Select Menu

Iklan 1080x90

SaintekSIROH

PKS BERKHIDMAT UNTUK RAKYAT

BERITA SIAK

FIQIH

SIROH

Kesehatan

Saintek

Video Pilihan

» » Marhaban ya Ramadan

Marhaban ya Ramadan


By: admin Rabu, 17 Juni 2015 0

MARHABAN  ya Ramadan. Itulah kalimat yang paling populer kita dengar dan kita lihat beberapa hari ini. Marhaban berasal dari kata rahb. Artinya luas atau lapang. Balad rahb, negeri yang luas (Lisan al-‘Arab, 1/413). Marhaban ya Ramadan, kami sambut kedatangan Ramadan dengan hati yang lapang, karena berbagai keutamaan yang ada di dalamnya. Pada siangnya terdapat ampunan. Sabda Rasulullah SAW, “Siapa yang melaksanakan puasa Ramadan karena iman dan hanya mengharapkan balasan dari Allah SWT, maka dosa-dosanya di masa lalu diampuni”. (HR al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah).

Pada malamnya juga terdapat ampunan. “Siapa yang melaksanakan qiyamullail pada malam Ramadan karena iman dan hanya mengharapkan balasan dari Allah SWT, maka dosa-dosanya di masa lalu diampuni”. (HR al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah). Puncaknya adalah Lailatulqadar. “Telah datang kepada kamu bulan Ramadan, bulan penuh berkah. Allah SWT mewajibkan puasa bagi kamu. Di bulan itu pintu-pintu rahmat dibuka. Pintu-pintu neraka Jahim ditutup. Setan-setan dibelenggu. Di dalamnya ada satu malam, lebih baik daripada seribu bulan. Siapa yang tidak mendapat kebaikan di dalamnya, maka sungguh ia tidak mendapatkan kebaikan”. (HR an-Nasa’i dari Abu Hurairah).

Makna Ramadan
Ramadan berasal dari kata ramdha’, artinya panas yang membakar. (Mukhtar as-Shihhah: 267). Kerongkongan yang kering seakan-akan panas terbakar. Tidak hanya terbakar, tapi juga mampu membakar dan menggugurkan dosa-dosa sebagaimana panas bara api melepaskan karat dari besi yang terpendam lama di dalam tanah. Ramadan juga berasal dari kata ar-Ramadh, yaitu hujan yang turun pada pergantian musim. (Lisan al-‘Arab: 7/160). Hujan yang turun menghilangkan debu-debu dari dedaunan dan bunga sehingga tampak warna aslinya. Demikian juga dengan Ramadan yang benar akan menghapus dosa-dosa yang menutupi hati orang-orang yang beriman.

Bukan Syahrul-Ikhtilaf
Ramadan dan berbagai ritual ibadah yang terkandung di dalamnya juga tidak sepi dari ikhtilaf (perbedaan pendapat). Berbagai perbedaan ini mesti disikapi dengan kearifan Ramadan. Bila tidak, maka Syahrul-Maghfirah (bulan ampunan) ini akan berubah menjadi Syahrul-Ikhtilaf. Ramadan yang diharapkan sebagai perekat umat pun kehilangan substansi maknanya.

Semua pendapat ulama seputar amaliyah Ramadan itu dapat dilaksanakan selama masih dipayungi dalil syar’i, dalil langsung maupun tidak langsung. Menyikapi jumlah rakaat Tarawih, antara 11, 23 dan 39 rakaat. Syekh ‘Athiyyah Shaqar Mufti al-Azhar Mesir mengutip pendapat al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, “Setelah menggabungkan beberapa riwayat,  al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata, ‘Perbedaan tersebut berdasarkan kepada panjang dan pendeknya bacaan. Jika ayatnya panjang, maka jumlah rakaatnya sedikit. Jika ayatnya pendek, maka rakaatnya banyak”. (Fatawa al-Azhar: 8/464). Syekh Abdul Aziz Ibnu Baz mantan Mufti Saudi Arabia juga memberikan fatwa senada dengan itu, “Afdhal bagi makmum mengikuti imam hingga salat selesai, apaka shalat (Tarawih) itu 11 rakaat, atau 13 rakaat, atau 23 rakaat, atau selain itu. Inilah yang afdhal, mamum mengikuti imamnya hingga imam selesai.

23 rakaat adalah perbuatan Umar RA dan para sahabat, tidak ada kekurangan dan kekacauan di dalamnya, akan tetapi bagian dari Sunnah al-Khulafa’ ar-Rasyidin”. (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Ibn Baz: 11/325). Para mubaliq yang menyampaikan siraman rohani ke berbagai masjid di malam-malam Ramadan benar-benar memberikan pencerahan pada aspek aqidah, akhlaq dan syari’ah (hukum) menuju kesadaran ummat. Bukan membongkar masalah-masalah khilafiyyah yang hanya layak dibahas dalam mudzakarah ulama dengan berbagai perdebatan dalil dan argumentasinya.

Bulan Multi Aktivitas
Rasulullah SAW mengajarkan bahwa Ramadan bukan bulan mengurangi aktivitas, justru Ramadan adalah bulan dengan aktivitas ganda. Sejarah mencatat bahwa perang Badar jatuh pada hari Jumat tanggal 17 Ramadan tahun kedua Hijrah. Langkah Rasulullah SAW itu diikuti kaum muslimin di Afrika Utara yang menyeberang ke Andalusia (Spanyol). Sebanyak delapan belas ribu pasukan tentara yang dipimpin panglima Thariq bin Ziyad menguasai Spanyol pada bulan Ramadan tahun 93 Hijrah. (Nafkh at-Thib min Ghushn al-Andalus ar-Rathib: 1/269). Mesir mengabadikan Ramadan sebagai nama salah satu kotanya yang bernama Madinah al-‘Asyir min Ramadhan (Kota 10 Ramadhan), untuk mengenang keberhasilan tentara Mesir mengusir agresor Israel dari dataran Sinai pada tanggal itu.

