pkssiak.org - Berbeda
dengan Kitab Suci lain, al-Quran adalah firman Allah yang tidak
mengandung kebatilan sedikit pun. Ia memberi petunjuk jalan yang lurus
dan memberi bimbingan kepada umat manusia di dalam menempuh perjalanan
hidupnya, agar selamat di dunia dan di akhirat.
Untuk
itu tiada ilmu yang lebih utama dipelajari oleh seorang Muslim melebihi
keutamaan mempelajari al-Quran. Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari al Quran dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)
Karena
begitu mulianya kedudukan al-Qur’an, maka ketika membaca al-Quran
seseorang perlu memperhatikan adab-adabnya agar mendapatkan
kesempurnaan pahala dalam membaca Nya:
Pertama, ihlas dan menuluskan niat karena Allah semata. Ini merupakan adab yang paling penting di mana suatu amal selalu terkait dengan niat. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW,
Siapa saja yang menghafal al-Qur’an atau membacanya karena riya’, maka ia tidak akan mendapatkan pahala apa-apa. Nabi SAW bersabda,
Manakala
seorang Muslim menghafal dan membaca al-Qur’an semata karena
mengharapkan keridlaan Allah, maka ia akan merasakan kebahagian yang
tidak dapat ditandingi oleh kebahagiaan apa pun di dunia.
Kedua, menghadirkan hati (konsentrasi
penuh) ketika membaca dan berupaya menghalau bisikan-bisikan syetan dan
kata hati, tidak sibuk dengan memain-mainkan tangan, menoleh ke kanan
dan ke kiri dan menyibukkan pandangan dengan selain al-Qur’an.
Ketiga, mentadabburi (merenungi) dan memahami apa
yang dibaca, merasakan bahwa setiap pesan di dalam al-Qur’an itu
ditujukan kepadanya dan merenungi makna-makna Asma Allah dan sifat-Nya.
Keempat, tersentuh dengan bacaan. Imam as-Suyuthi RAH berkata,
“Dianjurkan menangis ketika membaca al-Qur’an dan berupaya untuk
menangis bagi yang tidak mampu (melakukan yang pertama-red.,), merasa
sedih dan khusyu’.” (al-Itqan, Jld.I, hal.302)
Kelima, bersuci. Maksudnya dari hadats besar, yaitu jinabah dan haidh atau nifas bagi wanita.
Al-Qur’an merupakan zikir paling utama. Ia adalah kalam Rabb Ta’ala. Karena itu, di antara adab membacanya, si pembaca harus suci dari hadats besar dan kecil. Ia dianjurkan untuk berwudhu sebelum membaca. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah menyentuh al-Qur’an kecuali orang yang suci.” (Shahih al-Jaami’, no.7657)
Perlu
diketahui, bahwa seseorang boleh membaca al-Qur’an asalkan tidak sedang
berhadats besar, demikian pula disunnahkan baginya untuk mencuci mulut
(menggosok gigi-red.,) dengan siwak sebab ia membersihkan mulut
sedangkan mulut merupakan ‘jalan’ al-Qur’an.
Keenam, sebaiknya, ketika membaca al-Qur’an, menghadap Qiblat sebab
ia merupakan arah yang paling mulia, apalagi sedang berada di masjid
atau di rumah. Tetapi bila tidak memungkinkan, baik karena ia berada di
kios, mobil atau sedang bekerja, maka tidak apa membaca al-Qur’an sakali
pun tidak menghadap Qiblat.
Ketujuh, disunnahkan bagi seseorang untuk ber-ta’awwudz (berlindung) kepada Allah dari syaithan yang terkutuk. Allah Ta’ala berfirman, “Maka apabila kamu membaca al-Qur’an, berlindunglah kepada Allah dari syaithan yang terkutuk.” (an-Nahl:98)
Kedelapan, memperindah suaranya ketika membaca al-Qur’an sedapat mungkin.
“Disunnahkan
memperbagus dan menghiasi suara dengan al-Qur’an. Terdapat banyak
hadits yang shahih mengenai hal itu. Jika seseorang suaranya tidak
bagus, maka ia boleh memperbagus semampunya asalkan jangan keluar hingga
seperti karet (dilakukan secara tidak semestinya dan menyalahi kaidah
tajwid-red.,).” (al-Itqaan, Jld.I, hal.302)
Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah termasuk golongan kami orang yang tidak bersenandung dengan al-Qur’an (melantunkannya dengan bagus).” (Shahih al-Bukhari, Jld.XIII, hal.501, bab at-Tauhid, no.7527)
Hendaknya
pembaca al-Qur’an membaca sesuai dengan karakternya, tidak
menyusah-nyusahkan diri (dibuat-buat) dengan cara menaklid salah seorang
Qari’ atau dengan intonasi-intonasi tertentu sebab hal itu dapat
menyibukkan dirinya dari mentadabburi dan memahaminya serta menjadikan
seluruh keinginannya hanya pada mengikuti orang lain (taqlid) saja.
