Hati-Hatilah dengan Mulutmu | By @PrijantoRabbani
By: Abul Ezz
Minggu, 01 September 2013
0
Oleh: Prijanto Rabbani*
pkssiak.org - “Orang yang diajak musyawarah (dimintai pendapat) adalah yang bisa memegang amanat (dapat menyimpan rahasia).” (HR. Athabrani)
Manusia
adalah sebaik-baik ciptaan. Karenanya diberikan berbagai ragam potensi
yang mesti disyukuri. Rasa syukur dengan mengoptimalisasi potensi bagi
sebesar-besar kebaikan sesama. Sebab, sebaik-baik manusia adalah yang
paling bermanfaat bagi sesama.
Dalam
konteks manajemen, pengelolaan potensi sangatlah menjadi perhatian.
Sebab potensi yang tak dikelola dengan baik justru akan kontra
produktif. Berikut beberapa hal terkait pentingnya mengelola potensi
diri, dalam hal ini potensi bicara/mulut dan juga bahayanya bila gagal
mengelolanya.
Hati-Hatilah dengan Banyak Bicara
Tak
ada yang salah dari orang yang banyak bicara. Selama yang dibicarakan
berisi nasihat, dakwah, pengajaran; bicara seperti itu justru jadi
ibadah. Tapi ketika bicara tak lagi punya isi, canda, obrolan kosong,
dan lain-lain; bicara bisa memunculkan fitnah. Dan salah satu fitnah
itu, terungkapnya rahasia. Bisa rahasia pribadi, keluarga, bahkan
organisasi/perusahaan.
Rasulullah pernah memberi nasihat agar seorang mukmin senantiasa bicara
yang baik-baik, atau diam. Inilah sebuah pelajaran bahwa lidah/mulut
bisa memunculkan kesalahan fatal. Ketika orang tak lagi mampu
mengendalikan syahwat bicaranya, berbagai kesalahan termasuk
terungkapnya rahasia bisa muncul begitu saja. Ringan. Tanpa beban.
Ketika
orang tak lagi sungkan bicara yang remeh temeh, gosip; maka aib bisa
terbaca pendengar dengan mudah. Bisa aib diri sendiri, isteri, orang
tua, tetangga, dan lain-lain.
Biasanya, orang yang terlalu banyak bicara rentan keceplosan. Begitu rentan membeberkan sebuah rahasia dan aib yang tabu untuk diungkapkan. Dengan kata lain, banyak bicara nyaris bisa sama dengan kurang amanah.
Rasulullah pernah memberi nasihat, “Barangsiapa
banyak bicara maka banyak pula salahnya dan barangsiapa banyak salah
maka banyak pula dosanya. Siapa yang banyak dosanya maka api neraka
lebih utama baginya.” (HR Athabrani)
Hati-hatilah Ketika Haus Pujian
Pujian
dalam takaran tertentu memang punya pengaruh baik. Dalam manajemen, ada
istilah punish and reward: hukuman dan penghargaan. Sebuah kesalahan
akan cepat terkikis jika ada hukuman. Dan sebaliknya, sebuah prestasi
akan terus meningkat jika ada penghargaan. Dan penghargaan inilah
sebagai bentuk lain dari pujian.
Masalah akan muncul jika pujian bukan lagi sebagai sarana. Tapi, tujuan.
Pujian jenis ini bisa dibilang sebagai penyakit. Apa pun bisa
dikorbankan asal bisa dapat pujian. Biasanya, orang yang rawan
terhinggap penyakit ini mereka yang tergolong orang ‘besar’, jenius,
kaya, pejabat, dan sebagainya. Rasulullah saw. mengatakan, “Berhati-hatilah dengan pujian. Sesungguhnya itu adalah penyembelihan.” (HR. Al-Bukhari)
Orang yang cinta pujian selalu ingin terlihat tampil lebih. Termasuk
saat menyampaikan gagasan, usulan, dan sejenisnya. Karena terdorong
ingin terlihat lebih, tidak heran jika sesuatu yang sebenarnya tergolong
rahasia bisa keluar begitu saja. Tanpa beban.
