Maryam
sendiri percaya bahwa ini adalah kehendak Allah”, lanjut Buya Hamka,
“Tetapi apakah kaumnya akan percaya? Siapa pula yang akan percaya?
Sepanjang zaman, belum pernah ada perawan yang hamil serta beranak tanpa
ada lelaki yang menjadi bapak.”
Maka terlontarlah kalimat yang menyiratkan sesalan atas ketetapan Allah
itu, bersebab rasa berat yang menekan-nekan hati dan menyesakkan
dadanya. “Aduhai celaka, alangkah baik seandainya aku mati sebelum ini”,
seru Maryam. Yakni sebelum dirinya hamil dengan cara ganjil yang sukar
dijelaskan pada kaum Bani Israil yang sebagiannya suka usil.
“Dan aku menjadi barang yang tak berarti lagi dilupakan”, lanjut keluhan
Maryam. Sungguh Maryam berharap tidak ada insan yang tahu, tidak ada
siapapun yang mengenal, dan tidak sampai menjadi buah mulut orang-orang.
“Memang”, jelas Buya Hamka, “Jikalau pencobaan telah memuncak
sedemikian rupa, datang saat manusia merasa lebih baik mati saja.”
Allah Maha Mendengar, lagi Maha Mengetahui.
“Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah, “Janganlah engkau
bersedih hati. Sesungguhnya Rabbmu telah menjadikan anak sungai di
bawahmu. Dan goyangkanlah pangkal pohon kurma itu ke arahmu. Niscaya ia
akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.” (QS Maryam [20]:
24-25)
Yang pernah bertamu pada Allah dan menjenguk Rasulullah, pastinya telah
melihat pohon kurma. Kokoh, gagah, tinggi, dan berruas-ruas sisa tandan
di bagian bawahnya. Di Madinah Al Munawwarah, kami pernah mencoba
menggoyangkannya, dan batang itu tak bergeming sedikitpun juga. Maka
bayangkanlah perempuan yang lemah berdarah-darah setelah melahirkan,
serta berada dalam perasaan tak karuan, yang terharuskan mengguncangnya
agar buah ranumnya jatuh ke bumi.
Inilah ikhtiyar. Bagi Maryam, ia berat dan sukar.
Tapi iman memanglah yang utama, mentaati Allah harus jadi yang
mula-mula. Maka dengan kemurahan dan kasihNya, saat Maryam menghabiskan
seluruh sisa tenaganya untuk menggerakkan pangkal pokok yang besar itu,
satu demi satu, ruthab pun lepas dari tangkainya.
Sebagian ‘ulama menyatakan, tak sebagaimana ketika dia berada di Mihrab
dengan iman yang berseri-seri dan ibadah yang terjaga sekali, ucapan
Maryam yang menyesali diri menunjukkan ketaksempurnaan penerimaannya
akan ketetapan Allah. Hal itulah yang membuatnya tak mendapat rizqi yang
langsung tersaji dari langit, namun harus mengupayakannya dengan
meengguncang pokok kurma agar kurma basah di atas sana jatuh ke arahnya.
Allah menjamin rizqi Maryam dalam dua keadaan dengan dua cara
penganugrahan. Lalu kita tahu, di lapis-lapis keberkahan, keyakinan yang
tak lagi utuh, menambahkan peluh pada jalan ikhtiyar yang harus kita
tempuh.
Salim A Fillah
*http://salimafillah.com/cicak-di-dinding-dan-keyakinan-utuh/