Kesembilan, membaca dengan menggunakan mushaf. Hal ini dikatakan oleh as-Suyuthi, “Membaca
dengan menggunakan mushaf lebih baik dari pada membaca dari hafalan
sebab melihatnya merupakan suatu ibadah yang dituntut.” (al-Itqaan, Jld.I, hal.304)
Hanya
saja, Imam an-Nawawi dalam hal ini melihat dari aspek kekhusyu’an; bila
membaca dengan menggunakan mushaf dapat menambah kekhusyu’an si
pembaca, maka itu lebih baik. Demikian pula, bila bagi seseorang yang
tingkat kekhusyu’an dan tadabburnya sama dalam kondisi membaca dan
menghafal; ia boleh memilih membaca dari hafalan bila hal itu menambah
kekhusyu’annya.
Demikian
pula, hendaknya ia menghormati mushaf dan tidak meletakkannya di
tanah/lantai, tidak pula dengan cara melempar kepada pemiliknya bila
ingin memberinya. Tidak boleh menyentuhnya kecuali ia seorang yang suci.
Sepuluh, membaca di tempat yang layak (kondusif)
seperti di masjid sebab ia merupakan tempat paling afdhal di muka bumi,
atau di satu tempat di rumah yang jauh dari penghalang, kesibukan dan
suara-suara yang dapat mengganggu untuk melakukan tadabbur dan
memahaminya. Karena itu, ia tidak seharusnya membacakan al-Qur’an di
komunitas yang tidak menghormati al-Qur’an.
Demikianlah adab-adab membaca firmal Allah, yang tiada duanya, dibanding dengan kitab-kitab suci agama lain.
“Sesungguhnya semua amalan itu tergantung niat-niatnya dan setiap orang tergantung pada apa yang diniatkannya…” (HR.al-Bukhari, kitab Bad’ul Wahyi, Jld.I, hal.9)
Karena
itu, wajib mengihlaskan niat dan memperbaiki tujuan serta menjadikan
hafalan dan perhatian terhadap al-Qur’an demi-Nya, menggapai surga-Nya
dan mendapat ridla-Nya.
“Tiga
orang yang pertama kali menjalani penyidangan pada hari Kiamat
nanti…[Rasulullah SAW kemudian menyebutkan di antaranya]…dan seorang
laki-laki yang belajar ilmu lalu mengajarkannya, membaca al-Qur’an lalu
ia dibawa menghadap, lalu Allah mengenalkan kepadanya nikmat-nikmat-Nya,
maka ia pun mengetahuinya, lalu Dia SWT berkata, ‘Untuk apa kamu
amalkan itu.?” Ia menjawab, ‘Aku belajar ilmu untuk-Mu, mengajarkannya
dan membaca al-Qur’an.’ Lalu Allah berkata, ‘Kamu telah berbohong akan
tetapi hal itu karena ingin dikatakan, ‘ia seorang Qari (pembaca ayat
al-Qur’an).’ Dan memang ia dikatakan demikian. Kemudian ia dibawa lalu
wajahnya ditarik hingga dicampakkan ke dalam api neraka.”(HR.Muslim, Jld.VI, hal.47)
Al-Qur’an merupakan zikir paling utama. Ia adalah kalam Rabb Ta’ala. Karena itu, di antara adab membacanya, si pembaca harus suci dari hadats besar dan kecil. Ia dianjurkan untuk berwudhu sebelum membaca. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah menyentuh al-Qur’an kecuali orang yang suci.” (Shahih al-Jaami’, no.7657)
Rasulullah SAW bersabda, “Hiasilah al-Qur’an dengan suara-suara kamu sebab suara yang bagus membuatnya bertambah bagus.” (dinilai shahih oleh al-Albani, Shahih al-Jaami’, no.358)
Di
antara hal yang perlu diperhatikan di sini, hendaknya seorang pembaca,
khususnya bagi siapa saja yang ingin menghafal, untuk memilih satu jenis
cetakan saja sehingga hafalannya lebih kuat dan mantap.
[SUMBER: Silsilah Manaahij Dauraat al-‘Uluum asy-Syar’iyyah –fi’ah an-Naasyi’ah- al-Haditskarya Dr Ibrahim bin Sulaiman al-Huwaimil, hal.21-25/hidayatullah.com]