Select Menu

SaintekSIROH

PKS BERKHIDMAT UNTUK RAKYAT

BERITA SIAK

FIQIH

SIROH

Kesehatan

Saintek

Video Pilihan

Dari Abu Sa’id Al Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda , Abu Bakar dan Umar adalah dua orang pemimpin golongan paruh baya penghuni surga, dari orang orang yang terdahulu dan yang datang kemudian.”

Dari Abu Said Al Khudri ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, “ Hasan dan Husain adalah dua pemimpin pemuda penghuni surga.”

Pemimpin yang benar adalah yang memuji Tuhannya dan bersaksi kepadaNya. Sedangkan , pemimpin perempuan yang mulia adalah yang ridha dengan TuhanNya dan menerimaNya dengan baik. Dan, perempuan yang paling utama adalah mereka yang menghuni surga na’im karena para perempuan penghuni surga tetap lebih utama. Adapun para pemimpin perempuan penghuni surga adalah Khadijah, Fatimah, Maryam, dan Asiyah.

Dalam Musnad karya Ahmad, Musykilul Atsar karya Ath Thahawiy, dan Mustadrak karya Hakim, disebutkan dengan sanad yang shahih dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah SAW menggaris di atas tanah dengan empat garis, kemudian bersabda, “Tahukah kalian apa ini.” Para sahabat menjawab,”Allah dan RasulNya lebih mengetahui.” Kemudian, beliau bersabda lagi, “ Perempuan penghuni surga yang paling utama adalah Khadijah binti Khuwalid, Fatimah binti Muhammad, Maryam binti Imran, dan Asiyah binti Muzahim, isteri Firaun.”

Maryam dan Khadijah adalah yang lebih utama di antara mereka. Dalam Shahih Bukhari dari Ali bin Abi Thalib bahwa Rasulullah SAW bersabda, “ Sebaik baik perempuan adalah Maryam dan sebaik baik perempuan adalah Khadijah.”

Sumber : Na’imuha wa Qushuruha wa Huruha, Mahir Ahmad Ash-Shufiy)

PKS SIAK, Menjadi yatim sejak dalam kandungan bukanlah hal yang mudah. Tak ada sentuhan sang ayah saat dalam kandungan, pun dengan belaian di masa kecil dan interaksi-interaksi inspiratif lain saat balita. Meskipun, di sana terdapat hikmah yang besar. Allah Ta’ala mewafatkan ‘Abdullah bin ‘Abdul Muthalib sebab Muhammad yang kelak menjadi Nabi akan diurus-Nya secara langsung.

Kehidupan yatim itu pun makin berat ketika sang bunda pergi saat dirinya masih kecil. Belum genap sepuluh tahun. Bukankah sentuhan bunda kandung adalah kebahagiaan dan pendidikan yang tak tergantikan? Tetapi, di sana terdapat hikmah yang amat besar.

Ditinggalkan oleh bunda Aminah binti Wahab, Muhammad mulia yang masih belia diasuh oleh dua orang bunda yang tak kalah luar biasanya; Ummu Aiman sang budak peninggalan ayahnya, dan Fathimah binti Asad-bibi yang amat menyayanginya, istri Abu Thalib.

Sebab yatim piatu sejak belia, Nabi Muhammad pun amat disayangi oleh kakeknya. Beliau senantiasa berpesan agar Ummu Aiman menjaga Muhammad belia dengan seksama. Apalagi, tuturnya sering kali, “Perhatikan Muhammad. Tadi, aku melihatnya bersama anak-anak lain di dekat pohon bidara.” Pungkasnya sampaikan pesan, “Orang-orang Ahli KItab meyakini bahwa cucuku ini kelak menjadi Nabi umat ini.”

Tak bisa dielakkan, ajal pun memisahkan kasih sayang sang kakek dengan cucu kebanggaannya itu. Muhammad kecil pun diasuh oleh pamannya, Abu Thalib. Agak meenyedihkan, kehidupan Abu Thalib ini serbakekurangan dari segi ekonomi. Bahkan, anak-anaknya jarang mendapati makanan yang cukup.

Tetapi, kehidupan sukar secara ekonomi itu berangsur pudar dan berganti berkah setelah Muhammad hadir di rumah itu. Berkah makanan, tak pernah kekurangan, bahkan susu satu gelas-setelah diminum oleh Muhammad-bertambah banyak dan mengenyangkan seluruh anggota keluarga itu.

Semakin membanggakan, Muhammad kecil tidak pernah mengeluh lapar atau halus. Sebagaimana dikisahkan oleh Ummu Aiman sang ibu asuhnya, “Beliau minum seteguk air zamzam di pagi hari. Saat aku menawarinya makan di siang hari, beliau menjawab, ‘Tidak usah. Aku tidak lapar.’”

Di antara keajaiban lain, Muhammad kecil selalu rapi, meskipun bangun tidur. Padahal, anak-anak Abu Thalib yang menempati rumah dan tempat tidur yang sama mengalami kondisi yang jauh berbeda. Tutur Syeikh Mahmud al-Mishri, “Anak-anak Abu Thalib acak-acakan, rambut mereka awut-awutan, dan mata mereka penuh kotoran.” Sangat berbeda dengan Muhammad kecil yang, “Ia bangun tidur dalam kondisi sangat rapi. Rambutnya tersisir dan berminyak, matanya bersih dan bercelak. [Kisahikmah]

PKS SIAK, Jika ditanyakan “Apakah cara yang harus ditempuh untuk menggapai bahagia?”, tentu akan muncul banyak jawaban. Perbedaan jawaban berasal dari perbedaan sudut pandang masing-masing, sesuai dengan kecenderungan dan gaya hidupnya.

Menurut Nabi ‘Isa ‘Alaihis Salam, seseorang dikatakan harus merasakan bahagia jika dia sudah melakukan tiga hal ini.
Lisan selalu Berdzikir

Bahagia adanya di dalam hati. Ketenangan hati bisa digapai dengan memperbanyak dzikir kepada Allah Ta’ala. Berdzikir yang merupakan ibadah unggulan harus dilakukan dengan kalimat-kalimat pujian yang termaktub dalam Kitab Suci al-Qur’an, hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, maupun ucapan para sahabat dan ulama’ shaleh yang takut kepada Allah Ta’ala sebagai generasi penerus Nabi dan Rasul.

Sedangkan sebaik-baik dzikir adalah Kalam Allah Ta’ala. Ia bisa dibaca kapan saja, dari bagian mana saja, sebanyak mungkin sesuai dengan kemampuan seorang hamba selama tidak melanggar hak-hak bacaan.

Maka sebaik-baik bacaan al-Qur’an adalah yang masuk ke dalam hati, dan memengaruhi pembacanya untuk mengamalkan kandungan di dalamnya. Mereka itulah generasi sahabat nabi yang dimuliakan oleh Allah Ta’ala.
Diamnya Berfikir

Ada ungkapan yang amat masyhur bahwa diam adalah emas. Dalam Islam, diam disyariatkan jika tidak ada perkataan baik yang harus disampaikan. Diam ketika tak ada kebaikan yang disampaikan juga menjadi salah satu tanda baiknya iman seseorang.

Maka dalam diamnya, orang yang beriman akan senantiasa berpikir. Mereka memikirkan keajaiban-keajaiban yang Allah Ta’ala sampaikan melalui alam semesta dan dalam dirinya. Alhasil, karena memikirkan hal itu, mereka senantiasa berada dalam kebaikan yang membahagiakan.

Sebab, jika pikiran tidak sibuk dengan memikirkan ayat-ayat Allah Ta’ala, maka  ia akan sibuk dengan memikirkan kesia-sian dan maksiat.
Pendapatnya Beribrah

Lisan yang senantiasa berdzikir dan senantiasa memikirkan ayat-ayat Allah Ta’ala dalam diam, maka perkataan yang disampaikan pun akan mengandung kebaikan semata. Setiap kalimat yang meluncur darinya adalah motivasi, harapan, mengingatkan keutamaan akhirat, peringatan agar tidak terlena dengan dunia, dan sebagainya.

Alhasil, selain mereka yang mengucapkan mendapatkan kebaikan, orang yang mendengarkannya pun akan mengalami rasa serupa. Kebaikan, kebahagiaan, dan kedamaian tersebut akan menular sehingga semakin banyak orang yang merasakannya.

Sobat, mari bahagiakan diri dengan berdzikir, berpikir, dan berpendapat yang memiliki pelajaran nan berharga.

Sumber Kisahikmah
Ket. Foto Ilustrasi

PKS SIAK, Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan, ‘Aisyah istri Rasulullah menuturkan, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada suatu malam pernah tak bisa tidur semalam penuh.” Maka, anak Abu Bakar ash-Shiddiq ini pun bertanya, “Ya Rasulullah, apa yang terjadi padamu?”

“Aku berharap,” jawab Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “ada seorang saleh dari sahabatku yang menjagaku mala mini.”

Tiba-tiba, lanjut ‘Aisyah mengisahkan, keduanya mendengar suara senjata. Rasulullah pun meninggikan suara seraya bertanya, “Siapa itu?”

Dari arah suara senjata terdengarlah jawaban, “Ini aku, Sa’id bin Malik.”

“Untuk urusan apa engkau datang ke mari?” tanya Nabi kedua kali.

“Ya Rasulullah,” jawab sahabat saleh itu, “aku datang ke sini untuk menjagamu.”

Lepas mendapatkan penjagaan, ‘Aisyah pun memungkasi kisahnya, “Maka, aku pun mendengar suara tidur Rasulullah.”

Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahih-nya masing-masing dan dikutip oleh Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya ini merupakan penjelas dari tafsir surat al-Maidah [5] ayat 67.

Sebelum ayat tersebut diturunkan, ada sahabat yang menjaga Nabi. Kemudian setelah diturunkannya ayat tersebut, tidak ada lagi yang menjaga beliau. Allah Ta’ala langsung menjaganya sebagaimana firman-Nya, “Allah melindungi kamu dari (gangguan) manusia.”

“Sampaikanlah Rislah-Ku,” tutur Imam Ibnu Katsir menjelaskan makna ayat ini, “niscaya Aku akan menjaga, menolong, dan mendukungmu dalam menghadapi musuh-musuhmu, serta memenangkan dirimu atas mereka.”

“Karena itu,” lanjutnya, “tak usah takut atau bersedih.” Sebab, “Tidak ada seorang pun yang dapat berlaku jahat terhadap dirimu atau menyakitimu.”

Hendaknya riwayat agung ini menjadi motivasi bagi kaum Muslimin agar senantiasa bersemangat dan tidak gentar dalam berdakwah dan berjihad di jalan Allah Ta’ala. Sebagaimana janji-Nya kepada Rasulullah, Dia akan menjaga siapa yang menyampaikan dan memperjuangkan Risalah-Nya yang suci kepada seluruh umat manusia.

