Select Menu

Iklan 1080x90

SaintekSIROH

PKS BERKHIDMAT UNTUK RAKYAT

BERITA SIAK

FIQIH

SIROH

Kesehatan

Saintek

Video Pilihan

» » Nikah Beda Agama; Yang Halal dan Yang Terlarang

Nikah Beda Agama; Yang Halal dan Yang Terlarang


By: admin Sabtu, 06 September 2014 0


pkssiak.org - Pernikahan beda agama masih menjadi isu kontroversial setiap kali diperbincangkan. Sebagian kalangan menolak pembatasan-pembatasan ekspresi cinta termasuk dalam pernikahan beda agama. Sebagian lagi bersikukuh pada keharaman nikah beda agama dalam segala bentuknya. Dibutuhkan ketaatan pada syariat dan kelapangan dada dalam mengkaji fiqih untuk menjadi penengahnya.

Menilik hukum syariat, pernikahan beda agama memang dimungkinkan. Quran surat Al Maidah ayat 5 telah menjadi dasar hukum bagi jumhur (mayoritas) ulama termasuk 4 imam mazhab dalam mengesahkan terjadinya pernikahan beda agama ini. “… (dihalalkan bagimu mengawini) wanita yang menjaga kehormatandiantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang telah diberi Al Kitab sebelum kamu..” (Al Maidah:5)

Namun dalam berbagai penjelasan lanjutannya, kebolehan ini memiliki syarat-syarat khusus seperti hanya boleh terjadi antara laki-laki muslim dan perempuan ahli kitab dan pernikahan itu dilangsungkan dengan memenuhi rukun dan syarat pernikahan Islam seperti ada calon pengantin, wali, saksi, mahar serta ijab dan qabul.

Hikmah mengapa hanya laki-laki muslim yang diizinkan menikah dengan ahli kitab adalah karena secara syariat kepemimpinan, dan pertanggungjawaban rumah tangga itu dibebankan kepada para suami seperti dinyatakan dalam QS An Nisaa: 34.

Menjelaskan kaitannya dengan kebolehan laki-laki muslim menikahi perempuan ahli kitab, Ustadz Abdul Hasib Hasan, Lc menjelaskan, “Pernikahan  secara umum merupakan sebuah wasilah-sarana dakwah.        Islam yang rahmatan lilalamin tidak memaksa seseorang untuk berpindah agama.  Namun dengan kepemimpinan dan tanggungjawab rumah tangga yang berada pada diri suami, besar kemungkinan seorang istri akan terajak untuk memeluk agama suaminya, lewat muamalah, lewat interaksi yang bisa dirasakan dampak positifnya.”

Dengan demikian rumusan pernikahan beda agama menurut mayoritas ulama hanya terdiri atas tiga kemungkinan:

1) Pernikahan lelaki muslim dengan perempuan ahli kitab, hukumnya halal.
2) Pernikahan perempuan muslim dengan lelaki ahli kitab, hukumnya haram.
3) Pernikahan laki-laki/perempuan muslim dengan nonmuslim yang bukan pula ahli kitab, hukumnya haram.

Ahli kitab, yang mana?

Ahli kitab secara sederhananya ditujukan hanya bagi pemeluk agama Yahudi dan Nasrani, mereka yang menyembah Tuhan, bukan berhala, pagan atau dewa-dewa.

“Ahli kitab itu memiliki persamaan dasar dengan umat Islam. Mereka sama mempercayai Tuhan, Malaikat, Para Nabi, Akhirat, Surga, Neraka, memiliki kitab suci, dengan sejarah beririsan. Pendek kata, bedanya orang Yahudi dengan orang Islam itu kan nabinya kurang dua, sementara bedanya orang Nasrani dengan orang Islam itu nabinya kurang satu. Nah mereka inilah yang disebut sebagai ahli kitab,” urai lelaki lulusan Fakultas Ushuluddin, Jurusan Quran Universitas Imam Riyadh, Saudi Arabia ini lebih lanjut.

