Select Menu

Iklan 1080x90

SaintekSIROH

PKS BERKHIDMAT UNTUK RAKYAT

BERITA SIAK

FIQIH

SIROH

Kesehatan

Saintek

Video Pilihan

» » » Tarbiyyah Dzatiyyah

Tarbiyyah Dzatiyyah


By: Abol Ezz Senin, 07 Januari 2013 0

Self  Study
Tiada arti sebuah keberhasilan poses tarbiyah rasmiyah (pendidikan formal) tanpa dibarengi kemampuan seorang mutarabbi (anak didik) dalam mengaktualisasikan dirinya sebagi nukhbah (kader) yang dinamis sensitif dan bijak (hay, hassas, hakim). Cermatilah kecemerlangan tarbiyah dzatiyah (pendidikan diri) tokoh-tokoh sejarah berikut.

Keluarga Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.
Ummu Ismail tak berhasil mencari jawaban dari Nabi Ibrahim kenapa sang suami tega meninggalkan mereka di lembah yang tak bertanaman, tanpa kerabat dan bekal, kecuali sekantung makanan dan minuman untuk hari itu. Maka ia mencoba mencari pertanyaan yang lain mancairkan segala yang beku, membuka segala yang buntu, dan memudahkan segala mustahil: “Allahkah yang menyuruhmu meninggalkan kami disini?” tanya Ummu Ismail. “Ya” jawab Ibrahim.”Bila demikian, pastilah ia tidak akan menyia-nyiakan kami,” sahut Ummu Ismail.


Pada kondisi yang paling kritis dan dilematis itu, ia berhasil mengambil keputusan terbaik. Padahal sangat manusiawi, bila ia meminta agar Allah melimpahkan bahan makanan. Tapi yang dilakukan justru berdoa agar keturunannya menegakkan shalat, agar sebagian umat manusia mencintai mereka, baru kemudian ia meminta agar Allah memberikan mereka rezki buah-buahan (QS:Ibrahim: 38). Ia memang seorang pemimpin yang visioner.

Atau betapa bijaknya Ismail ‘alaihissalam ketika ayahnya mengungkapkan, “Aku melihat dalam mimpi, bahwa aku menyembelihmu”. Ismail menjawab, “Lakukanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu, insya Allah engkau temukan daku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS.Ash Shaffat: 102)

Berbeda sekali dengan jawaban Sam bin Nuh yang telah menyaksikan langit pecah menumpahkan air berderai-derai dan bumi membelah mengeluarkan banjir bandang lalu berpadu menjadi paduan ombak yang menggunung. Ternyata, ia masih yakin dapat berlindung ke bukit dan enggan bergabung dengan bapaknya dalam bahtera penyelamat (QS. Yunus: 42-44). Inilah tanda-tanda kegagalan tarbiyah dzatiyah dan dominasi pandangan materialisme, yang kurun ini kian merebak.

Nabi Yusuf ‘alaihisalam.
Di tengah paksaan isteri pembesar Mesir yang mengajaknya berbuat mesum, Yusuf menjawab, “Aku berlindung kepada Allah.” Dan ketika isteri pembesar Mesir memprovokasi suaminya untuk menjatuhkan hukuman berat atau memenjarakannya, Yusuf mengajukan pembelaan yang sangat tegas dan polos, “Dia yang merayu diriku.” Hal yang di belakang hari dijawabnya dengan kata-kata yang lebih dewasa dan elegan.
Kaetika raja memintanya datang ke istana karena kecemerlangan menta’wil mimpi, Yusuf menyuruh sang utusan kembali untuk menanyakan kisah wanita-wanita yang mengiris-iris jari mereka sendiri saat Yusuf melintas. Maka ia tidak perlu lagi mengatakan “Dia (Isteri pembesar Mesir) yang merayuku.” Justru isteri pembesar Mesir yang semula main penjara dan siksa, kini mengaku bahwa ia yang merayu dan Yusuf menjaga diri.

Para Sahabat dan Tarbiyah Dzatiyah
Lembaran sejarah para sahabat juga memberikan bukti keberhasilan tarbiyah dzatiyah. Di saat banyak anak-anak bangsa menjadi kolaborator asing dan membenamkan negeri mereka ke kancah kehinaan, Ka’ab bin Malik menjadi contoh paling orisinal bagi kesetiaan, kesabaran, interospeksi diri dan kerendahan hati. Ia tidak tergiur oleh surat rayuan raja Ghassan yang menawarkan suaka politik: “Kudengar bosmu memboikotmu, padahal tak pernah engkau di (perlakukan) hina. Berangkatlah kepadaku, nanti aku santuni (muliakan) engkau.”(HR. Bukhari dan Muslim). Dengan cepat ia bakar surat itu, “inilah dia bala’ yang sebenarnya,” katanya.