Jika seorang dai langsung dilindungi oleh Allah Ta’ala, mungkinkah ada manusia lemah yang kuasa menyakitinya? Bukankah Dia Mahakuasa atas segala sesuatu? Bukankah amat mudah bagi-Nya untuk membinasakan semua musuh-musuh dakwah?

Maka jika pun ada yang disakiti di jalan dakwah, hendaknya hal itu menjadikan para dai semakin yakin bahwa tiada kemuliaan yang diraih tanpa ujian. Bahkan, Islam yang suci ini menuntut pengorbanan terbaik dari diri kita, termasuk nyawa yang hanya satu ini.

Sumber : Kisahikmah
Foto : ilustrasi

PKS SIAK, Kabar kekalahan pasukan Romawi oleh pasukan kaum Muslimin pun dilaporkan kepada Raja Heraclius. Kepada utusan yang melapor, Heraclius berkata, “Celakalah kalian! Celakalah kalian! Coba ceritakan tentang musuh yang mengalahkan kalian itu? Bukankah mereka sama seperti kalian?!”

Apakah yang dilaporkan oleh utusan kepada Raja Heraclius yang disinyalir sebagai sebab utama kemenangan kaum Muslimin dalam berbagai jihad yang terjadi? Mungkinkah kita bisa menjadi bagian penyongsong kejayaan Islam yang dijanjikan itu? Bagaimana caranya?

Jawab sang utusan atas tanya rajanya itu, “Benar. Mereka sama dengan kami.”

Uber Heraclius seraya menyelidiki, “Apakah jumlah kalian lebih banyak dari mereka?”

“Bahkan,” kisah sang utusan, “jumlah kami berlipat-lipat dari jumlah mereka dalam setiap peperangan.”

“Lalu,” gertak sang Raja, “ada apa dengan kalian ini?” Pungkasnya sampaikan tanya, “Mengapa kalian menjadi pecundang?”

“Mereka semua,” tutur salah satu utusan yang merupakan pembesar Romawi, “bangun untuk mendirikan shalat malam. Siangnya, mereka senantiasa berpuasa. Hubungan mereka dengan sesama pun amat memesona; tepati janji, mengajak kepada kebaikan, mencegah dari perbuatan mungkar, dan saling menolong antara satu dengan yang lainnya.”

Berkebalikan dengan amalan yang dilakukan oleh kaum Muslimin, pembesar ini melanjutkan penuturannya, “Sedangkan pasukan-pasukan kami senantiasa meminum arak, berzina, melanggar yang haram, berbuat curang, melakukan kezaliman, mengkhianati janji, menjadi sebab perseteruan, membuat kerusakan di muka bumi, dan meninggalkan perintah-perintah Tuhan.”

Mendengar keterangan dari utusannya, Heraclius mengatakan sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad bin Marwan al-Maliki yang dikutip oleh Dr. Najih Ibrahim dalam Kepada Aktivis Muslim, “Jika demikian, wajar kalau mereka menang dan kalian kalah.”

Ketaatan kepada Allah Ta’ala dan menjauhi segala jenis maksiat dan dosa. Itulah di antara sebab utama kemenangan kaum Muslimin generasi perdana. Mereka amat menjaga kualitas iman dan takwa dengan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.

Mereka melakukan kewajiban dengan kualitas terbaik, mengiringinya dengan amalan sunnah unggulan, dan senantiasa menjaga diri dari perbuatan sia-sia, dosa, dan maksiat dalam berbagai kadarnya. Mereka menolong agama Allah Ta’ala, sehingga Allah Ta’ala pun menolong mereka dengan amanah kejayaan.

Kiatnya sederhana. Tapi, amat sukar dalam mengamalkannya. Namun, semoga kita bisa terpilih menjadi salah satu penerus mereka. Aamiin.

Sumber kisahikmah

PKS SIAK, Dzikir - ilustrasi whattalkingdotcomUmar bin Khaththab merupakan salah satu sosok yang masuk Islam lantaran dikabulkannya doa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Setelah ikrarkan syahadat, Umar banyak mengukir teladan kebaikan di segala lini kehidupan. Baik dalam kapasitasnya sebagai seorang sahabat, suami, ayah, rakyat, pemimpin, dan dalam predikatnya sebagai hamba Allah Ta’ala.

Dalam banyak peristiwa, Umar bin Khaththab sering memiliki pendapat berbeda dengan pendapat Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Uniknya, justru pendapat Umarlah yang bersesuaian dengan wahyu yang Allah Ta’ala turunkan.

Semasa hidupnya, Umar adalah sosok yang amat tegas. Bahkan, para umahat langsung terdiam saat Umar datang, padahal sebelumnya mereka asyik menyampaikan sesuatu kepada Rasulullah. Diamnya para umahat adalah sebentuk rasa hormat, sebab mengetahui karakter Umar.

Dalam sabda Rasulullah yang lain juga disebutkan bahwa setan lebih memilih lari dan mencari jalan lain saat berpapasan dengan Umar di jalan yang sama. Itulah di antara alasan mengapa Umar mendapat julukan al-Faruq dan disebut sebagai salah satu pintu fitnah. Kelak setelah Umar wafat, fitnah yang dialami kaum muslimin semakin menjadi-jadi.

Dalam memimpin, Umar adalah teladan tiada banding. Hingga kini, keteladanan Umar senantiasa dibincang harum dalam banyak literatur dan forum diskusi. Beliau adalah pemimpin yang tegas, peduli, bijaksana, tak pilih kasih, dan adil. Sebagai seorang pemimpin, beliau tak segan atau malu untuk memikul gandum yang hendak diberikannya kepada rakyat miskin nan kelaparan.

Pada suatu siang, Umar kelelahan sebab mengurus rakyatnya seharian. Beliaupun beristirahat di atas tumpukan tanah dan kerikil berlinangan keringat. Dalam episode kelelahan ini, Umar memanjatkan doa yang amat menyentuh hati. Beliau meminta kepada Allah Ta’ala dengan sesuatu yang tak banyak dilakukan oleh pemimpin lain selepasnya.

“Ya Allah,” pinta Umar lirih, “usiaku sudah semakin udzur, tubuhku semakin tua,” dan, lanjutnya terbata, “rakyatku sudah semakin banyak.” Itulah kalimat yang dipilih oleh Umar dalam panjatkan doa. Sebuah pengakuan bahwa dirinya hanyalah manusia biasa yang memiliki sifat lemah nan tak berdaya di hadapan Rabbnya.

Dalam jenak, bibirnya semakin terbata melanjutkan pinta, “Kembalikan aku kepada-Mu dalam kondisi tidak menyia-nyiakan mereka, dan dalam kondisi tidak termakan fitnah.” Duhai, dalam lemahnya fisik yang dirasakan, beliau masih sibuk meminta sesuatu untuk rakyatnya.

Lanjutnya semakin jelas, “Tetapkanlah bagiku kematian sebagai syahid di jalan-Mu, dan wafat di tanah Rasul-Mu.” Beliau yang gagah perkasa itu, dengan tunduk meminta kematian di jalan Allah Ta’ala. Kemudian sebagai wujud rindunya kepada Nabi, Umar juga memohon agar diwafatkan di tanah kelahiran Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Sumber Kisahikmah

PKS SIAK, Kepada semua Nabi yang diutus-dari Nabi Adam hingga Nabi ‘Isa ‘alaihimus salam-diambil perjanjian agar mereka membenarkan apa yang dibawa oleh Rasul terakhir yang kelak hadir di akhir zaman. Maka semua Nabi itu meyakini dan membenarkan perjanjian itu dengan mengatakan, “Kami mengakui.”

Inilah makna yang terdapat di dalam surat Ali ‘Imran [3] ayat 80 dan 81. Ayat ini dikuatkan dengan riwayat-riwayat shahih yang termaktub dalam hadits-hadits Nabi yang mulia juga penjelasan para sahabat, tabi’in, dan pengikut tabi’in, serta orang shaleh setelahnya.

Dikatakan oleh ‘Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin ‘Abbas, “Allah tidak mengutus seorang Nabi melainkan telah dimbil perjanjian kepadanya; Jika Allah Ta’ala mengutus Muhammad, sedang mereka dalam keadaan hidup, niscaya para Nabi itu akan mengambil janji dari umatnya.”

Janji yang dimaksud adalah, “Jika Muhammad diutus dan mereka (kaum para Nabi) masih hidup, niscaya mereka akan beriman kepada Muhammad dan menolongnya.”

Dalam riwayat lain disebutkan, datanglah ‘Umar bin Khaththab seraya berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku telah memerintahkan kepada saudaraku yang beragama Yahudi dari suku Quraizhah untuk menulis ringkasan Taurat.”

Lanjut ‘Umar seraya menawarkan ringkasan Taurat kepada kekasihnya itu, “Berkenankah engkau jika aku perlihatkan hal itu kepadamu?”

Dikisahkan dari ‘Abdullah bin Tsabit bahwa wajah Nabi memerah selepas mendengar perkataan ‘Umar. Maka ‘Abdullah pun menegur ‘Umar, “Tidakkah engkau melihat perubahan pada wajah Rasulullah?”

Sosok yang tegas dan ditakuti setan ini pun langsung memahami, kemudian ia berkata, “Aku rela Allah Ta’ala sebagai Rabbku, Islam sebagai agamaku, dan Muhammad sebagai Rasulku.”

“Maka,” sebagaimana disebutkan dalam riwayat Imam Ahmad ini, “hilanglah rona kemarahan dari wajah Nabi.”

Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Demi Allah yang jiwaku berada dalam genggamannya, seandainya Musa ‘alaihis salam berada di tengah-tengah kalian, lalu kalian mengikutinya dan meninggalkanku,” terang Rasulullah, “maka kalian telah tersesat.”

Dan, yang paling mengharukan adalah perkataan Nabi di akhir hadits, “Sesungguhnya kalian adalah (umat yang menjadi) bagianku dan aku adalah (Nabi yang menjadi) bagian dari kalian.”

Sedangkan bukti lainnya: Rasulullah menjadi imam shalat di Baitul Maqdis dalam peristiwa Isra’; sosok yang kelak bisa memberikan syafa’at kepada umatnya; dan Imam para Rasul Ulul ‘Azmi. Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad wa ‘ala ali sayyidina Muhammad.

Sumber kisahikmah

PKS SIAK, Banyak perjalanan hidup yang bisa dikail untuk dijadikan hikmah kehidupan. Begitu banyak kisah inspiratif di sepanjang sejarah yang mampu menjadi pemantik semangat jiwa. Ada limpahan pelajaran kebajikan dari banyak episode kehidupan untuk kebaikan generasi setelahnya.

