Untuk Apa Punya Minyak?
By: Abul Ezz
Senin, 10 Juni 2013
0
Oleh: MT Zen
pkssiak.org - Harga minyak turun berteriak, harga minyak naik lebih berteriak lagi dan
panik. Jadi, apa gunanya kita punya minyak, sedangkan Indonesia sejak
awal sudah menjadi anggota OPEC? Alangkah tidak masuk akalnya keadaan
ini? Sangat kontroversial. Minyak itu tak lain adalah kutukan.
Dahulu, di zaman Orde Baru, saya masih ingat sekali bahwa setiap kali
ada berita tentang turunnya harga minyak di pasaran dunia, Pemerintah
Indonesia sudah berkeluh kesah. Pada waktu itu cadangan terbukti
Indonesia tercatat 12 miliar barrel.
Kini, pada masa Reformasi ini, lebih khusus lagi selama kekuasaan Susilo
Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, pemerintah juga berteriak, berkeluh
kesah, dan panik apabila harga minyak meningkat di pasaran dunia.
Harga minyak turun berteriak, harga minyak naik lebih berteriak lagi dan
panik. Jadi, apa gunanya kita punya minyak, sedangkan Indonesia sejak
awal sudah menjadi anggota OPEC? Alangkah tidak masuk akalnya keadaan
ini? Sangat kontroversial. Minyak itu tak lain adalah kutukan.
Cadangan tak tersentuh
Hingga kini Indonesia secara resmi disebut masih mempunyai cadangan
minyak sebesar 9 miliar barrel. Memang betul, jika dibandingkan dengan
cadangan minyak negara-negara Timur Tengah, 9 miliar barrel itu tidak
ada artinya. Namun, jelas-jelas Indonesia masih punya minyak. Selain
cadangan lama, cadangan blok Cepu belum juga dapat dimanfaatkan. Belum
lagi cadangan minyak yang luar biasa besar di lepas pantai barat Aceh.
Perlu diketahui bahwa pada pertengahan tahun 1970-an Indonesia
memproduksi 1,5 juta barrel per hari. Yang sangat mencolok dalam
industri minyak Indonesia adalah tidak ada kemajuan dalam pengembangan
teknologi perminyakan Indonesia sama sekali.
Norwegia pada awal-awal tahun 1980-an mempunyai cadangan minyak yang
hampir sama dengan Indonesia. Perbedaannya adalah mereka tidak punya
sejarah pengembangan industri minyak seperti Indonesia yang sudah
mengembangkan industri perminyakan sejak zaman Hindia Belanda, jadi jauh
sebelum Perang Dunia ke-2. Lagi pula semua ladang minyak Norwegia
terdapat di lepas pantai di Laut Atlantik Utara. Lingkungannya sangat
ganas; angin kencang, arus sangat deras, dan suhu sangat rendah; ombak
selalu tinggi.
Teknologi lepas pantai, khusus mengenai perminyakan, mereka ambil alih
dari Amerika Serikat hanya dalam waktu 10 tahun. Sesudah 10 tahun tidak
ada lagi ahli-ahli Amerika yang bekerja di Norwegia.
Saya berkesempatan bekerja di anjungan lepas pantai Norwegia dan
mengunjungi semua anjungan lepas pantai Norwegia itu. Tak seorang ahli
Amerika pun yang saya jumpai di sana sekalipun modalnya adalah modal
Amerika, terkecuali satu; seorang Indonesia keturunan Tionghoa dari
Semarang yang merupakan orang pertama yang menyambut saya begitu terjun
dari helikopter dan berpegang pada jala pengaman di landasan. Dia
berkata sambil tiarap berpegangan tali jala, ”Saya dari Semarang, Pak.”
Dia seorang insinyur di Mobil yang sengaja diterbangkan dari kantor
besarnya di daratan Amerika untuk menyambut saya di dek anjungan lepas
pantai bernama Stadfyord A di Atlantik Utara.
Di sanalah, dan di anjungan-anjungan lain, saya diceritakan bahwa mereka
tidak membutuhkan teknologi dari Amerika lagi. Mereka sudah dapat
mandiri dan dalam beberapa hal sudah dapat mengembangkan teknologi baru,
terutama dalam pemasangan pipa-pipa gas dan pipa-pipa minyak di dasar
lautan. Teknologi kelautan dan teknologi bawah air mereka kuasai betul
dan sejak dulu orang-orang Norwegia terkenal sebagai bangsa yang sangat
ulet dan pemberani. Mereka keturunan orang Viking.
Ada satu hal yang sangat menarik. Menteri perminyakan Norwegia secara
pribadi pernah mengatakan kepada saya bahwa Norwegia dengan menerapkan
teknologi enhanced recovery dari Amerika berhasil memperbesar
cadangan minyak Norwegia dengan tiga kali lipat tanpa menyentuh
kawasan-kawasan baru. Ini sesuatu yang sangat menakjubkan.
Norwegia pernah menawarkan teknologi tersebut kepada Indonesia, tetapi
mereka minta konsesi minyak tersendiri dengan persyaratan umum yang sama
dengan perusahaan lain. Ini terjadi pada akhir tahun 1980-an. Namun,
kita masih terlalu terlena dengan ”kemudahan-kemudahan” yang diberikan
oleh perusahaan-perusahaan Amerika. Pejabat Pertamina tidak mau
mendengarkannya. Gro Halem Brundtland, mantan perdana menteri,
menceritakan hal yang sama kepada saya.
Contoh lain, lihat Petronas. Lomba Formula 1 di Sirkuit Sepang
disponsori oleh Petronas. Petronas itu belajar perminyakan dari
Pertamina, tetapi kini jauh lebih kaya dibanding Pertamina. Gedung
kembarnya menjulang di Kuala Lumpur. Ironisnya, banyak sekali
pemuda/insinyur Indonesia yang bekerja di Petronas.
Kenapa banyak sekali warga Indonesia dapat bekerja dengan baik dan
berprestasi di luar negeri, tetapi begitu masuk kembali ke sistem
Indonesia tidak dapat berbuat banyak?
Jika kita boleh ”mengutip” Hamlet, dia bekata, ”There is something
rotten, not in the Kingdom of Denmark, but here, in the Republic of
Indonesia.”
Lengah-terlena
Salah satu kelemahan Indonesia dan kesalahan bangsa kita adalah
mempunyai sifat complacency (perkataan ini tidak ada dalam Bahasa
Indonesia, cari saja di kamus Indonesia mana pun), sikap semacam
lengah-terlena, lupa meningkatkan terus kewaspadaan dan pencapaian
sehingga mudah disusul dan dilampaui orang lain.
Lihat perbulutangkisan (contoh Taufik Hidayat). Lihat persepakbolaan
Indonesia dan PSSI sekarang. Ketuanya saja meringkuk di bui tetap ngotot
tak mau diganti sekalipun sudah ditegur oleh FIFA.
Apa artinya itu semua? Kita, orang Indonesia tidak lagi tahu etika,
tidak lagi punya harga diri, dan tidak lagi tahu malu. Titik.
Ketidakmampuan Pertamina mengembangkan teknologi perminyakan merupakan
salah satu contoh yang sangat baik tentang bagaimana salah urus suatu
industri. Minyak dan gas di Blok Cepu dan Natuna disedot
perusahaan-perusahaan asing, sementara negara nyaris tak memperoleh apa
pun. Dalam hal ini, Pertamina bukan satu-satunya. Perhatikan benar-benar
semua perusahaan BUMN Indonesia yang lain.[]
**MT Zen Guru Besar Emeritus ITB
[pkspiyungan]
DPD PKS Siak - Download Android App