Penjara dalam Kaca Mata Pencetak Sejarah
By: Abul Ezz
Kamis, 12 Desember 2013
0
pkssiak.org - Dalam kaidah-kaidah kehidupan orang besar di setiap lapis zaman,
penjara memiliki makna yang unik, berbeda dan kelak menyejarah.
Kita mulai dari Ibnu
Taimiyah. Bagi beliau, penjara tak ubahnya surga. Di sana, beliau
memiliki kesempatan tak terbatas untuk selalu 'berdua' dengan Allahnya.
Ungkapan beliau yang sering dikutip, kurang lebih bermakna, "Bahwa
surga, kebahagiaan, adanya di dalam hati." Sehingga, selama hati selalu
lapang, dekat dengan Allah Sang Pencipta, tak berartilah semua masalah
terkait dunia yang remeh temeh ini.
Selanjutnya, ada Sayyid Quthb. Pemikir Islam yang sempat melalang buana di Negeri Paman Sam
ini, akhirnya menemukan pelabuhan hatinya pada Islam yang mulia. Karena
vokalnya beliau dalam menentang segala macam pemikiran yang menentang
Islam, beliau dipenjara oleh rezim keji Mesir kala itu.
Quthb yang dipenjara,
tak mau menyia-nyiakan kesempatan berharga itu. Bayangkan, bagaimana
bisa, seseorang yang dipenjara sanggup menyelesaikan tafsir yang
kemudian menjadi monumental
di sepanjang zaman? Kapan menulisnya? Kertas dan tintaya dari mana?
Apakah ada penerangan yang cukup? Bagaimana untuk hunting informasi?
Dan, seterusnya.
Pelajaran berikutnya,
bahwa kesungguhan selalu membuahkan hasil yang monumental. Hingga kini,
Fi Zhilalil Qur'an gubahan Sayyid Quthb dicetak di berbagai negara, dalam berbagai bahasa, oleh banyak penerbit, dan menjadi inspirasi Gerak Aktivis Muslim. Di negeri kita sendiri, tafsir ini dicetak oleh sedikitnya dua penerbit puluhan kali.
Penjara, bagi Quthb adalah tempat untuk berkarya. Menghasilkan sesuatu yang bermanfaat untuk umat.
Dari dalam negeri, kita
punya Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Lelaki yang menjadi Ketua MUI
Pertama ini sempat mendekam di balik hotel prodeo atas prakarsa rezim di
negeri ini.
Apa makna penjara bagi
ulama yang akrab dipanggil Buya HAMKA ini? Beliau menuturkan dengan
lugas kepada kita, "Tiga hari di dalam penjara, saya sudah mengkhatamkan
al-Qur'an 5 kali. Dalam kurun waktu 2 tahun di dalam penjara, saya
mengkhatamkan al-Qur'an sekitar 50 kali."
Apakah selesai sampai di situ? Tidak, kawan-kawan!
Selama dua tahun itu,
HAMKA merampungkan penulisan Tafsir Al-Azhar sebanyak 28 Juz. Karena dua
juz (yakni juz 18 dan 19) sudah diselesaikan sebelum beliau dijebloskan
ke dalam jeruji besi.
Sekeluarnya beliau dari
hotel prodeo, uang hasil royalti penulisan tafsir itu bisa digunakan
untuk menjalankan ibadah haji di tanah suci. Bukan hanya beliau, tetapi
juga untuk keluarganya. Hingga kini, tafsir yang diterbitkanoleh Pustaka
Panjimas ini, menjadi inspirasi bagi mereka yang hendak menyelami
samudera al-Qur'an dan hendak menjadikan al-Qur'an sebagai pedoman
mereka untuk menjalani kehidupan ini.
Ketiga orang besar ini,
memberikan kita pelajaran berharga. Bahwa di manapun, dan bagaimanapun
keadaan kita saat ini, hendaknya tidak membuat diri malas untuk
melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk umat. Bahwa bahagia, prestasi,
karya, dan karya monumental, sama sekali tidak terkait dengan suasana
ataupun fasilitas. Tapi adanya di hati dan kemauan yang kuat untuk
memberikan sumbangan terbaik bagi peradaban.
Selain ketiga nama besar
di atas, kita masih ingat dengan sosok Mursi. Presiden Mesir yang hafal
al-Qur'an ini, ketika dijebloskan ke dalam jeruji besi, hanya meminta
dua hal, sajadah dan mushaf. Tentu, kita sama mengetahui, apa fungsi
dari kedua barang berharga tersebut. Adalah dua diantara banyaknya
sarana untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah.
Yang lebih hangat,
sebagaimana kita jumpai bersama bebarapa hari yang lalu, ketika ada
tokoh yang divonis berat, tidak berimbang dan sarat kejanggalan, beliau
dengan tegar terus tersenyum dan berkata, "Kita tidak mungkin berharap
keadilan dari orang yang tidak bisa berlaku berlaku adil terhadap
dirinya sendiri. Kita hanya bisa berharap keadilan kepada Allah yang
Maha Adil."
Nampaknya, bagi orang
ini, penjara bisa bermakna surga sebagaimana yang dilakukan oleh Ibnu
Taimiyah, atau tempat untuk menghasilkan Fi Zhilalil Qur'an sebagaimana
Qutbh, atau sebuah fase untuk melakukan kontemplasi sebagaimana HAMKA
ketika menulis Al-Azhar.
Kita tak tahu, dan tak
pernah tahu akan apa yang terjadi esok hari. Jika saat ini, beliau yang
dijadikan korban. Bisa jadi, kelak, entah kapan, kitalah yang akan
diperlakukan selayak beliau-beliau yang telah melakukan sesuatu demi
kebenaran.
Sehingga, yang perlu
kita siapkan, selain kompetensi, adalah sebuah kesadaran, bahwa penjara
bisa bermakna surga. Jika, kita bisa memaknai ruhani sebagaimana Ibnu
Taimiyah.
DPD PKS Siak - Download Android App