Dalam hamparan padang pasir kisah itu, kita bisa memilah dan memilihnya; bukan untuk mencocokkan, tetapi untuk meneladani yang paling tepat, sebab masing-masing individu memiliki kecenderungan dan kisahnya masing-masing.

Adalah Abu ‘Abdullah bin Zadaan al-Kindi. Seorang pemain musik dan penyanyi fenomenal di masanya. Namanya termasyhur di seantero negeri sebagai sosok yang mampu melantunkan berbagai jenis lagu, bahkan menciptakan dan juga bermain musik. Sungguh, kelebihannya adalah bakat yang sukar dicari tandingannya.

Suara yang merdu, kepiawaian memainkan alat musik, dan pesona seninya, sebagaimana dikisahkan oleh Solikhin Abu Izzudin dalam Bersama Ayah Meraih Jannah, “Dia menjadi salah seorang yang populer, dikagumi, dan digemari masyarakat Kuffah saat itu.”

Kemudian, perjalanan hidup mengantarkannya pada sebuah episode yang berbalik seratus delapan puluh derajat; berubah total. Berpaling dari musik dan nyanyian yang melenakkan menuju cahaya Islam yang menyejukkan hati para penganutnya. Sebabnya pun sangat sederhana, hanya satu kalimat.

Sezaman dengan Abu ‘Abdullah sang penyanyi adalah sosok ahlul Qur’an dan sahabat Nabi yang terpilih, ‘Abdullah bin Mas’ud. Qadarullah, saat Abu ‘Abdullah tengah melantunkan suara emasnya dengan nyanyian yang membuat jiwa terlena dengan dunia, lewatlah sang ‘Abdullah bin Mas’ud.

Demi mendengar keelokan, merdu, cengkok yang sempurna, dan keistimewaan-keistimewaan lain dalam suara Abu ‘Abdullah itu, ‘Abdullah bin Mas’ud berkata, “Indah sekali suara ini jika digunakan untuk membaca Kitabullah…”

Hanya satu kalimat yang diucapkan. Yang karenanya, tulis Solikhin Abu Izzuddin meneruskan kisahnya, “Abu ‘Abdullah bin Zaadan segera berhenti bernyanyi. Dia bertaubat dari bernyanyi dan bermain musik.” Dan, pada episode kehidupan selanjutnya, ia menjadi salah satu murid terbaik dari sosok yang pernah diminta oleh Nabi secara khusus untuk membacakan al-Qur’an kepada baginda Nabi yang mulia.

Sosok yang bersih hatinya, bening pemikirannya, fasih lisannya, dan pernah dibela Nabi saat diejek oleh orang-orang terkait ukuran betisnya yang amat kecil. Padahal, dalam timbangan amal, betisnya itu amat berat sebab pemiliknya memiliki iman dan takwa yang agung.

Sumber Kisahikmah

PKS SIAK, Dalam sehari semalam ada lima kali adzan berkumandang. Dalam setiap kali adzan itu, ada peluang syafaat yang dijanjikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Janji Nabi itu amat pasti. Tidak akan diingkari. Sayangnya, banyak sekali kaum Muslimin yang tidak sadar, atau pura-pura lalai terhadap hal yang amat agung ini.

Bahkan ada banyak di antara mereka yang tuli saat adzan berkumandang. Bukan tuli fisik, tetapi tuli maknawi. Mendengar, tapi tak menjawab adzan. Mendengar, tapi tak bergegas mendatangi masjid untuk mengikuti shalat berjamaah. Padahal, dalam setiap kali adzan itu, ada janji pembagian syafaat dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada seluruh umatnya.

Dalam sehari saja, misalnya, ada lima kali adzan yang berkumandang dari satu masjid. Jika sepekan, jumlahnya ada tiga puluh lima kali adzan (tujuh hari). Jika satu bulan, maka jumlah adzan yang berkumandang ada seratus lima puluh kali. Jika setahun, tiga ratus enam puluh lima hari, maka jumlah adzan yang berkumandang ada seribu delapan ratus dua puluh lima kali adzan.

Jika kita hidup di sebuah pemukiman, dimana di lokasi tersebut ada adzan yang bisa kita dengarkan dari dua atau tiga masjid yang berbeda atau lebih, maka jumlah adzan yang kita dengarkan tentulah lebih banyak. Belum lagi jika kita sedang berada di perjalanan dan mendengarkan adzan dari banyak masjid yang berbeda. Maka, betapa banyaknya peluang syafaat yang menyambangi kita di sepanjang usia.

Jika setahun saja ada 1825 kali adzan berkumandang, dan saat ini usia kita sudah dua puluh tahun, misalnya, maka seharusnya kita sudah mendengarkan adzan sebanyak 36.500 kali atau 36.500 kali peluang mendapatkan syafaat Nabi. Angka itu akan terus bertambah atau berkurang disesuaikan dengan usia kita saat ini.

Lalu, peluang syafaat apakah yang dijanjikan oleh Nabi dalam setiap adzan? Dan, berapa yang berhasil kita manfaatkan?

“Barang siapa yang setelah mendengar adzan membaca doa, ‘Allahumma Rabba haadzihid-da’watit-tammaati. Wash-shalatil qaa-imati. Aati Muhammadanil washiilata wal fadhiilah. Wab ‘atshu maqaamam mahmuda-nilladzii wa ‘adtahu. (Ya Allah, Rabb pemilik seruan yang sempurna ini dan shalat akan didirikan ini. Karuniakanlah kepada Muhammad washilah dan keutamaan, serta anugerahkanlah kepadanya tempat terpuji yang telah Engkau janjikan kepadanya)’, maka ia berhak mendapatkan syafaat pada hari Kiamat kelak.”

Hadits ini diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdullah dan dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dalam Shahihnya, lalu dikutip oleh Imam Ibnu Katsir dalam Tafsirnya.

Nampaknya, kita perlu benar-benar berhitung, dari sekian banyak peluang syafaat itu, berapa yang kita manfaatkan, dan berapa pula yang kita sia-siakan? Rabbighfirlanaa

Sumber Kisahikmah

PKS SIAK, Suatu kali, Rasulullah SAW pernah mengingatkan para sahabat akan hal yang paling beliau takutkan dengan berkata, ''Sesungguhnya hal yang paling aku takutkan atas diri kalian adalah

syirik kecil.''
Para sahabat langsung bertanya, ''Apakah yang dimaksud dengan syirik kecil itu, wahai Rasulullah?'' Rasul menjawab, ''Riya.''

Riya adalah harapan untuk mendapatkan sanjungan, kemuliaan, atau kedudukan di hati manusia dengan memperlihatkan tindakan yang baik dalam ibadah ataupun kegiatan sehari-hari.

Seseorang yang memperturutkan riya dalam ibadah mahdhah, seperti shalat maka tiada sedikitpun balasan pahala yang ia terima. (QS al-Ma'un [107]: 4-6)

Dalam ibadah ghairu mahdhah pun seperti itu. Berinfak di jalan Allah dengan maksud bisa mendapat julukan dermawan atau menuntut ilmu dengan niat mendapat gelar seorang alim maka

segala usaha tersebut akan sia-sia.

Selain itu, pelaku riya juga akan mendapat laknat dari Allah SWT karena ia telah menyandingkan Sang Khalik dengan makhluk ciptaan-Nya. Dalam Hadis qudsi disebutkan bahwa Allah

SWT menantang kala hari perhitungan kepada manusia dengan berkata, ''Pergilah kalian kepada orang-orang yang kala di dunia kalian mengedepankan riya atas mereka dan lihatlah apakah

kalian mendapatkan balasan dari sisi mereka.'' (HR Ahmad dan Baihaqi).

Demikian betapa besarnya laknat Allah terhadap pelaku riya. Riya hukumnya haram. Ia merupakan penyakit hati yang bersumber dari sifat rububiyyah dalam diri manusia, yakni sifat yang

menganggap diri lebih mulia ketimbang orang lain sehingga senantiasa ingin mendapatkan pujian dan menampakkan perilaku baik dalam tutur kata dan perbuatan.

Sifat ini sejatinya ada dalam hati setiap pribadi manusia, meski takarannya berbeda-beda, bergantung iman dan ketaatan kepada Allah SWT. Barang siapa yang imannya kuat maka ia akan

mampu menekan penyakit riya tidak sampai tampak ke permukaan, tapi sebaliknya, manakala lemah maka ia akan terseret oleh arus penyakit ini.

Lantas, bagaimana usaha kita untuk menghindari syirik kecil ini? Pertama, dengan mengetahui akar pemicu timbulnya riya. Penyakit akan tumbuh kembali manakala penderita sekadar

mengobati titik sakitnya bukan pada akarnya. Adapun secara terperinci ada tiga akar riya, yakni perasaan senang mendapatkan pujian,  takut akan hinaan dan celaan, serta tamak atas apa

yang dimiliki oleh orang lain. Ketiga akar ini akan tercerabut dari dalam hati kita dengan mengingat bahwa keagungan hanya mutlak milik Allah SWT dan tiada kemuliaan yang abadi di

dunia.

Namun, apabila riya masih terketuk dalam hati meski kita sudah mengetahui akar pemicunya maka cara yang kedua adalah dengan mengucap taawuz dan terus beristighfar kepada Allah

SWT agar setan yang kala itu membuhulkan bisikan dapat menjauh dari kita karena sejatinya setan menjauh dari orang-orang yang hatinya bersih dan ikhlas.

Dari itu semua, apalah arti sebuah sanjungan kalau ia putus ditelan kematian. Sebab, sanjungan yang abadi hanya datang dari Allah SWT kelak di hari akhir. Masing-masing dari kita akan

mampu meraih sanjungan-Nya dengan amal saleh dan ketakwaan yang hakiki. Wallahu a'lam.

Sumber Siaksatu

PKS SIAK, Di antara nikmat yang Allah Ta’ala kurniakan kepada kita adalah nikmatnya berukhuwah. Nikmat ini menembus batas-batas karunia fisik dan juga pikiran. Ia masuk ke dalam sanubari seorang hamba. Nikmat ukhuwah ini, dalam beberapa cabangnya menjadi sebentuk amal ketaatan kepada yang dicintainya. Dan, inilah yang terjadi pada diri sahabat kepada Nabi yang amat disayanginya.

Lantaran nikmat ini pula, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam diriwayatkan sangat bahagia dan ceria wajahnya ketika melihat kejadian ini dalam rangkaian sejarah Perang Badar yang mulia.

Sebelum berangkat ke medan Badar, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meminta pendapat kepada sahabat-sahabatnya. Mereka pun angkat bicara, di antaranya ‘Umar bin Khaththab yang sangat pemberani. Kemudian disusul dengan pendapat dari sahabat-sahabat lainnya.

