Mengapa PKS Tak Ikut Interpelasi Jokowi?
By: admin
Kamis, 30 Mei 2013
0
pkssiak.org - Carut marut Kartu Jakarta Sehat telah mengusik DPRD untuk
menggunakan Hak Interpelasinya terhadap Gubernur DKI, Joko Widodo. Hak
Interpelasi tersebut telah ditandatangani oleh 32 anggota DPRD yang
dimotori oleh Fraksi Partai Demokrat.
Selain Fraksi Demokrat, terdapat pula Fraksi Golkar, Fraksi PPP, Fraksi
Hanura Damai Sejahtera, dan Fraksi PAN-PKB. Yang unik adalah, Fraksi
PKS tidak ikut serta dalam interpelasi tersebut. Padahal PKS tidak turut
mencalonkan Jokowi Ahok dalam kontestasi Pilkada.
Untuk mengurai problema interpelasi ini, perlu kita urai
satu-per satu masalah utamanya. Pertama adalah sistem layanan kesehatan;
Kedua, terkait hak interpelasi dan akibat yang ditimbulkannya; Ketiga,
Mengapa PKS tidak turut dalam penggunaan hak interpelasi.
Interpelasi yang dilakukan DPRD diawali oleh adanya
pengunduran diri rumah sakit dari program Kartu Jakarta Sehat.
Pengunduran diri ini merupakan pertanda adanya permasalahan dalam sistem
layanan kesehatan di Jakarta.
Terhadap sistem layanan kesehatan
sendiri, saya pernah mengutarakan pendapat bahwa idealnya sistem layanan
kesehatan harus berfokus pada pencegahan. Sistem yang menggratiskan
biaya pengobatan berpotensi menguras anggaran daerah. Selain itu,
membludaknya pasien akan menimbulkan kondisi lain di mana kapasitas
pelayanan kesehatan menjadi kurang memadai. Akibatnya tingkat pelayanan
di rumah sakit dan puskemas akan turut menurun. Dan ini terlihat dari
keluhan-keluhan yang masuk dari rumah sakit yang merasa kurang
diperlakukan secara adil.
Hak Interpelasi yang diinisiasi Fraksi Demokrat merupakan
hak yang dimiliki lembaga legislatif dalam menjalankan fungsinya sebagai
pengawas pemerintahan. Hak Interpelasi menurut UU No 22 Tahun 2003
adalah hak untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan
pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas. Hak
interpelasi pada dasarnya tidak memiliki konsekuensi apa pun terhadap
pemerintah. Hak ini berbeda dengan Hak Angket yang memiliki konsekuensi
bagi pemerintah yang dianggap melanggar peraturan atau perundangan. Hak
terakhir ini dapat berakhir pada pemakzulan.
Paling tidak ada tiga poin
yang diutarakan oleh pengusul hak interpelasi terhadap Jokowi :
Pertama, mekanisme pembayaran rumah sakit; Kedua, adanya penilaian bahwa
KJS tidak tepat sasaran; dan Ketiga, KJS dinilai cacat hukum. Dari
keterangan tersebut, permasalahan utamanya hanya berfokus pada Kartu
Jakarta Sehat. Itu pun lebih spesifik lagi terkait dengan hubungan
antara Rumah Sakit dengan Pemprov DKI. Bisa dibilang bahwa hak
interpelasi yang diajukan DPRD sebenarnya tidak mengarah pada perbaikan
sistem pelayanan kesehatan, namun hanya pada hubungan antara Pemprov dan
mitra Pemprov.
Lalu mengapa PKS tidak ikut serta dalam pengajuan hak
interpelasi. PKS menjadi unik, sebab selain PKS, Fraksi lain yang
menolak interpelasi adalah Fraksi yang memang mengusung Gubernur DKI
Jakarta. PKS dalam hal ini nampaknya bisa memilah antara ranah
kontestasi politik dengan ranah pelayanan publik. Fraksi PKS nampaknya
tidak menjadikan kasus KJS untuk melampiaskan dendam kalah Pilkada
seperti yang dilakukan oleh Fraksi lainnya.
Selain itu ada alasan lain yang juga lebih mendasar. Hal
ini dapat dicermati jika kita melihat kembali definisi hak interpelasi.
Hak interpelasi seharusnya berkaitan dengan kebijakan yang berdampak
luas terhadap masyarakat. Sedangkan poin gugatan DPRD dalam hak
interpelasi hanya berpusat pada hubungan antara Pemprov dengan mitranya,
dalam hal ini rumah sakit. Tentunya rumah sakit yang mengundurkan diri
tidak bisa mewakili masyarakat luas. Toh masih ada rumah sakit yang
menerima skema tersebut. Di sini kita dapat melihat kejelian politisi
PKS dalam memetakan kepentingan dan aktor dalam kasus KJS. Jika hanya
menyangkut hubungan relasi antara pemprov dengan wakilnya, tentu hal ni
bisa dibahas pada level konsultasi komisi.
Penolakan PKS untuk turut serta dalam Hak Interpelasi
sebenarnya bukan yang pertama kali dilakukan. Meskipun PKS juga terlibat
dalam beberapa Hak Interpelasi di tingkat pemerintahan pusat, PKS juga
tercatat pernah menolak hak interpelasi dalam hal kebijakan pemerintah
daerah. Jawa Barat tidak perlu dijadikan contoh, sebab ini menyangkut
Gubernur yang dimajukan PKS sendiri. Contoh penolakan PKS bisa didapati
pada kasus interpelasi DPRD Surabaya terhadap Tri Rismaharini, Walikota Surabaya. Tak tanggung-tanggung, interpelasi ini bahkan mengarah pada hak angket.
Dalam kasus interpelasi DPRD Surabaya, gugatan yang
dilakukan menyangkut kenaikan pungutan reklame. Fraksi PKS DPRD Surabaya
melihat permasalahan reklame di Surabaya bukan permasalahan yang
menyangkut masyarakat luas. Sebab, permasalahan ini hanya menyangkut hubungan antara pengusaha reklame dengan Pemkot Surabaya.
Itulah yang menjadi pertimbangan PKS ketika menolak turut bergabung
dalam Hak Interpelasi. Sekali lagi posisi PKS menarik sebab PKS bukan
pengusung Risma sebagai Walikota Surabaya.
Belajar dari beberapa kasus interpelasi yang diajukan oleh
lembaga legislatif terhadap eksekutif ada beberapa poin yang perlu
dicermati. Pertama, bahwa ternyata mayoritas politisi kita masih belum
berpikir secara dewasa. Mereka mengajukan gugatan semata karena pihak
pemerintah tidak berasal dari pihak mereka. Kedua, Hal sebaliknya
terjadi ketika ada fraksi yang diawal mencalonkan pemerintah turut
mengajukan interpelasi, fraksi ini justru dicemooh sebagai pengkhianat.
Padahal sejati hak interpelasi maupun hak angket sekalipun digunakan
untuk melindungi kepentingan masyarakat luas, bukan semata-mata
melindungi kepentingan kelompok. Ketiga, masyakat pun juga kurang
memahami hakikat interpelasi, sehingga mereka relatif lebih mudah untuk
disulut dalam sebuah pertempuran antar kelompok.
Jalu Priambodo
DPD PKS Siak - Download Android App


