Di PKS, Aku Mendapatkan Segala-galanya
By: Abul Ezz
Kamis, 14 Maret 2013
0
***
(Seperti yang diceritakan oleh Dani, Bogor)
*kiriman fauzi nahdi (ozy.nahdi26@gmail.com)
:: PKS PIYUNGAN
Sebut saja namaku Dani, karena sejak kecil selalu didandani oleh Nini (Nenek bahasa Sunda) sehingga penampilannku rapi.
Kebanggaan yang pertama dalam kehidupannku adalah Bapa, karena bapa
bagiku adalah laki-laki tulen karena bapaku banyak menaklukan wanita
yang dijadikan istrinya sehingga aku punya banyak saudara sekarang.
Bapaku terkenal dengan kewibawaannya dan cara menarik dalam bergaul
dengan masyarakat. Walaupun aku jarang berkomunikasi dengan bapa, tapi
bapaku berkeinginan agar aku menjadi lebih baik darinya, dan pada
akhirnya aku disekolahkan disebuah sekolah yang kental nuasa Agamanya.
Aku secara tidak langsung mewarisi gaya bergaul dari bapa, tentunya
dengan zaman yang berbeda. Aku terkenal luwes, mudah bergaul dan tidak
gampang menolak permintaan orang. Tapi mungkin hal itulah yang membuat
aku kebabblasan kehidupan remaja modern meyeretku kedalam dunia penuh
hitam, perkelahian antar geng, merokok, pengedar narkoba tapi bukan
pemakai lho, pacaran, begadang sampai pagi, bolos sekolah, rasanya
sekarang gak sanggup lagi mengurutkan satu persatu noktah hitam yang
kutorehkan pada masa tersebut.
Selepas lulus dari Aliyah, aku berkesempatan kuliah di sekolah perikanan
di Jakarta. Pola pendidikan semi militer merubah kehidupanku menjadi
seorang yang lebih disiplin, namun rasanya batin ini terus gundah akan
masa lalu jauh dari Allah dan semakin jauh manakala melihat kehidupan di
kapal-kapal ikan atau pesiar, rasanya aku tidak cocok kerja disini.
Akhirnya kuputuskan pulang saja ke kampung, menerima pekerjaan sebagai staf administrasi di sebuah kantor Notaris.
Disinilah awal mulanya, kebetulan kantor notaris bersebelahan dengan
kantor DPC sebuah partai Islam (waktu itu bernama Partai Keadilan).
Mula-mula aku malu berkenalan dengan mereka yang selalu ramah menyapa,
kantor yang tidak pernah sepi dari anak-anak muda sepertiku. Kalaupun
sepi pasti mereka sedang keluar berpencar ke desa-desa atau silaturahim
ke tokoh-tokoh masyarakat. Sering juga aku dengar sayup-sayup bacaan Al
qur’an atau suara riuh mereka ketika rapat tapi tetap terkendali.
Entah kapan waktunya tapi akhirnya aku mulai akrab dengan mereka,
terlebih dengan kang Bejo ketua DPC PKS (waktu itu masih PK). Kang Bejo
usianya lebih muda dari aku tapi kami jadi akrab, kang Bejolah yang
sering menasihati akan pentingnya berislam, sholat lima waktu dll.
Kehausanku akan ketenangan jiwa rasanya gak cukup diskusi berdua saja,
Akhirnya kang Bejo ngajak aku ikut pengajian, dengan halus aku menolak
karena bacaan qur’anku blepotan.
Kang Bejo menjelaskan dengan lebih halus dan santun, “Kita sama-sama
belajar kok. Suatu saat mungkin gantian saya yang dinasehatin,” lirih
kang bejo sambil memegang tanganku. Aku luruh dengan ketulusannya yang
tidak memaksaku.
Kang Bejo menuntunku kembali kepada islam, mengenal memahami dan
mengamalkannya. Kian waktu akupun mulai berubah dan akhirnya ikut
berjuang bersama. Dan inilih kebanggaanku yang kedua bergabung dengan
PKS yang menjadikan kami ibarat pasukan pemberani dan tak kenal lelah
ketika desa demi desa, kampung demi kampung, tokoh-tokoh, kyai, ustazh,
para kumpulan organisasi pemuda, olah raga dan lain-lain kami sambangi
dengan tujuan kemenangan Partai Keadilan adalah kemenangan Dakwah Islam.
Tak jarang kami menghadapi kendala, berat rasanya tapi setelah kami
berkumpul bersama kembali hilang semuanya berubah menjadi kenikmatan dan
tantangan tersendiri. Apalagi akhirnya jerih payah kami berbuah
manakala berbondong-bondong masyarakat mendukung kami. Kantor DPC
semakin ramai. Pemuda kampung, tokoh, kiyai, ibu-ibu pengajian, preman,
bencong (maaf), bahkan sekumpulan kakek manula veteran perang yang
mengatakan, “Kami dulu berjuang melawan Belanda, kemudian masuk Masyumi
sekarang kami siap bergabung dengan PK”. Allahu Akbar. Tak ayal, 4000
lebih kartu simpatisan habis tersebar.