Saat giliran bicara sampai kepada sahabat Anshar, mereka dengan tegas mengatakan, “Jika demikian (berangkat berperang), kita tidak boleh mengatakan kepada beliau seperti perkataan Bani Israil kepada Nabi Musa ‘Alaihis salam.”

Saat Bani israil diajak oleh Nabi Musa untuk memerdekakan Palestina yang dikuasai oleh kaum Amaliq yang gagah perkasa dan tinggi besar, mereka menolak dan mengatakan, “Pergilah kamu bersama Rabbmu dan berperanglah kamu berdua. Sesungguhnya kami hanya duduk menanti saja di sini.” (Qs. al-Maidah [5]: 24)

Atas kekonyolan dan pengingkaran yang mereka lakukan itu, Allah Ta’ala membuat mereka berkeliling dan berputar di padang Tiih (padang sahara yang membingungkan dan menyesatkan) selama empat puluh tahun. Mereka tak diizinkan untuk menginjakkan kaki dan hidup di bumi suci Palestina.

Menguatkan riwayat ini, Imam Ahmad bin Hanbal juga menyampaikan satu hadits tentang Miqdad. Sebagaimana dituturkan oleh ‘Abdullah bin Mas’ud, Miqdad mendatangi Nabi saat beliau tengah berdoa memohon kebinasan untuk kaum kafir dan musyrik.

“Ya Rasulullah,” ujar Miqdad, “demi Allah, kami tidak akan mengatakan apa yang disampaikan oleh kaum Bani Israil kepada Musa.” Miqdad pun membaca surat al-Maidah [5] ayat 24 di atas. “Tetapi,” ujar Miaqdad, “Kami akan berperang di sebelah kanan dan kirimu, di depan dan belakangmu.”

Sebagai kelanjutan riwayat ini, saat Nabi mendengar penuturan Miqdad, ‘Abdullah bin Mas’ud sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ibnu Katsir dalam Tafsirnya mengatakan, “Maka aku melihat wajah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam begitu ceria karenanya. Dan hal itu menjadikan beliau sangat bahagia.”

“Seandainya aku melakukannya (apa yang dilakukan oleh Miqdad kepada Nabi),” aku ‘Abdullah bin Mas’ud, “niscaya hal itu lebih aku sukai daripada yang sebanding dengannya.” Maknanya, para sahabat adalah sosok yang senantiasa berlomba untuk membuat Nabi bahagia dengan amalan ketaatan.

Sumber Kisahikmah

PKS SIAK, Banyak sekali kisah keajaiban dalam dakwah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Keseluruhan keajaiban itu bermuara pada satu kesimpulan bahwa Allah Ta’ala pasti menolong siapa yang menolong agama-Nya. Allah Ta’ala mustahil berlaku zalim dengan menyia-nyiakan para pejuang di jalan-Nya.

Di antara kisah itu, ada satu kata yang diucapkan Nabi dan berhasil menyelamatkan beliau dari pembunuhan seorang badui. Padahal, saat itu, tak ada jarak antara pedang dan leher Nabi yang mulia.

Lelaki badui ini bernama Ghaurats bin Harits. Seorang badui. Dia diutus untuk membunuh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sebagaimana dikisahkan dari Jabir bin ‘Abdullah, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan sahabat-sahabatnya beristirahat di bawah pepohonan dalam sebuah perjalanan.

Nabi menyandarkan pedangnya di sebuah batang pohon berduri, agak jauh dari tempatnya merebahkan diri. Seraya mengendap-endap, sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnu Katsir dalam Tafsirnya, “Ada orang badui yang mendatangi pedang Rasulullah, lalu ia mengambil dan mencabutnya dari sarungnya.”

Dengan hati-hati agar tidak ketahuan oleh para sahabat, lelaki badui ini pun menuju tempat Nabi beristirahat. Sembari menodongkan pedang tepat di leher Nabi, ia berkata, “Siapakah yang akan menghalangimu dariku?” Jawab Nabi penuh keyakinan, “Allah.”

Tidak puas dengan tetap mengancam, lelaki badui ini melontarkan pertanyaan yang sama sebanyak dua atau tiga kali. Namun, Nabi tak mengubah jawabannya. Beliau berujar dengan sangat mantap, “Allah.”

Gentar dengan jawaban Nabi, lelaki badui itu pun kembali menyarungkan pedang Nabi. Beliau pun memanggil para sahabat dan memberitahukan apa yang terjadi. Saat para sahabat datang, lelaki itu terduduk di samping tempat duduk Nabi. Dan, Nabi tidak menghukumnya.

Demikian itulah di antara keajaiban dakwah. Allah Ta’ala pasti menolong siapa yang menolong agama-Nya. Karenanya, tak perlu gentar, takut, atau khawatir. Lakukan dengan niat yang benar, dan bertawakkallah kepada Allah Ta’ala. Kelak, dan sudah menjadi janji-Nya, bahwa pertolongan Allah Ta’ala lebih dekat dari urat nadi seorang hamba.

Semoga Allah Ta’ala memberikan kepada kita kekuatan untuk senantiasa bergabung dalam kafilah dakwah. Aamiin.

Sumber Kisahikmah

Siapa yang tak mengenal Umar Ibnul Khottab -radhiallahu anhu-. Sosok yang memiliki tubuh kekar, watak yang keras dan berdisiplin yang tinggi serta tak kenal gentar. Namun di balik sifat tegasnya tersebut beliau memiliki hati yang lembut.
Suatu hari beliau masuk menemui Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- di dalam rumahnya, sebuah ruangan yang lebih layak disebut bilik kecil disisi masjid nabawi. Di dalam bilik sederhana itu, beliau mendapati Rasulullah –shallallahu alaihi wasallam- sedang tidur di atas tikar kasar hingga gurat-gurat tikar itu membekas di badan beliau.

Spontan keadaan ini membuat Umar menitikkan air mata karena merasa iba dengan kondisi Rasulullah.

"Mengapa engkau menangis, ya Umar?" tanya Rasulullah.

"Bagaimana saya tidak menangis, Kisra dan Kaisar duduk di atas singgasana bertatakan emas, sementara tikar ini telah menimbulkan bekas di tubuhmu, ya Rasulullah. Padahal engkau adalah kekasih-Nya," jawab Umar.

Rasulullah kemudian menghibur Umar, beliau bersabda: "Mereka adalah kaum yang kesenangannya telah disegerakan sekarang juga, dan tak lama lagi akan sirna, tidakkah engkau rela mereka memiliki dunia sementara kita memiliki akhirat…? ".

Beliau shallallahu alaihi wasallam melanjutkan lagi, "Kita adalah kaum yang menangguhkan kesenangan kita untuk hari akhir. Perumpamaan hubunganku dengan dunia seperti orang bepergian di bawah terik panas. Dia berlindung sejenak di bawah pohon, kemudian pergi meninggalkannya."

Begitulah sahabat….

Tangisan Umar adalah tangisan yang lahir dari keimanan yang dilandasi tulusnya cinta kepada Rasulullah –shallallahu alaihi wasallam-. Apa yang dilihatnya membuat sisi kemanusiaannya terhentak dan mengalirkan perasaan gundah yang manusiawi. Reaksi yang seolah memberi arti bahwa semestinya orang-orang kafir yang dengan segala daya dan upaya berusaha menghalangi kebenaran, memadamkam cahaya iman, dan menyebarkan keculasan dan keburukan, mereka itulah yang semestinya tak menikmati karunia Allah. Sebaliknya, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang telah membimbing umat manusia dari kegelapan menuju cahaya Islamlah semestinya mendapat kesenangan dunia yang layak, begitu fikir Umar.

Tangisan Umar juga memberi arti lain, bahwa betapa tidak mudah bagi sisi-sisi manusiawi setiap orang bahkan bagi Umar sekalipun, untuk menerima ganjilnya “pemihakan” dunia kepada orang-orang bejat. Namun sekejap gundah dan tangisnya berubah menjadi pelajaran bagi orang-orang beriman sesudahnya. Yaitu apabila kita mengukur hidup ini dengan timbangan duniawi, maka terlalu banyak kenyataan hidup yang dapat menyesakkan dada kita.

Lihatlah bagaimana orang-orang yang benar justru diinjak dan dihinakan. Sebaliknya, para penjahat dan manusia-manusia bejat dipuja dengan segala simbol penghargaan. Tak perlu heran, karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah mengabarkan akan masa-masa sulit itu. Masa dimana orang-orang benar didustakan dan orang-orang dusta dibenarkan.

Tangis Umar juga mengajari kita bahwa dalam menyikapi gemerlapnya dunia, kita tidak boleh hanya menggunakan sisi-sisi manusiawi semata, dibutuhkan mata hati bukan sekedar mata kepala. Dibutuhkan ketajaman iman, dan bukan semata kalkulasi duniawi.

Dan semua itu tercermin dalam jawaban Rasulullah –shallallahu alaihi wasallam- kepada Umar. Beliau memberi gambaran yang membuat sesuatu yang secara lahiriah aneh dan ganjil bisa jadi secara substansial benar-benar adil. Bagaimana sesuatu yang yang secara kasat mata terlihat pahit, menjadi benih-benih bagi akhir yang manis dan membahagiakan.