Atau Abu Rabi’, pembantu urusan harian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Melihat keseriusannya, Rasulullah menawarkan apa kiranya yang diinginkannya. “As’aluka muraafaqataka fil jannah” (Aku meminta untuk dapat tetap menemanimu di dalam surga), pinta Abu Rabi’. “Nah, bantulah aku untuk dapat menolongmu, dengan banyak bersujud,” jawab Rasulullah. Ia menuntut sesuatu yang jauh di atas nilai-nilai bumi dan sang guru menyiratkan jalan sejati menuju kebahagian sejati, suatu ungkapan yang bernuansa tarbiyah dzatiyah.

Kegagalan tarbiyah dzatiyan
Beberapa episode perjalanan Bani Israel bersama Nabi Musa mengatakan betapa pentingnya tarbiyah dzatiyah. Mereka tahu kedatangan Nabi Musa untuk misi penyelamatan. Apapun yang mereka alami, kemenangan adalah kepastian. Namun, mereka gagal (QS. Al A’raaf: 128-129).
Tenggelamnya Fir’aun di laut dan selamatnya Bani Israel dari Fir’aun, tak menyisakan sedikitpun keraguan untuk memasuki Bumi Suci yang dijanjikan (QS. Al Maidah: 20). Namun, peristiwa itu seperti terjadi tanpa kuasa Allah. Mereka lebih memandang tubuh besar bangsa Amalek (raksasa) yang menduduki kota suci dari pada jaminan kemenangan dari Allah. Berita tenggelamnya Fir’aun yang perkasa adalah kegemparan besar yang mampu membuat siapapun lari tungga langgang menghadapi pengikut Nabi Musa. Namun, mereka justru menyampaikan ungkapan dekil yang khas, agar musa dan Allah berperang di sana, baru sesudah itu mereka masuk.

Karenanya, mereka dikutuk. Berputar-putar di padang Tih, 40 tahun tak dapat memasuki kota suci yang dijanjikan. Allah masih memberikan mereka perlindungan berupa awan yang menaungi mereka dari sengat terik matahari dan makanan instan Manna dan Salwa. Namun, baru beberapa saat mereka sudah protes, “Hai Musa, kami tak bakal sabar menerima satu jenis makanan. Karenanya berdoalah untuk kami kepada Tuhanmu, agar Ia mengeluarkan untuk kami tumbuhan bumi,” (QS. Al Baqarah: 61). Perhatikan, bahasa apa yang mereka gunakan di hadapan nabi?

Dimana Kita?
Kita adalah satu di antara dua profil berikut. Alkisah, dua pasang belia yang membangun rumah tangga. Lepas walimah, sang suami pun harus berangkat lagi membina kader-kader dakwah, kerja yang biasa dilakukan hingga larut malam. Malam panjang tanpa suami pun menderanya, membungkusnya dalam selimut sunyi lalu melemparnya dalam nyala bara yang menghanguskan keindahan hari-hari madu mereka. Perang pun mulai berkecamuk, zauji atau da’wati? (istriku atau dakwah)

Dengan mantap sang da’i merangkum kata menang: “Adindaku, kita bertemu di jalan dakwah. Allah melimpahkan kebahagian kepada kita dengan membimbingk kita ke dakwah yang diberkahi-Nya. Haruskah kita meninggalkannya, sesudah kekuatan itu bersatu dan bertambah untuk lebih meningkatkan kontribusi kita bagi dakwah? Jangan kita langgar janji kita kepadaNya, sehingga keturunan kita kelak tercerai-beraikan oleh khianat kita.”

Tahun-tahun dakwah silih berganti. Ketika bayang-bayang kejenuhan dan kepenatan, istri tercintalah yang tak bosan-bosan mengobarkan semangat dakwah dan pantang menyerah. Sampai anak-anak mereka tak punya fikiran menyuruh tamu-tamu menelpon di lain waktu karena ayahnya sedang istirahat. Mereka berlomba membangunkannya. Ia jadi yakin, dakwahlah yang membangunkannya bukan anak-anak yang berkolaborasi dengan tamu dan penelpon yang tak tahu etika itu.

Profil yang satu lagi menghadapi hal yang sama, “istriku atau dakwah?” Satu jurus ia jatuh. Ketika di evaluasi ia menangis dan bertekad : hujan, guntur dan badai tak boleh menghalanginya dari tugas dakwah. Dan saat ia telah bersiap melaksanakan tekad dan ikrarnya, tiba-tiba ia mendengar suara sang mertua. “Mertuaku atau dakwahku?” Sekali lagi ia tersungkur.

Tahun-tahun berbilang, kedua profil ini bertemu, yang satu dengan produk dakwah yang penuh berkah yang lain dengan kemurungan, dunia yang membelenggu dan urusan keluarga yang tak kunjung selesai.

Ustadz Rahmat Abdullah, rahimahullah.


DPD PKS Siak - Download Android App


«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama
0 Comments
Tweets
Komentar