Di satu sisi, orang memang akan menilainya lebih. Dan pujian pun mengalir. Tapi, ada kelemahan yang mudah terbaca: “Berikan saja pujian, dia akan memberikan apa pun yang Anda minta.”
Salah
satu yang membuat takluk Abu Sufyan saat pengepungan Mekah adalah isi
pengumuman Rasul. “Siapa yang masuk Masjidil Haram, ia aman. Dan siapa
yang masuk rumah Abu Sufyan, ia juga aman.” Dan itu salah satu bentuk
pujian.
Sedemikian dahsyatnya pengaruh pujian, Rasulullah Saw. pernah mengatakan, “Taburkanlah pasir ke wajah orang-orang yang suka memuji dan menyanjung-nyanjung.” (HR. Muslim)
Hati-hatilah Ketika Dangkal Pemahaman
Semakin
paham seseorang, kian sangat berhati-hati dalam melangkah. Sebaliknya,
kian dangkal pemahaman seseorang, semakin sembrono mengambil pilihan.
Inilah standar penilaian yang bisa diambil.
Karena
itu, jangan pernah titipkan rahasia ke orang yang dangkal pemahaman.
Karena rahasia akan sangat gampang bocor dan menyebar. Bahkan mungkin,
karena dangkalnya pemahaman, si pembocor sendiri tidak menyadari kalau
ia sedang melakukan pembocoran.
Sebuah ucapan Rasulullah tentang orang bodoh yang mengumbar aib sendiri mungkin patut disimak. Beliau mengatakan, “Semua
umatku diampuni kecuali yang berbuat (keji) terang-terangan. Yaitu yang
melakukannya pada malam hari lalu ditutup-tutupi oleh Allah, tetapi
esok paginya dia membeberkan sendiri dengan berkata, ‘Hai Fulan, tadi
malam aku berbuat begini…begini.’ Dia membuka tabir yang telah disekat
oleh Allah Azza wajalla.” (HR. Mutafaq ‘alaih)
Hati-Hatilah Ketika Lingkungan Kurang Menghargai Kebaikan
Ini
mungkin agak lain. Karena terungkapnya sebuah aib atau rahasia bukan
sekadar dari dalam diri. Tapi, dari lingkungan. Orang yang amanah dalam
rahasia kadang bisa larut dengan lingkungan yang menganggap sudah tidak
punya rahasia. Mereka begitu mudah membuka rahasia orang lain.
Bahkan
dalam dunia politik, membongkar rahasia orang lain bisa dianggap
prestasi. Karena disitulah lawan bisa terjungkal. Padahal, orang lain
pun sedang menunggu kesempatan. Suatu saat, rahasia bisa dibuka secara
bersama-sama. Kalau saya jatuh, dia pun harus terjungkal.
Rasulullah menasihati kita untuk tidak seperti itu. Beliau bersabda, “Hendaklah
kamu bertakwa kepada Allah. Jika seorang membongkar keburukan yang
diketahuinya pada dirimu, janganlah kamu membongkar keburukan yang kamu
ketahui pada dirinya.” (HR. Ahmad dan Attirmidzi)
Catatan Akhir
Diatas
tergambar bahwa mulut yang tidak dikelola dengan baik akan membawa
dampak yang tidak sederhana. Karenanya potensi sekecil apapun dalam diri
dan organisasi mesti dikelola dengan baik agar tak menimbulkan dampak
negatif di kemudian hari. Betapa pentingnya sebuah manajemen.
prijantorabbani.com
* Prijanto Rabbani - Founder & CEO CeespeesCorp
Director Centre for Strategic and Policy
Studies [CSPS]
DPD PKS Siak - Download Android App