Jawaban Rasulullah juga memberi pesan agar orang beriman jangan sampai mudah silau dan terpukau dengan gemerlapnya dunia yang dimiliki oleh orang kafir. Karena setiap mukmin punya pengharapan lain yang jauh lebih tinggi, yaitu kebahagiaan abadi di akhirat, pada keaslian kampung halaman yang sedang dituju.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

إِذَا رَأَيْتَ اللهَ تَعَالَى يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا مَا يُحِبُّ وَهُوَ مُقِيمٌ عَلَى مَعَاصِيْهِ فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِنهُ اسْتِدْرَاجٌ

“Bila kamu melihat Allah memberi pada hamba dari (perkara) dunia yang diinginkannya, padahal dia terus berada dalam kemaksiatan kepada-Nya, maka (ketahuilah) bahwa hal itu adalah istidraj (jebakan berupa nikmat yang disegerakan) dari Allah.” (HR. Ahmad, dll, lihat Shahihul Jami’ no. 561)

pkssiak.org -



 لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا 
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (qs. Al-Ahzab: 21).
Saudaraku,
 
Shafiyurrahman al-Mubarakfuri dalam bukunya “al-rahiq al-Makhtum” menceritakan kisah renovasi Ka’bah dan proses peletakkan Hajar Asqad ke tempatnya semula.
‘Pada usia tiga puluh tahun, orang-orang Quraisy sepakat untuk merenovasi Ka’bah. Sebab Ka’bah itu berupa susunan batu-batuan, lebih tinggi dari tubuh manusia. Tepatnya sembilan hasta yang dibangun sejak zaman Nabi Isma’il a.s. Tanpa ada atapnya sehingga banyak pencuri yang dengan mudah dapat mengambil barang-barang berharga yang tersimpan di dalamnya. Dengan kondisi semacam itu, bangunan Ka’bah semakin rapuh dan dindingnya pun sudah mulai pecah-pecah.
Lima tahun sebelum kenabian, Mekkah dilanda banjir besar hingga meluber ke baitullah al-haram, sehingga sewaktu-waktu bisa membuat Ka’bah menjadi runtuh. Sementara itu orang-orang Quraisy dihinggapi perasaan bimbang antara merenovasi Ka’bah atau membiarkannya seperti semula. Karena bayangan peristiwa hancurnya Abrahah dan pasukannya oleh sekawanan burung Ababil (yang datang bergelombang) saat mereka akan merobohkan Ka’bah, dan melempari mereka dengan batu-batu panas dari neraka. Sehingga pasukan dari Shan’a Yaman tersebut bagaikan daun-daun yang dimakan ulat.
Namun Quraisy akhirnya sepakat untuk tidak mengambil bahan-bahan bangunannya terkecuali dari income yang baik-baik. Mereka tidak menerima harta dari maskawin para pelacur, jual beli dengan sistem riba dan perampasan terhadap hak orang lain. Sekalipun demikian mereka takut untuk merobohkannya.
Akhirnya al-Walid bin al-Mughirah mengawali perobohan bangunan Ka’bah, lalu diikuti oleh semua orang setelah tahu tidak ada sesuatu pun yang menimpa al-Walid. Mereka terus bekerja merobohkan setiap bangunannya hingga sampai ke rukun Ibrahim. Setelah itu mereka siap untuk membangunnya kembali.
Mereka membagi sudut-sudut Ka’bah dan mengkhususkan setiap suku atau kabilah dengan bagiannya tersendiri. Setiap kabilah mengumpulkan batu-batu yang baik dan renovasi Ka’bah pun dimulai. Yang bertugas menangani urusan pembangunan Ka’bah adalah seorang arsitek berkebangsaan Romawi yang bernama; Baqum.
Tatkala pembangunan sudah sampai di bagian Hajar Aswad, mereka berselisih pendapat tentang siapakah yang paling berhak untuk mendapatkan kehormatan meletakkan batu mulia tersebut ke tempatnya semula. Perselisihan ini terus berlanjut hingga sampai empat atau lima hari tanpa ada keputusan. Bahkan perselisihan tersebut semakin meruncing dan hampir saja mengarah kepada pertumpahan darah di tanah suci.
Abu Umayah bin al-Mughirah tampil menawarkan solusi untuk melerai pertikain dan perselishan di antara mereka, dengan menyerahkan urusan ini kepada siapa saja yang pertama kali masuk lewat pintu masjid. Mereka menerima pendapat ini.
Allah menghendaki orang yang berhak tersebut adalah Rasulullah s.a w. Tatkala mengetahui hal tersebut, mereka berkata, “Inilah al-Amin kami ridha kepadanya, inilah dia Muhammad.”
Setelah semuanya berkumpul di sekitar Nabi s.a.w dan mengabarkan apa yang harus beliau lakukan, maka beliau meminta sehelai selendang dibentangkan, lalu beliau meletakkan Hajar Aswad tepat di tengah-tengahnya, lalu meminta pemuka-pemuka kabilah yang saling berselisih untuk memegang ujung-ujung selendang, lalu memerintahkan mereka semua mengangkatnya.
Setelah mendekati tempatnya beliau mengambil Hajar Aswad dan meletakkannya di tempatnya semula. Ini merupakan jalan pemecahan yang sangat brilian dan diridhai semua orang.
Saudaraku,
 
Orang-orang Quraisy kehabisan dana dari penghasilan yang baik. Maka mereka menyisakan di bagian utara kira-kira enam hasta, yang kemudian disebut dengan al-Hijr atau al-Hathim. Mereka membuat pintunya lebih tinggi dari permukaan tanah, agar tidak dimasuki oleh orang yang ingin melewatinya. Setelah bangunan Ka’bah mencapai ketinggian lima belas hasta, mereka memasang atap dengan disangga enam sendi.
Setelah selesai renovasi, Ka’bah itu berbentuk segi empat, yang ketinggiannya kira-kira mencapai lima belas meter, panjang sisinya di tempat Hajar Aswad dan sebaliknya adalah sepuluh kali sepuluh meter. Hajar aswad diletakkan dengan ketinggian satu setengah meter dari permukaan pelataran untuk thawaf.
Sisi yang ada pintunya dan sebaliknya setinggi dua belas meter. Adapun pintunya setinggi dua meter dari permukaan tanah. Di sekeliling luar Ka’bah ada pagar dari bagian bawah ruas-ruas bangunan. Di bagian tengahnya dengan ketinggian seperempat meter dan lebarnya kira-kira sepertiga meter. Pagar ini dinamakan “al-Syadzarawan”. Namun kemudian orang-orang Quraisy meninggalkannya.
Saudaraku, Pelajaran berharga yang dapat kita petik dari peristiwa renovasi Ka’bah adalah sebagai berikut:
• Dengan kekufuran dan kesyirikan Quraisy, mereka tetap mengagungkan dan mensucikan Ka’bah al-Musyarrafah, sehingga dana yang mereka pergunakan untuk merenovasi Ka’bah mereka ambilkan dari yang halal lagi thayyib.
• Semua orang pada sejatinya menyimpan kekhawatiran dan ketakutan terhadap azab Allah s.w.t, apapun profesi, kedudukan dan kemuliaan yang mereka sandang di dunia.
• Jika kita ingin menjadi pemimpin dan tokoh masyarakat yang dicintai dan didengar oleh masyarakat, maka salah satu sifat yang harus kita punyai adalah ‘amanah’ dapat dipercaya.
• Mediasi sangat diperlukan untuk menyelesaikan persoalan dan kesalah pahaman yang terkadang muncul di tengah-tengah masyarakat.
• Pertikaian, konflik dan peperangan antar suku Quraisy dapat dihindari dan persatuan kembali terajut, karena kecerdasan dan kejelian Rasulullah s.a.w dalam membaca dan menganalisa persoalan yang dihadapi oleh masyarakat.
• Apa yang dilakukan Nabi s.a.w mencerminkan kemampuannya dalam menyelesaikan persoalan besar. Jika perannya gagal, maka Ka’bah dan sekitarnya akan menjadi saksi pertumpahan darah antar sesama suku dan kabilah Quraisy.
Saudaraku,
 
Mari kita menyiapkan diri untuk menajdi seorang mediator Islam, agar umat Islam mampu meraih kejayaan dan kemenangan. Konflik dan perselisihan sekecil apapun dapat dihindari dan kesatuan umat dapat terwujud di alam realita kehidupan kita.
Menampilkan kepribadian menarik dan akhlak yang memikat yang dibingkai dengan sifat amanah, insyaallah kta layak menjadi perekat dan pemberi solusi bagi permasalahan dan persoalan yang kerap muncul di tengah-tengah masyarakat. Wallahu a’lam bishawab.

Abu Ja’far Fir’adi
[pkspadang.org]

