Khilafah dan Demokrasi
By: admin
Minggu, 06 April 2014
0
pkssiak.org - Oleh: Adian Husaini*
Sebenarnya, masalah demokrasi bisa dibicarakan dengan lebih ilmiah.
Istilah “demokrasi” tidak tepat didikotomikan dengan istilah “khilafah”.
Tetapi, lebih tepat, jika “demokrasi” versus “teokrasi”. Sistem
khilafah beda dengan keduanya. Sebagian unsur dalam sistem khilafah ada
unsur demokrasi (kekuasaan di tangan rakyat) dan sebagian lain ada unsur
teokrasi (kedaulatan hukum di tangan Tuhan). Membenturkan demokrasi
dengan khilafah, menurut saya, tidak tepat.
Sistem demokrasi ada yang bisa dimanfaatkan untuk dakwah, Karena
adanya kebebasan berpendapat. Maka, Hizbut Tahrir justru berkembang ke
negara-negara yang menganut sistem demokrasi, seperti di Indonesia. Di
AS, Inggris, dsb, HT lebih bebas bergerak dibanding dengan di Arab
Saudi. Karena itu, demokrasi memang harus dinikmati, selama tidak
bertentangan dengan Islam. Itulah yang dilakukan oleh berbagai gerakan
Islam, dengan caranya masing2. ada yang masuk sistem politik, ada yang
di luar sistem politik,tetapi masuk sistem pendidikan, dll. Tapi,
mereka tetap hidup dan menikmati sistem demokrasi. saat HTI menjadi
Ormas, itu juga sedang memanfaatkan sistem demokrasi, karena sistem
keormasan di Indonesia memang “demokratis”.
Karena itu, menolak semua unsur dalam demokrasi juga tidak tepat.
Karena demokrasi adalah istilah asing yang harus dikaji secara kritis.
Para ulama kita sudah banyak melakukan kajian terhadap demokrasi, mereka
beda-beda pendapat dalam soal menyikapinya. tapi, semuanya menolak
aspek “kedaulatan hukum” diserahkan kepada rakyat, sebab kedaulatan
hukum merupakan wilayah Tuhan. kajian yang cukup bagus dilakukan oleh
Prof Hasbi ash-Shiddiqy dalam buku Ilmu Kenegaraan dalam Fiqih Islam.
Inilah yang kita sebut sebagai proses Islamisasi: menilai segala
sesuatu istilah “asing” dengan parameter Islam. Contoh kajian yang
bagus dilakukan oleh Ibn Taymiyah dalam menilai istilah-istilah dalam
sufi, yang asing dalam Islam, seperti “kasyaf”, “fana”, dan sebagainya.
al-Ghazali juga contoh yang baik saat menilai istilah dan faham
“falsafah”. ada yang diterimanya, tetapi juga ada yang ditolaknya.
Jadi, menurut saya, kenajisan istilah “demokrasi” bukan “lidzatihi”,
tetapi “lighairihi”, karena masih bisa “disamak”. Saat ini pun kita
telah menggunakan berbagai istilah asing yang sudah diislamkan maknanya,
seperti “agama”, “dosa”, “sorga”, “neraka”, “pahala”, dll.
Masalah khilafah juga perlu didudukkan pada tempatnya. Khilafah
adalah sistem politik Islam yang unik dan khas. Tentu, agama dan
ideologi apa pun, memerlukan dukungan sistem politik untuk eksis atau
berkembang. Tetapi, nasib dan eksistensi umat Islam tidak semata-mata
bergantung pada khilafah. Kita dijajah Belanda selama ratusan tahun,
Islam tetap eksis, dan bahkan, jarang sekali ditemukan kasus pemurtadan
umat Islam. Dalam sejarah, khilafah juga pernah menjadi masalah bahkan
sumber kerusakan umat, ketika sang khalifah zalim. Dalam sistem
khilafah, penguasa/khalifah memiliki otoritas yang sangat besar. Sistem
semacam ini memiliki keuntungan: cepat baik jika khalifahnya baik, dan
cepat rusak jika khalifahnya rusak. Ini berbeda dengan sistem demokrasi
yang membagi-bagi kekuasaan secara luas.
Jadi, ungkapan “masalah umat akan beres jika khilafah berdiri”, juga
tidak selalu tepat. Yang lebih penting, menyiapkan orang-orang yang akan
memimpin umat Islam. Itulah yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Entah
mengapa Rasulullah saw — setahu saya — tidak banyak (hampir tidak
pernah?) mengajak umat Islam untuk mendirikan negara Islam. meskipun
negara pasti suatu hal yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan umat
Islam, sebab berbagai aspek hukum dan kehidupan umat terkait dengan
negara.
Tapi, saya tidak ketemu hadits: “Mari kita dirikan negara, agar kita jaya!” Tentu, bukan berarti negara tidak penting.
Terakhir, soal “cara mendirikan khilafah”. Saya sering terima SMS,
bahwa khilafah adalah solusi persoalan umat. beberapa kali acara, saya
ditanya, mengapa saya tidak membicarakan khilafah sebagai solusi umat!
Saya pernah sampaikan kepada pimpinan HTI, tahun 2010 lalu, tentang
masalah ini.
Menurut saya, semangat mendirikan khilafah perlu dihargai. itu baik.
tetapi, perlu didudukkan pada tempatnya juga. itu yang namanya adil.
Jangan sampai, ada pemahaman, bahwa orang-orang yang rajin melafalkan
kata khilafah dan rajin berdemo untuk menuntut khilafah merasa lebih
baik daripada para dai kita yang berjuang di pelosok membentengi aqidah
umat, meskipun mereka tidak pernah berdemo menuntut khilafah, atau
bergabung dengan suatu kelompok yang menyatakan ingin mendirikan
khilafah.
“Mendirikan khilafah” itu juga suatu diskusi tersendiri. Bagaimana
caranya? AD Muhammadiyah menyatakan ingin mewujudkan masyarakat Islam
yang sebenar-benarnya! Persis juga punya tujuan serupa. DDII juga sama.
Mars MTQ ada ungkapan “Baldatun Thayyitabun wa Rabbun Ghafur”. Apa itu
tidak identik dengan “khilafah”. AD/ART PKS juga ingin memenangkan
Islam.
Walhasil, menurut saya, dimensi perjuangan Islam itu sangat luas.
semua kita yang ingin tegaknya Islam, perlu bekerjasama dan saling
menghormati. Saya sebenarnya enggan menulis semacam ini, Karena saya
sudah menyampaikan secara internal. tetapi, karena diskusi masalah
semacam ini sudah terjadi berulang kali.
Masalah umat ini terlalu besar untuk hanya ditangani atau diatasi
sendirian oleh PKS, HTI, NU, Muhammadiyah, INsists, dll. Kewajiban
diantara kita adalah melakukan taushiyah, bukan saling mencerca dan
saling membenci. Saya merasa dan mengakui, kadang terlalu sulit untuk
berjuang benar-benar ikhlas karena Allah. Bukan berjuang untuk kelompok,
tapi untuk kemenangan Islam dan ikhlas karena Allah. Wallahu a’lam
bish-shawab. (adian husaini.al-intima').
DPD PKS Siak - Download Android App