Kami seakan tidak bisa membendung mereka, apalagi mereka datang sambil
meminta oleh-oleh atribut partai, kami tidak habis akal kami buat banyak
atribut partai dan kami jual ke DPC-DPC lain, lebihnya kami bagikan di
DPC Kami. Alhamdulillah kami selalu ada stok atribut walaupun hanya
stiker.
Banyaknya masyarakat yang berkampanye dengan kita membuat partai lain
gerah. Beberapa kali kang Bejo mendapat ancaman dari pemuda-pemuda desa,
tapi karena aku kenal dengan beberapa tokoh pemuda membuat kang Bejo
mengucapkan terimakasih atas dukungannya. Aku yakin PK akan menang di
kecamatan kami.
Ketika hari pencoblosan aku bersama kang Bejo keliling ke TPS di
Desa-desa, aura kemenangan memuncak. Tapi ternyata aku harus menahan
diri. Merah, merah dan merah yang menang, harus puas pada urutan ke-3.
Sampai di rumah aku gak bisa menahan diri lagi, aku teriak sekencangnya,
melempar apapun yang bisa kuraih, menghantam apapun yang bisa kupukul,
tembok, kaca-kaca, aku tidak puas. “Ya Allah! Aku sudah kembali kepadaMu
tapi kenapa Engkau tidak memberikan kemenangan kepadaku?”.
Kembali Kang bejo menasehatiku, “Sabar, Allah memberikan kesempatan
kepada kita untuk berjuang kembali, lihat hasil kerja antum semua, 3800
lebih suara kecamatan kita raih sepertinya tidak ada yang melampui
jumlah suara Partai Keadilan tingkat Kecamatan saat ini di seluruh
Indonesia. Kecamatan kita terbanyak dan salah seorang saudara kita
insyaAllah mewakili kecamatan di DPRD II”. Subhanallah, Allahu Akbar.
Begitu kang Bejo menyemangati kami.
Kurang lebih enam bulan aku merasa malu dan lelah rasanya, ditambah kang
Bejo menyarankan melepas pacarku atau menikahinya, “Kan antum sudah
tarbiyyah?" katanya. Ketika aku melamar pacarku, bukan diterima malah
dimaki habis-habisan oleh calon mertua, karena pekerjaanku belum bisa
meyakinkannya. Hancur, hancur hatiku yang kedua kalinya. Aku memutuskan
hilang sejenak pergi ke Bandung meninggalkan segalanya dengan tanpa
pamit.
Enam bulan berlalu. Gundah terasa aku kehilangan jiwa, ya Allah aku
kangen teman-teman DPC, teman-teman tarbiyyah, aku kangen tilawah
bareng, mabit bersama di masjid kemudian menghiasi malam dengan tahajud,
aku harus kembali…
"Kang aku mau menikah, tekad ku dah kuat banget kang,” ujarku saat kembali kepada Kang Bejo.
Kang Bejo mengiyakan niatku. Beliau pun memproses keinginan nikahku.
Alhamdulillah, gak menunggu lama berbulan-bulan aku sudah duduk di
sebuah sofa mewah calon mertua bersama kang Bejo ketika melamar seorang
wanita kader PKS. Rasanya gak pantas aku mendapatkannya mengingat aku
pemuda miskin berpenghasilan kecil. Lagi-lagi kang Bejo meyakinkanku,
"Nikah itu akan mendatangkan berkah, insyaAllah."
Subhanallah betul kata kang Bejo, setelah menikah dengan perantaraan
teman kang Bejo aku bisa bekerja di tempat yang layak, bahkan maaf ya
kang, gaji bulananku lebih besar berkali lipat dengan kang Bejo yang
hanya seorang guru SD.
Kini aku bersama istri dan 4 jundiku. Terus dan akan terus menapaki
jalan dakwah ini. Hampir setiap tahun di bulan Ramadhan kang Bejo
mengundang kami sekeluarga, reunian mantan mutarabi katanya. Tidak
ustadz, kami tetap mutarabi ustadz, jawabku dalam hati.
Tergiang kembali perkataan kang Bejo, "Tarbiyyah bukan segala-galanya,
tapi dengan tarbiyyah insyaAllah akan mendapatkan segala-galanya”. PKS
itu bukan partai segala-galanya tapi yakinlah insyaAllah dengan PKS akan
mendapatkan segala-galanya. Dunia Akhirat, insya Allah... Amin. []
(Seperti yang diceritakan oleh Dani, Bogor)
*kiriman fauzi nahdi (ozy.nahdi26@gmail.com)
:: PKS PIYUNGAN
DPD PKS Siak - Download Android App