pkssiak.org - Pembicaraan tentang putra dan putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk pembicaraan yang jarang diangkat. Tidak heran, sebagian umat Islam tidak mengetahui berapa jumlah putra dan putri beliau atau siapa saja nama anak-anaknya.
Enam dari tujuh anak Rasulullah terlahir dari ummul mukminin Khadijah binti Khuwailid radhiallahu ‘anha. Rasulullah memuji Khadijah dengan sabdanya,
قَدْ آمَنَتْ بِي إِذْ كَفَرَ بِي النَّاسُ وَصَدَّقَتْنِي إِذْ كَذَّبَنِي النَّاسُ وَوَاسَتْنِي بِمَالِهَا إِذْ حَرَمَنِي النَّاسُ وَرَزَقَنِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَلَدَهَا إِذْ حَرَمَنِي أَوْلَادَ النِّسَاءِ
“Ia telah beriman kepadaku tatkala orang-orang kafir kepadaku, ia telah membenarkan aku tatkala orang-orang mendustakan aku, ia telah membantuku dengan hartanya tatkala orang-orang menahan hartanya tidak membantuku, dan Allah telah menganugerahkan darinya anak-anak tatkala Allah tidak menganugerahkan kepadaku anak-anak dari wanita-wanita yang lain.” (HR Ahmad no.24864)
Saat beliau mengucapkan kalimat ini, beliau belum menikah dengan Maria al-Qibtiyah.
Anak-anak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Rasulullah memiliki tiga orang putra; yang pertama Qasim, namanya menjadi kunyah Rasulullah (Abul Qashim). Qashim dilahirkan sebelum kenabian dan wafat saat berusia 2 tahun. Yang kedua Abdullah, disebut juga ath-Thayyib atau ath-Tahir karena lahir setelah kenabian. Putra yang ketiga adalah Ibrahim, dilahirkan di Madinah tahun 8 H dan wafat saat berusia 17 atau 18 bulan.
Adapun putrinya berjumlah 4 orang; Zainab yang menikah dengan Abu al-Ash bin al-Rabi’, keponakan Rasulullah dari jalur Khadijah, kemudian Fatimah menikah dengan Ali bin Abi Thalib, lalu Ruqayyah dan Ummu Qultsum menikah dengan Utsman bin Affan.
Rinciannya adalah sebagai berikut:
Putri-putri Rasulullah Para ulama sepakat bahwa jumlah putri Rasulullah ada 4 orang, semuanya terlahir dari rahim ummul mukminin Khadijah radhiallahu ‘anha.
Pertama, putri pertama Rasulullah adalah Zainab binti Rasulullah. Zainab radhiallahu ‘anha menikah dengan anak bibinya, Halah binti Khuwailid, yang bernama Abu al-Ash bin al-Rabi’. Pernikahan ini berlangsung sebelum sang ayah diangkat menjadi rasul. Zainab dan ketiga saudarinya masuk Islam sebagaimana ibunya Khadijah menerima Islam, akan tetapi sang suami, Abu al-Ash, tetap dalam agama jahiliyah. Hal ini menyebabkan Zainab tidak ikut hijrah ke Madinah bersama ayah dan saudari-saudarinya, karena ikatannya dengan sang suami.
Beberapa lama kemudian, barulah Zainab hijrah dari Mekah ke Madinah menyelamatkan agamanya dan berjumpa dengan sang ayah tercinta, lalu menyusullah suaminya, Abu al-Ash. Abu al-Ash pun mengucapkan dua kalimat syahadat dan memeluk agama mertua dan istrinya. Keluarga kecil yang bahagia ini pun bersatu kembali dalam Islam dan iman. Tidak lama kebahagiaan tersebut berlangsung, pada tahun 8 H, Zainab wafat meninggalkan Abu al-Ash dan putri mereka Umamah.
Setelah itu, terkadang Umamah diasuh oleh kakeknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana dalam hadis disebutkan beliau menggendong cucunya, Umamah, ketika shalat, apabila beliau sujud, beliau meletakkan Umamah dari gendongannya.
Kedua, Ruqayyah binti Rasulullah. Ruqayyah radhiallahu ‘anha dinikahkan oleh Rasulullah dengan sahabat yang mulia Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Keduanya turut serta berhijrah ke Habasyah ketika musyrikin Mekah sudah sangat keterlaluan dalam menyiksa dan menyakiti orang-orang yang beriman. Di Habasyah, pasangan yang mulia ini dianugerahi seorang putra yang dinamai Abdullah.
Ruqayyah dan Utsman juga turut serta dalam hijrah yang kedua dari Mekah menuju Madinah. Ketika tinggal di Madinah mereka dihadapkan dengan ujian wafatnya putra tunggal mereka yang sudah berusia 6 tahun.
Tidak lama kemudian, Ruqoyyah juga menderita sakit demam yang tinggi. Utsman bin Affan setia merawat istrinya dan senantiasa mengawasi keadaannya. Saat itu bersamaan dengan terjadinya Perang Badar, atas permintaan Rasulullah untuk mejaga putrinya, Utsman pun tidak bisa turut serta dalam perang ini. Wafatlah ruqayyah  bersamaan dengan kedatangan Zaid bin Haritsah yang mengabarkan kemenangan umat Islam di Badar.
Ketiga, Ummu Kultsum binti Rasulullah. Setelah Ruqayyah wafat, Rasulullah menikahkan Utsman dengan putrinya yang lain, Ummu Kultsum radhiallahu ‘anha. Oleh karena itulah Utsman dijuluki dzu nurain (pemilik dua cahaya) karena menikahi dua putri Rasulullah, sebuah keistimewaan yang tidak dimiliki sahabat lainnya.
Utsman dan Ummu Kultsum bersama-sama membangun rumah tangga hingga wafatnya Ummu Kultsum pada bulan Sya’ban tahun 9 H. Keduanya tidak dianugerahi putra ataupun putri. Ummu Kultsum dimakamkan bersebelahan dengan saudarinya Ruqayyah radhiallahu ‘anhuma.
Keempat, Fatimah binti Rasulullah. Fatimah radhiallahu ‘anha adalah putri bungsu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia dilahirkan lima tahun sebelum kenabian. Pada tahun kedua hijriyah, Rasulullah menikahkannya dengan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Pasangan ini dikaruniai putra pertama pada tahun ketiga hijriyah, dan anak tersebut dinamai Hasan. Kemudian anak kedua lahir pada bulan Rajab satu tahun berikutnya, dan dinamai Husein. Anak ketiga mereka, Zainab, dilahirkan pada tahun keempat hijriyah dan dua tahun berselang lahirlah putri mereka Ummu Kultsum.
Fatimah adalah anak yang paling mirip dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari gaya bicara dan gaya berjalannya. Apabila Fatimah datang ke rumah sang ayah, ayahnya selalu menyambutnya dengan menciumnya dan duduk bersamanya. Kecintaan Rasulullah terhadap Fatimah tergambar dalam sabdanya,
فاطمة بضعة منى -جزء مِني- فمن أغضبها أغضبني” رواه البخاري
“Fatimah adalah bagian dariku. Barangsiapa membuatnya marah, maka dia juga telah membuatku marah.” (HR. Bukhari) Beliau juga bersabda,
أفضل نساء أهل الجنة خديجة بنت خويلد، وفاطمة بنت محمد، ومريم بنت عمران، وآسية بنت مُزاحمٍ امرأة فرعون” رواه الإمام أحمد
“Sebaik-baik wanita penduduk surga adalah Khadijah binti Khuwailid, Fatimah binti Muhammad, Maryam binti Imran, Asiah bin Muzahim, istri Firaun.” (HR. Ahmad).
Satu-satunya anak Rasulullah yang hidup saat beliau wafat adalah Fatimah, kemudian ia pula keluarga Rasulullah yang pertama yang menyusul beliau. Fatimah radhiallahu ‘anha wafat enam bulan setelah sang ayah tercinta wafat meninggalkan dunia. Ia wafat pada 2 Ramadhan tahun 11 H, dan dimakamkan di Baqi’.
Putra-putra Rasulullah Pertama, al-Qashim bin Rasulullah. Rasulullah berkunyah dengan namanya, beliau disebut Abu al-Qashim (bapaknya Qashim). Qashim lahir sebelum masa kenabian dan wafat saat usia dua tahun.
Kedua, Abdullah bin Rasulullah. Abdullah dinamai juga dengan ath-Thayyib atau ath-Thahir. Ia dilahirkan pada masa kenabian.
Ketiga, Ibrahim bin Rasulullah. Ibrahim dilahirkan pada tahun 8 H di Kota Madinah. Dia adalah anak terakhir dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dilahirkan dari rahim Maria al-Qibthiyah radhiallahu ‘anha. Maria adalah seorang budak yang diberikan Muqauqis, penguasa Mesir, kepada Rasulullah. Lalu Maria mengucapkan syahadat dan dinikahi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Usia Ibrahim tidak panjang, ia wafat pada tahun 10 H saat berusia 17 atau 18 bulan. Rasulullah sangat bersedih dengan kepergian putra kecilnya yang menjadi penyejuk hatinya ini. Ketika Ibrahim wafat, Rasulullah bersabda,
“إن العين تدمع، والقلب يحزن، ولا نقول إلا ما يُرْضِى ربنا، وإنا بفراقك يا إبراهيم لمحزونون” رواه البخاري
“Sesungguhnya mata ini menitikkan air mata dan hati ini bersedih, namun kami tidak mengatakan sesuatu yang tidak diridhai Rab kami. Sesungguhnya kami bersedih dengan kepergianmu wahai Ibrahim.” (HR. Bukhari).
Kalau kita perhatikan perjalanan hidup Rasulullah bersama anak-anaknya, niscaya kita dapati pelajaran dan hikmah yang banyak. Allah Ta’ala mengaruniakan beliau putra dan putri yang merupakan tanda kesempurnaan beliau sebagai manusia. Namun Allah juga mencoba beliau dengan mengambil satu per satu anaknya sebagaiman dahulu mengambil satu per satu orang tuanya tatkala beliau membutuhkan mereka; ayah, ibu, kakek, dan pamannya. Hanya anaknya Fatimah yang wafat setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah juga tidak memperpanjang usia putra-putra beliau, salah satu hikmahnya adalah agar orang-orang tidak mengkultuskan putra-putranya atau mengangkatnya menjadi Nabi setelah beliau. Bisa kita lihat, cucu beliau Hasan dan Husein saja sudah membuat orang-orang yang lemah terfitnah. Mereka mengagungkan kedua cucu beliau melebih yang sepantasnya, bagaimana kiranya kalau putra-putra beliau dipanjangkan usianya dan memiliki keturunan? Tentu akan menimbulkan fitnah yang lebih besar.
Hikmah dari wafatnya putra dan putri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga sebagai teladan bagi orang-orang yang kehilangan salah satu putra atau putri mereka. saat kehilangan anaknya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabar dan tidak mengucapkan perkataan yang tidak diridhai Allah. Ketika seseorang kehilangan salah satu anaknya, maka Rasulullah telah kehilangan hampir semua anaknya.
Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad dan keluarganya..
Sumber: Islamweb.net, dipublikasikan ulang Oleh Nurfitri Hadi www.KisahMuslim.com
[islamedia.co]

pkssiak.org - Di antara episode perjalanan hijrah Rasulullah dari Makkah ke Madinah yang ditemani oleh Abu Bakar Ash Shiddiq adalah pengejaran Suraqah bin Malik terhadap beliau.

Ketika Suraqah mendengar sayembara yang diadakan oleh para pemuka Quraisy; siapa saja yang mampu membawa Muhammad dalam keadaan hidup atau mati, akan diberi hadiah sebanyak 100 ekor unta, dia langsung menyiapkan diri untuk memenangkannya. Dengan penuh kehati-hatian ia keluar kota Makkah sambil mencari jejak ke mana arah perjalanan Rasulullah.

Singkat cerita, ia pun berhasil menemukan beliau dan Abu Bakar yang sedang berjalan menunggang unta dipandu oleh Abdullah bin Uraiqit yang waktu itu masih kafir. Dengan nafsu menggebu Suraqah menghunus pedang dan menggebrak kudanya supaya lari kencang ke arah Rasulullah.

Berkat perlindungan dari Allah, tiba-tiba kaki depan kuda Suraqah terperosok masuk pasir. Dia pun jatuh bergulingan di atas pasir. Dengan sigap dia berusah bangun dan menarik kudanya supaya cepat bangkit untuk meneruskan pengejaran terharap Rasulullah. Sampai tiga kali ia melakukan itu, tapi kudanya selalu terperosok dan dia jatuh.

Setelah lelah baru dia menyerah. Dia pun berteriak memanggil Rasulullah dan berjanji tidak akan berusaha mencelakai beliau lagi. Saat itu Suraqah belum juga mau menyatakan keislamannya. Dia diberi jaminan keamanan oleh Rasululah dan diizinkan untuk kembali ke Makkah.

Sebelum pergi, Rasulullah sempat mengatakan suatu hal kepadanya; "Bagimana kalau suatu saat nanti kamu memakai pakaian kebesaran Kisra wahai Suraqah?" Kisra raja Persi, penguasa dunia waktu itu.

Perkataan itu terus terngiang-ngiang di telinganya. Dia yakin bahwa Muhammad tidak pernah bohong. Apa yang dikatakannya pasti jadi kenyataan. Tapi kapan hal itu akan terjadi?

Bertahun-tahun ia menunggu terwujudnya mu'jizat yang dikatakan Rasulullah. Di hari penaklukan kota Makkah barulah hidayah masuk ke dalam hatinya. Dia pun akhirnya mengucapkan dua kaliamat syahadat.

Hanya beberapa bulan ia melihat Rasulullah dalam kondisi sebagai seorang muslim, Rasul pun kembali keharibaan Tuhannya. Hatinya dipenuhi kesedihan yang menyesak. Kenangan lamanya akan membunuh Rasulullah dan janji Rasulullah yang sampai saat itu belum terwujud selalu menyertai pikirannya.