Indonesia juga punya kenangan yang sangat indah dengan Ramadan, proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia jatuh pada hari  Jumat 9 Ramadan 1364 Hijrah, bertepatan dengan 17 Agustus 1945. Maka sikap lesu, meninggalkan pekerjaan, mengurangi aktivitas pada bulan Ramadan bukan ajaran Islam dan bukan kebiasaan umat Islam masa silam.

Adapun hadis yang selalu dijadikan sebagai dalil untuk bermalas-malasan adalah, “Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah”. Diriwayatkan Abu Manshur ad-Dailami dalam Musnad al-Firdaus, dalam sanadnya terdapat Sulaiman bin ‘Amr an-Nakha’i, statusnya Kadzdzab (pendusta). (Takhrij Ahadits al-Ihya’: 2/223). Jika periwayat itu kadzdzab, maka riwayatnya maudhu’ (palsu), tidak layak dijadikan sebagai dasar dalam beribadah.

Rasa Muraqabah
“Anda diawasi kamera CCTV”, demikian tulian yang terdapat pada salah satu stiker yang ditempel di dinding masjid untuk mengatasi beberapa kasus pencurian di masjid akhir-akhir ini. Padahal setiap muslim mengetahui bahwa ia senantiasa diawasi oleh Dia yang tidak mengantuk dan tidak tidur, semua umat Islam hafal kalimat itu karena terdapat dalam Ayat Kursi. Namun ia hanya untaian kata nan indah di ujung lidah di tepi bibir, belum merasuk ke dalam hati.

Puasa Ramadan adalah salah satu cara yang disyariatkan Allah SWT untuk memasukkan rasa muraqabah (pengawasan) Allah SWT ke dalam hati orang beriman. Ketika sedang berpuasa, tidak seorang pun mau melakukan hal-hal terlarang, karena ia sadar, jika itu ia lakukan, maka pahala puasanya akan hilang. Perasaan itu ia rasakan selama 29 sampai 30 hari. Merasa diawasi Allah SWT dan rasa takut kepada-Nya. Jika rasa itu berhasil masuk ke dalam hati seorang anak, maka ia tidak akan melawan orang tua. Sebaliknya, jika rasa itu berhasil merasuk ke dalam hati orang tua, maka tidak akan ada orang tua yang menyia-nyiakan anak yang merupakan amanah Allah SWT pada dirinya. Jika rasa pengawasan itu masuk ke dalam hati pedagang, maka tidak akan ada pedagang yang curang dalam takaran dan timbangan, mencampur makanan dengan pewarna tekstil dan pemanis buatan. Krisis kita sebenarnya adalah krisis keyakinan tentang pengawasan Allah SWT.

Istiqamahlah!
Sufyan bin Abdillah at-Tsaqafi berkata, “Wahai Rasulullah, sampaikanlah kepada saya satu perkara agar saya pegang teguh”. Rasulullah SAW menjawab, “Katakanlah, ‘Rabbku adalah Allah’. Kemudian istiqamahlah!”. (HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Majah, dari Sufyan bin Abdillah at-Tsaqafi). Beramal memang sulit.

Namun ada yang lebih sulit, meningkatkan dan mempertahankan amal. Untuk itu Rasulullah SAW memberikan beberapa tips, di antaranya adalah ancaman beliau untuk selalu dicamkan, “Berapa banyak orang yang puasa, tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali hanya lapar saja. Berapa banyak orang yang melaksanakan qiyamullail, tidak mendapatkan apa-apa dari qiyamullail-nya kecuali tidak tidur saja”. (HR. Ibnu Majah, dari Abu Hurairah).

Itulah ancaman bagi mereka yang terjebak pada rutinitas tahunan tanpa merenungkan substansi makna yang terkandung di dalamnya. Untuk menjaga konsistensi amal itu Rasulullah SAW menganjurkan puasa enam hari di bulan Syawal,  “Siapa yang melaksanakan puasa Ramadan, kemudian mengiringinya dengan puasa enam hari di bulan Syawwal, maka ia seperti telah berpuasa sepanjang tahun”. (HR Muslim, dari Abu Ayyub al-Anshari). Puasa enam hari di bulan Syawal bukan hanya sekadar hitung-hitungan pahala, tapi jauh lebih penting daripada itu adalah melanjutkan nilai-nilai Ramadan hingga Syawal, bahkan sampai kematian tiba sebagai akhir kehidupan manusia di atas muka bumi menuju episode kehidupan berikutnya.

Mungkin Ramadhan Terakhir
“Bila engkau melaksanakan salat, laksanakanlah salat itu seakan-akan itulah salat terakhir bagimu”. Demikian sabda Rasulullah SAW, seperti yang diriwayatkan Ibnu Majah dari Abu Ayyub. Demikian juga halnya puasa Ramadan, mungkin inilah Ramadan terakhir bagi kita. Sikap ini akan menumbuhkan rasa khauf (takut) dan raja’ (harap), dengan kedua rasa inilah kita mendekat kepada ridha Allah SWT. Ini sejalan dengan pesan Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash, “Berbuatlah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya. Berbuatlah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati esok hari”. (Riwayat al-Harits dalam al-Musnad).

Abdul Somad
Alumni Darul Hadits Kerajaan Maroko



DPD PKS Siak - Download Android App


«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama
0 Comments
Tweets
Komentar

Tidak ada komentar

Leave a Reply

Komentar sehat anda..