Yudi Latif (KOMPAS): "Keadilan bagi Partai Keadilan Sejahtera"
By: admin
Selasa, 28 Mei 2013
0
pkssiak.org - “Keadilan adalah kebenaran dalam tindakan." Ungkapan Benjamin Disraeli 
itu bisa menjadi panduan bagi para penegak hukum dalam menjalankan 
tugasnya. Dalam tuntutan untuk menjalankan kebenaran dalam tindakan itu,
 penegak hukum, seperti digariskan oleh Magna Carta "Tidak pada siapa 
pun akan menjual, atau menolak, atau menunda hak atau keadilan." 
Bagi penegak hukum, bertindak benar berarti melihat masalah dari sudut 
pandang hukum dan keadilan. Penegak hukum yang benar akan melihat 
politik sebagai masalah hukum-keadilan, bukan melihat hukum-keadilan 
sebagai masalah politik. Ketika hukum-keadilan dipandang sebagai masalah
 politik, penegakan hukum menjadi masalah selera dan kepentingan; bisa 
dijual kepada yang kuat, bisa disangkal kepada yang lemah, bisa ditunda 
kepada yang bisa tawar-menawar. Buahnya adalah ketidakadilan. 
Tendensi seperti itu sangat mencemaskan bila tebersit dari perilaku 
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjadi tumpuan harapan rakyat. 
Dalam kasus mega-korupsi dengan bobot politik yang tinggi seperti 
skandal Bank Century, KPK bertindak kelewat lambat, terkesan menjadikan 
masalah hukum sebagai masalah politik dengan "menjual" keadilan kepada 
yang kuat. Dalam kasus dugaan korupsi impor daging sapi, KPK malah 
bertindak kelewat bersemangat melampaui batas, dengan menjadikan masalah
 "kelamin" yang berdimensi politis sebagai masalah hukum. 
KPK harus bertindak atas dasar realitas hukum. Tak peduli ulama dan 
partai Islam sekalipun, jika fakta hukumnya terbukti melakukan tindakan 
korupsi, sudah seharusnya mendapatkan hukuman. Namun, KPK tidak boleh 
bertindak atas dasar hiper-realitas, menghukum orang/institusi dengan 
fakta nonhukum; lewat rekayasa kesan (impression management) untuk menghukum orang/institusi dengan persepsi publik. Apalagi, jika pengelolaan kesan ini menabrak kepatutan etis, political corectness, yang dapat melecehkan jenis kelamin tertentu atau menghancurkan reputasi dan masa depan orang yang belum tentu bersalah. 
Asas keadilan menyatakan, "Jangan sampai kebencianmu pada suatu kaum 
membuatmu berbuat tidak adil." Dengan tindakan KPK yang melampaui batas,
 individu atau partai yang pantas mendapat hukuman publik karena 
perbuatan korupsinya bisa saja justru mendapatkan simpati publik. Jika 
itu yang terjadi, KPK gagal menegakkan hukum karena hukuman harus 
melahirkan efek jera dan disosiasi publik kepada yang bersalah, bukan 
efek simpati publik.
Apa yang tebersit dari perangai KPK beserta perluasan kejahatan korupsi 
yang ditanganinya itu sesungguhnya sekadar puncak gunung es dari krisis 
yang lebih mendalam, yakni lemahnya kekuatan "melek moral" (moral literacy)
 pada bangsa ini. Peningkatan semangat beribadah dan rumah peribadatan 
serta perkembangbiakan undang-undang tidak disertai oleh penguatan 
sensitivitas pada nilai-nilai etika-moralitas.
Rendahnya tingkat melek moral ini membuat bangsa Indonesia kekurangan 
rasa malu dan rasa kepantasan sehingga ambang batas moral semakin tipis.
 Dalam kehidupan publik yang sehat ada banyak hal yang tak bisa dibeli 
dengan uang. Namun, dalam kenyataan hari ini, cuma sedikit yang masih 
tersisa. Hampir semua hal cenderung dikonversikan dengan nilai uang.
Memberi harga pada institusi-institusi kebajikan publik mengandung daya 
korosif dan koruptif bagi perkembangan bangsa. Hal itu karena uang 
(pasar) bukan saja mengalokasikan barang tetapi juga memengaruhi sikap 
manusia dan nilai barang yang diperjualbelikan. Melelang bangku sekolah 
kepada pembayar tertinggi memang bisa meningkatkan keuntungan, tetapi 
juga melunturkan integritas dunia persekolahan dan nilai ijazahnya serta
 merusak prinsip kesetaraan meritokratis. Menyewakan "kenyamanan" sel 
tahanan kepada koruptor berduit tidak bisa diterima karena tahanan 
bukanlah tempat pelesiran, melainkan tempat hukuman-rehabilitasi sosial.
 Memberi kenyamanan kepada tahanan menempatkan kejahatan sebagai sesuatu
 yang mulia.
Pilihan politik bukan untuk diperjualbelikan. Kewajiban kewargaan tidak 
sepatutnya dianggap sebagai properti perseorangan yang bisa dijual, 
tetapi harus dipandang sebagai pertanggungjawaban publik. Menjual hak 
pilih menjadikan urusan publik dikendalikan kekuatan privat. Ayat-ayat 
kitab suci bukan untuk diperjualbelikan karena pemanipulasian 
pesan-pesan keilahian bagi kepentingan murahan mencerminkan korupsi 
terdalam terhadap sumber moralitas. Sebab, hal itu akan membuat warga 
kehilangan kepercayaan kepada apa pun dan siapa pun.
Tanpa basis moral kuat, negara hukum menyimpan banyak kemungkinan 
kebuntuan karena konstitusi kita memberikan kepercayaan besar kepada 
moral penyelenggara negara. Pokok pikiran keempat Pembukaan UUD 1945 
menyebutkan, "Ketuhanan yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang 
adil dan beradab mewajibkan pemerintah dan penyelenggara negara lainnya 
untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh 
cita-cita moral rakyat yang luhur." Profesor Soepomo mengatakan, “Sudah 
tentu orang-orang menjadi Staatman, menjadi pegawai negara yang begitu 
tinggi harus mempunyai perasaan tanggung jawab, bukan saja kepada diri 
sendiri, akan tetapi juga kepada umum."
Krisis penyelenggaraan negara kini terletak pada krisis moral. Krisis 
moral penyelenggara negara itu mencerminkan rendahnya tingkat literasi 
moral di masyarakat. Bangkit dari keterpurukan harus dimulai dari 
gerakan "keutamaan budi", Budi Utomo. Itulah khitah sejarah kebangkitan 
kita!
YUDI LATIF
Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan
Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan
:: sumber: KOMPAS cetak (28/5/2013) hal. 15
DPD PKS Siak - Download Android App
 