Zaman pemerintahan Abu Bakar pun berlalu dengan cepatnya. Apa yang dia tunggu belum juga terbukti.

Pada suatu kali, ketika Umar bin Khattab sudah menjadi Khalifah menggantikan Abu Bakar, dia duduk di mesjid Nabawy mendampingi Umar dengan beberapa orang shahabat yang lain. Tiba-tiba datang pembawa berita dari Parsi bahwa pasukan yang dipimpin Sa'ad bin Abi Waqqash sudah berhasil menaklukkan kerajaan besar itu.

Sebagai bukti kemenangan tersebut, utusan yang dikirim oleh Sa'ad membawa bersamanya pakaian kebesaran Kisra, yang terdiri dari baju, celana, jubah, perhiasan dan mahkota untuk diserahkan kepada Khalifah Umar bin Khattab. Melihat itu Umar bin Khattab langsung saja memerintahkan Suraqah yang duduk di sampingnya untuk berdiri dan memakaikan kepadanya pakaian raja itu.

Melihat itu suara takbir bergemuruh di dalam masjid; Allahu Akbar…..Allahu Akbar…..Allahu Akbar!!!

Hanya sesaat Suraqah mampu berdiri memakai baju kebesaran raja itu. Kakinya tiba-tiba bergetar, lututnya tidak berdaya, air matanya pun tidak bisa lagi tertahankan. Akhirnya dia tersungkur sujud, mensyukuri nikmat Allah yang tidak terkira itu.

Semenjak itu dia puas, apa yang dijanjikan Rasulullah kepadanya sudah terbukti. Mu'jizat Rasulullah berlaku pada dirinya. Dia tenang meninggalkan dunia, untuk menyusul kekasih hatinya dan kekasih umat Islam sampai akhir hayat dunia.

Itulah salah satu pelajaran yang ditinggalkan Rasulullah kepada kita melalui shahabatnya yang bernama Suraqah. Selalu optimis dan memberikan harapan, sekalipun kondisi beliau sendiri ketika itu sangat lemah. Dikejar mau dibunuh, diusir dari tanah kelahiran dan didustakan. Namun Rasulullah tetap menjanjikan sesuatu yang besar, meskipun beliau sendiri tidak mencicipinya.

Yakinlah, harapan itu selalu ada. Dan jadikanlah diri supaya pantas menjadi harapan itu!

Allahu akbar wa lillahil hamd!

Selamat tahun baru 1436 H.

(Zulfi Akmal)

Pkssiak.org, Semua pasti tahu, bahwa pada masa Nabi, setiap masuk waktu sholat, maka yang mengkumandankan adzan adalah Bilal bin Rabah. Bilal ditunjuk karena memiliki suara yang indah. Pria berkulit hitam asal Afrika itu mempunyai suara emas yang khas. Posisinya semasa Nabi tak tergantikan oleh siapapun, kecuali saat perang saja, atau saat keluar kota bersama Nabi. Karena beliau tak pernah berpisah dengan Nabi, kemanapun Nabi pergi. Hingga Nabi menemui Allah ta’ala pada awal 11 Hijrah. Semenjak itulah Bilal menyatakan diri tidak akan mengumandangkan adzan lagi. Ketika Khalifah Abu Bakar Ra. memintanya untuk jadi mu’adzin kembali, dengan hati pilu nan sendu bilal berkata: “Biarkan aku jadi muadzin Nabi saja. Nabi telah tiada, maka aku bukan muadzin siapa-siapa lagi.”

Abu Bakar terus mendesaknya, dan Bilal pun bertanya: “Dahulu, ketika engkau membebaskanku dari siksaan Umayyah bin Khalaf. Apakah engkau membebaskanku karena dirimu apa karena Allah?.” Abu Bakar Ra. hanya terdiam. “Jika engkau membebaskanku karena dirimu, maka aku bersedia jadi muadzinmu. Tetapi jika engkau dulu membebaskanku karena Allah, maka biarkan aku dengan keputusanku.” Dan Abu Bakar Ra. pun tak bisa lagi mendesak Bilal Ra. untuk kembali mengumandangkan adzan.

Kesedihan sebab ditinggal wafat Nabi Saw., terus mengendap di hati Bilal Ra. Dan kesedihan itu yang mendorongnya meninggalkan Madinah, dia ikut pasukan Fath Islamy menuju Syam, dan kemudian tinggal di Homs, Syria. Lama Bilal Ra tak mengunjungi Madinah, sampai pada suatu malam, Nabi Saw hadir dalam mimpi Bilal, dan menegurnya: “Ya Bilal, wa maa hadzal jafa’? Hai Bilal, kenapa engkau tak mengunjungiku? Kenapa sampai begini?.” Bilal pun bangun terperanjat, segera dia mempersiapkan perjalanan ke Madinah, untuk ziarah pada Nabi. Sekian tahun sudah dia meninggalkan Nabi.

Setiba di Madinah, Bilal bersedu sedan melepas rasa rindunya pada Nabi Saw., pada sang kekasih. Saat itu, dua pemuda yang telah beranjak dewasa, mendekatinya. Keduanya adalah cucunda Nabi Saw., Hasan dan Husein. Sembari mata sembab oleh tangis, Bilal yang kian beranjak tua memeluk kedua cucu Nabi Saw itu. Salah satu dari keduanya berkata kepada Bilal Ra.: “Paman, maukah engkau sekali saja mengumandangkan adzan buat kami? Kami ingin mengenang kakek kami.” Ketika itu, Umar bin Khattab yang telah jadi Khalifah juga sedang melihat pemandangan mengharukan itu, dan beliau juga memohon Bilal untuk mengumandangkan adzan, meski sekali saja.

Bilal pun memenuhi permintaan itu. Saat waktu shalat tiba, dia naik pada tempat dahulu biasa dia adzan pada masa Nabi Saw masih hidup. Mulailah dia mengumandangkan adzan. Saat lafadz “Allahu Akbar” dikumandangkan olehnya, mendadak seluruh Madinah senyap, segala aktifitas terhenti, semua terkejut, suara yang telah bertahun-tahun hilang, suara yang mengingatkan pada sosok nan agung, suara yang begitu dirindukan, itu telah kembali. Ketika Bilal meneriakkan kata “Asyhadu an laa ilaha illallah”, seluruh isi kota madinah berlarian ke arah suara itu sembari berteriak, bahkan para gadis dalam pingitan mereka pun keluar.

Dan saat bilal mengumandangkan “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”, Madinah pecah oleh tangisan dan ratapan yang sangat memilukan. Semua menangis, teringat masa-masa indah bersama Nabi, Umar bin Khattab yang paling keras tangisnya. Bahkan Bilal sendiri pun tak sanggup meneruskan adzannya, lidahnya tercekat oleh air mata yang berderai. Hari itu, madinah mengenang masa saat masih ada Nabi Saw. Tak ada pribadi agung yang begitu dicintai seperti Nabi Saw. Dan adzan itu, adzan yang tak bisa dirampungkan itu, adalah adzan pertama sekaligus adzan terakhirnya Bilal Ra, semenjak Nabi Saw wafat. Dia tak pernah bersedia lagi mengumandangkan adzan, sebab kesedihan yang sangat segera mencabik-cabik hatinya mengenang seseorang yang karenanya dirinya derajatnya terangkat begitu tinggi. Semoga kita dapat merasakan nikmatnya Rindu dan Cinta seperti yang Allah karuniakan kepada Sahabat Bilal bin rabah ra ....aamiin ya rabbal 'aalamiin


