pkssiak.org, JAKARTA
– Wakil Sekjen Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Fahri Hamzah menegaskan
Jokowi tidak memiliki konsep dan basis penyelamatan bangsa Indonesia di
tengah masa transisi sehingga pembenahan bangsa ini menjadi
berlarut-larut. Partainya akan menjadi oposisi jika Gubernur DKI Jakarta
itu menang dalam pemilu Pilpres 2014.
“Kami punya konsep dan basis penyelamatan Indonesia di masa transisi,
sementara Jokowi tidak sehingga kami khawatir penyelamatan bangsa ini
malah makin berlarut-larut kalau Jokowi jadi presiden. Kami sudah
siapkan model kepemimpinan yang sanggup menjadi penyelamat bangsa. Kalau
Jokowi jadi presiden, itu tidak akan terjadi dan kami lebih baik berada
di luar kekuasaan dan menjadi oposisi,” ujar Fahri kepada wartawan di
Jakarta, Sabtu (22/3/2014).
Fahri mengatakan, dari pengalaman menjadi anggota kabinet
pemerintahan SBY, PKS sudah belajar dan berpengalaman untuk tidak lagi
percaya dengan gaya pemerintahan yang hanya dipenuhi dengan pencitraan.
“Pada dasarnya SBY ketika naik jadi presiden sama dengan Jokowi.
Dianggap mampu padahal tidak ada bukti akan kemampuannya. Keduanya
memiliki popularitas dan elektabilitas tinggi karena kesantunan yang
tidak bisa dijadikan alat ukur untuk menjadi pemimpin. Kesantunan tidak
ada hubungannya dengan penyelesaian masalah,” katanya.
Menurut Fahri, masyarakat harus menyadari alat ukur performance
seperti yang ditampilkan oleh SBY maupun Jokowi saat ini tidak memiliki
kontribusi dalam penyelesaian masalah. Namun demikian SBY masih jauh
lebih baik dari Jokowi.
”Jadi di Indonesia dan di Jakarta, kedua pemimpin tidak membuktikan
bahwa mereka menyelesaikan masalah. Namun demikian masih jauh lebih baik
SBY dibandingkan Jokowi,” katanya.
Menurutnya, SBY paling tidak memiliki kecerdasan dan wawasan
nasional, sementara Jokowi, jangankan nasional wawasan ke-jakartaan-nya
saja dia tidak miliki. Kelemahan SBY hanya berada pada innercircle yang
membuat dia tidak berani bertindak, sementara kelemahan Jokowi mungkin
nanti berada pada para pendukung-pendukungnya yang membiayai kegiatannya
selama ini terutama untuk pencitraan yang berbiaya besar.
Fahri melihat kepindahan Jokowi dari Solo ke Jakarta, meskipun banyak
ditentang oleh warga Solo sendiri karena menganggap kerjanya di Solo
belum selesai masih wajar. “Solo itu kota, Jakarta juga kota, jadi kalau
dari kota kecil ke kota besar meski banyak yang meragukan, kami masih
terima, tapi kalau pindah dari kota kecil ke negara, gak masuk akal,”
ujarnya.[tribunnews]