Add caption
2. SUMBER-SUMBER SEJARAH RASULULLAH
Berhubung dengan sumber-sumber sejarah Rasulullah bolehlah kita bahagikan seperti berikut:
Pertama: Kitabullah (AI-Qur'an)
Ianya merupakan sumber utama untuk memahami garis-garis kasar penghidupan Muhammad
Rasulullah Sallallahu 'alaihi Wasallam. Pendedahan sejarah hidup Rasulullah dalam al-Qur'an
melalui salah satu aliran berikut:
a. Memaparkan beberapa bahagian dari penghidupan baginda, seperti ayat-ayat yang
diturunkan mengenai peperangan Badar, Uhud, al Khandaq atau al Ahzab .Juga seperti kisah
perkahwinannya dengan Zainab binti Jahsy.
Mengulas pertempuran-pertempuran dan kejadian-kejadian ini adalah untuk memberi
penjelasan selanjutnya kepada apa yang dimusykilkan atau untuk menerangkan beberapa
kesamaran tentang pertempuran dan peristiwa-peristiwa atau untuk menarik perhatian umat
Islam terhadap sesuatu iktibar. Sebenarnya segala-galanya ini mempunyai makna dan hubung
kait yang amat rapat dan mesra dengan sejarah dan riwayat hidup Rasulullah Sallallahu 'alaihi
Wasallam. Kesemuanya ini menampakkan kepada kita sebahagian besar daripada aspekaspek
penghidupan Rasulullah Sallallahu 'alaihi Wasallam dan hal ehwal yang bersangkutan
dengannya.
Sebenarnya pendedahan Al-Qur'an Al-Karim tentang segala-galanya ini adalah terlalu ringkas
dan padat, meskipun cara dan aliran pendedahan tadi kadang kalanya berlainan di antara satu
sama lain namun begitu kesemuanya ini tetap memaparkan cebisan-cebisan dan penerangan
secara ringkas terhadap pertempuran dan kejadian yang bersejarah. Memang ini adalah jalan
dan aliran Al-Qur'an Al-Karim di dalam menceritakan perihal-perihal para Anbiya' yang
terdahulu dan umat manusia di zaman silam.
Kedua: Kitab Al-Sunnah Al-Nabawiyyah (Hadith-hadith).
Hadith-hadith Nabi yang sahih. Hadith yang dimaksud-kan di sini ialah isi kandungan Kitab-kitab
Hadith yang terkenal dengan kebenaran dan amanahnya, seperti Kitab Hadith Al Muwatta' oleh
Imam Malik, Al Musnad oleh Imam Ahmad dan lain-lainnya.
Sumber yang kedua ini lebih luas dan terperinci dari yang pertama. Sungguhpun begitu
mungkin kita tidak dapat memberikan suatu gambaran yang lengkap tentang kehidupan
Rasulullah Sallallahu 'alaihi Wasallam sejak dilahirkan hingga wafat-nya kerana beberapa
sebab:
a. Oleh kerana Kitab-kitab Hadith ini disusun mengikut maudu' atau tajuk-tajuk fiqah ataupun
mengikut unit-unit kajian yang bersangkut dengan syari'at Islam maka hadith-hadith yang
menceritakan tentang penghidupan RasuluL-lah berselerak dan berkecamuk dalam maudu'-
maudu' fiqah.
b. Oleh kerana para ahli hadith, terutamanya penyusun kitab hadith yang enam tidak
memerhatikan soal ini ketika mengumpulkannya untuk disusun mengikut sejarah hidup
RasuluLlah, apa yang mereka titik beratkan ialah penyusunan mengikut maudu' atau tajuk-tajuk
fiqah seperti yang disebut tadi.
Ketiga: Kitab-kitab Sejarah RasuluLlah SallaLlahu 'alaihi Wasallam.
Perihal riwayat hidup Muhamrnad RasuluLlah SallaLlahu 'alaihi Wasallam di zaman silam
adalah melalui dari mulut ke mulut tanpa mendapat perhatian untuk dibukukan, walaupun
terdapat sebilangan kedl yang cuba menitikberatkan perhatiannya terhadap kejadian dan
peristiwa-peristiwa dalam sejarahnya itu. Setelah beberapa ketika terdapat beberapa orang
cuba mencatit riwayat hidup Rasulullah Sallallahu 'alaihi Wasallam ala kadar yang sampai ke
pengetahuannya antara mereka seperti Urwah Ibnu Al Zubair (wafat, 92H), Abari bin 'Othman
(wafat, 105H), Wahb in Manbah (wafat, 110H), Syarbabil bin Sa'd (wafat. 123H) dan Ibnu
"Syibab Al Zuhri (wafat,124H).
Sayangnya apa yang dituliskan oleh mereka ini telah hilang. Hanya tinggal beberapa bahagian
yang tercerai, setengahnya terdapat dalam kitab Al-Tabari manakala sebahagian yang lain pula
tersimpan di bandar Heidelberg di Jerman. Bahagian yang tersimpan di Jerman ini ialah
sebahagian dari tulisan Wahb bin Manbah (110H). Kemudian timbul pula satu angkatan
penyusun riwayat hidup Rasulullah Sallallahu 'alaihi Wasallam yang terkemuka antara mereka
ialah Muhammad bin Ishaq (wafat, 152H) kemudian lapisan kedua, antara mereka ialah Al
Waqidi (wafat, 207H) dan Muhammad bin Sa'ad (wafat pada tahun 230H) penyusun kitab Al-
Tabaqat Al-Kubra.
Ahli sejarah sebulat suara mengatakan bahawa apa yang ditulis oleh Muhammad bin Ishaq
merupakan satu-satunya maklumat (dokumen) sejarah Rasulullah Sallallahu 'alaihi Wasallam
yang paling benar dan boleh dipegang. Tetapi malangnya kitab beliau yang berjudul Al Maghazi
Wa Al Siyar telah hilang dan kehilangannya mengakibatkan hilangnya intisari perpustakaan di
zaman itu. Setelah masa beredar setengah abad lamanya barulah timbul seorang jaguh yang
lain iaitu Abu Muhammad Abdul Malek yang lebih dikenal dengan Ibnu Hisyam, beliau telah
menghidangkan kepada kita saringan sejarah Rasulullah Sallalahu 'alaihi Wasallam dengan
cara yang menarik sekali. Sebenarya apa yang dikarang oleh Ibnu Hisyam itu adalah
kandungan "Al Maghazi Wa Al Siyar" yang dikarang oleh Ibnu Ishaq dalam bentuk ringkasan.
Ibnu Khillikan telah menegaskan dalam bukunya begini:
"Ibnu Hisyam ini ialah orang yang mengumpulkan Riwayat Rasulullah daripada Kitab "Al
Maghazi Wa Al Siyar" yang dikarang oleh Ibnu Ishaq setelah disaring dan dibuat beberapa
pembaharuan, tambahan dan ringkasan. Kemudian hasil itu dikenali dengan nama "Sirah Ibnu
Hisyam". Akhimya barulah orang lain cuba mengikuti jejak langkah mereka ini dalam usaha
mengarang dan menyusun sejarah hidup RasuluLlah SallaLlahu 'alaihi Wasallam, terdapat
antara mereka yang cuba membentangkan pelbagai aspek hidup RasuluLlah SallaLlahu 'alaihi
Wasallam. Sebahagian dari mereka yang lain pula cuba mengkaji sudut- sudut hidup Baginda
yang tertentu, seperti Al Asfahani dalam bukunya "Dala'il Al Nu-buwwah" dan "Tanda-tanda
Kenabian". Imam Tarmidzi pula dalam kitabnya (Al Asy Syamail) cuba menyingkap aspek yang
tertentu dan begitu juga Ibn Al Qayyim Al Jauziy dengan bukunya "Zad Al Ma'ad".

3. RAHASIA PEMILIHAN SEMENANJUNG ARAB SEBAGAI TAPAK PANCARAN ISLAM
Sirah Nabawiyah - Ar-Rahiq Al-Makhtum

melihat kejadian-kejadian dan episod-episod yang bersejarah ataupun memaparkan ceritacerita
1. PERANAN & PERLUNYA RIWAYAT HIDUP RASULULLAH DALAM MEMAHAMI
ISLAM

Tujuan mengkaji riwayat hidup RasuluLlah dan penganalisaannya bukanlah semata-mata untuk
yang indah sahaja. Oleh yang demikian tidak seharusnya kita menganggap kajian sejarah
hidup Rasulullah ini sama dengan membaca dan menala'ah sejarah para pemerintah (khalifah)
di zaman purbakala.
Tujuan pokok dari kajian yang dimaksudkan ialah supaya setiap Muslim dapat memahami,
menganggap dan menggambarkan bahawa hakikat zahir dan batin Islam semuanya teradun di
dalam penghidupan Rasulullah itu sendiri. Gambaran dan anggapan ini akan timbul dan wujud
setelah seseorang Muslim itu dapat memahami dengan benar segala hikmah dan keistimewaan
prinsip-prinsip dan dasar-dasar Islam satu persatu terlebih dahulu.
Tegasnya kajian riwayat hidup Rasulullah Sallallahu 'alaihi Wasallam ini adalah suatu usaha
mengumpul hakikat dan intisari dasar-dasar Islam kemudian memadan dan menyesuaikan
dengan contoh Islam iaitu Nabi Muhammad Sallallahu 'alahi Wasallam.
Sekiranya perlu kita bahagikan tujuan-tujuan ini maka bolehlah dibahagikan seperti berikut:
1. Memahami peribadi Nabi Muhammad SallaLlahu 'alaihi Wasallam menerusi penghidupan
dan suasana hidup Baginda sendiri. Ini adalah untuk menentukan Muhammad Sallallahu 'alaihi
Wasallam itu bukan sebagai manusia pintar tetapi dianya adalah pesuruh Allah Subhanahu
Wata'ala yang menerima Wahyu dan taufiq dariNya. Supaya manusia seluruhnya dapat meniru
dan mengikut suatu contoh yang unggul dalam segenap lapangan hidup yang harmoni, dari itu
juga dapat dijadikan sebagai dasar-dasar hidupnya. Andaikata manusia ingin mencari suatu
contoh terbaik bersifat universal, mereka akan dapat semuanya di dalam kehidupan
Muhammad Sallallahu 'alaihi Wasallam, maka tidak hairanlah mengapa Allah menjadikan
Muhammad Sallallahu 'alaihi Wasallam itu sebagai contoh kepada umat manusia. Untuk
demikian maka Allah telahpun menegaskan dalam Kitab SuciNya yang bermaksud:
"Sesungguhnya pada (diri) RasuluLlah itu menjadi contoh yang paling baik untuk (menjadi
ikutan) kamu".
(Al-Ahzab 33 :21)
Semoga kupasan tentang kehidupan Muhammad Salla lahu 'alaihi Wasallam boleh menolong
manusia memahami dan mengecapi isi kandungan Al-Qur'an lantaran banyaknya ayat-ayat Al-
Qur'an yang dihurai dan ditafsir-kan oleh kejadian dan peristiwa-peristiwa sejarah hidup Nabi
Muhammad SallaLlahu 'alaihi Wasallam. Agar setiap Muslim dapat mengumpulkan seberapa
banyak yang boleh perbendaharaan kebudayaan dan pengetahuan Islam yang sebenar
samada pengetahuan bersangkutan dengan 'aqidah kepercayaan, hukum hakam' dalam Islam
atau tatasusilanya. Lebih tegas lagi penghidupan Rasulullah Sallallahu 'alaihi Wasallam adalah
satu gambaran dengan dimensinya yang jelas bagi prinsip-prinsip dan hukum-hukum Islam.
2. Membolehkan para pendidik penda'wah Islam mencontohi dan mengajar, mengikut sistcm
pendidikan dan pengajaran yang sihat kerana Muhammad SallaLlahu 'alaihi Wasallam sendiri
adalah sebagai pendidik, penasihat, guru dan pertunjuk yang utama, tidak pemah membuang
masa begitu sahaja malah sentiasa mencari dan menyiasat jalan-jalan dan sistem-sistem
pengajaran yang terbaik semasa baginda (SallaLlahu 'alaihi Wasallam) berda'wah.
Antara faktor yang menjadikan sejarah Nabi Muhammad SallaLlahu 'alaihi Wasallam ini mampu
dan berupaya untuk sampai ke matlamat-matlamat tadi ialah kerana sejarahnya lengkap
meliputi segenap bidang kehidupan sama ada segi kemanusiaan mahupun kemasyarakatan
yang terdapat di kalangan manusia lain samada ianya sebagai seorang individu yang bebas
dengan faham pembawaannya atau sebagai seorang anggota masyarakat yang cergas dan
terpengaruh oleh unsur-unsur yang terdapat di dalam masyarakatnya.
Sejarah Muhammad SallaLlahu 'alaihi Wasalam menghidangkan kepada kita sejarnbak contoh
utama bagi seorang pemuda yang waras; peribadinya yang dipercayai orang di kalangan
keluarga dan sahabat; seorang manusia yang menyeru uniat manusia ke jalan Allah secara
lemah-lembut dan bersopan-santun; seorang pejuang yang mengorbankan sepenuh usaha dan
tenaga demi menyampaikan seruan Allah, seorang ketua negara yang mendayung bahtera
pemerintahan dengan cekap dan pintar seorang suami yang halus pergaulannya, seorang bapa
yang teliti dan bijak menyempurnakan kewajipan terhadap anak dan isteri, seorang ketua turus
agung peperangan yang cergas, penuh dengan tektik strategi persediaannya dan seorang
Muslim yang waras lagi bijak membahagikan dedikasinya kepada Allah, keluarga dan sahabat
handai (Radiyallahu 'anhum ajma'in). Tidak syak lagi bahawa mempelajari sejarah hidup
Muhammad Sallallahu 'alaihi Wasallam ialah memahami semua sudut kemanusiaan.