Maka, selain ahli kitab yang disepakati sebagai pemeluk agama Yahudi atau Nasrani, mereka disebut sebagai kaum musyrik dan siapapun muslim terlarang menikahinya. “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu…” (Al-Baqarah : 221)

Perbedaan pendapat yang kemudian masih banyak berlangsung kini tinggal berkisar pada apakah para penganut Yahudi dan Nasrani yang ada pada masa sekarang tergolong ahli kitab?

Mereka yang menolaknya beranggapan, Yahudi dan Nasrani yang ada sekarang tidak asli berasal dari bani Israil, telah menyimpang dari ajaran aslinya dan bahkan karena mempertuhankan Isa, mereka termasuk kelompok yang haram dinikahi.

Namun, Ustadz Hasib mengingatkan bahwa sejak masa Rasulullah hidup pun, umat Yahudi dan Nasrani sudah memiliki penyimpangan-penyimpangan ajaran, bukan baru terjadi kali ini saja. Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnahnya juga berpendapat bahwa ahli kitab pada masa dulu sama saja dengan yang ada di masa sekarang.

“Urusan ini memang tidak bulat ketetapannya diantara para ulama, tetapi sebagian besar, mayoritas, menetapkan bahwa ahli kitab saat ini sama saja dengan ahli kitab di masa Nabi hidup dulu, karen itu, kita pun berpendapat sebagaimana jumhur-mayoritas ulama berpendapat, yaitu menghalalkan pernikahan antara laki-laki muslim dengan perempuan Yahudi atau Nasrani,”  

Halal, tapi…

Meski secara fiqih pernikahan ini halal dilakukan oleh dua orang yang bersikukuh dengan agamanya, namun rukun dan syarat nikahnya harus terpenuhi sebagaimana aturan Islam. Ada wali, saksi, mahar, ijab dan qabul.  Lalu siapakah wali si pengantin yang non muslim ini?

Ustadz yang mengaku hobinya adalah berdakwah ini memaparkan bahwa wali si pengantin perempuan tentu saja ayah kandungnya, atau wali lain seusai urutan wali umumnya. “Syarat wali muslim kan hanya berlaku bagi pengantin yang muslim pula,” tambah Abdul Hasib.

Pada ijab qabul pun, pengantin wanita beserta walinya tentu tak wajib bersyahadat sebagaimana umumnya pernikahan yang terjadi pada pengantin yang keduanya muslim. Lantas, bagaimana dengan tempat menikah? Bolehkah dilaksanakan di gereja atau sinagog?

“Tempat menikah memang tak disyaratkan harus di masjid. Bisa di mana saja. Namun, karena umat Islam dilarang tasyabbuh-menyerupai orang kafir, menikah di gereja tentu terlarang. Itu kan sudah lebih dari tasyabbuh, apalagi kalau pakai upacara keagamaan Nasrani segala,” tegas suami Aan Rohana, Lc ini lagi.

Tak hanya itu, soal kemaslahatan perjalanan pernikahan pun tentu harus jadi pertimbangan. Suami dan istri ini meski memiliki hubungan yang sah, tetap tak bisa saling mewarisi karena berbeda agama. Anak-anak yang lahir pun demikian. Selain cenderung akan mengalami krisis identitas yang cukup serius dalam masa perkembangan jatidirinya, kebingungan dalam menentukan sikap keberagamaan, bila kelak berbeda agama karena ikut agama ayah atau agama ibunya tak bisa pula saling mewarisi dan atau bahkan terhalang dari perwalian.

Itu sebabnya, meski halal, pernikahan jenis ini sebaiknya dihindari. Ustadz Hasib mengingatkan bahwa kondisinya pun sekadar boleh, bukan anjuran apalagi sunnah. “Dalam skala 1 sampai 10 pernikahan model ini saya katakan hanya bernilai 6 saja, dan sebaik-baiknya nilai kita tentu ingin yang paling mendekati 10,” ucapnya mencoba beranalogi.

Bukankah Rasulullah pun telah mewanti-wanti para pemuda untuk mempertimbangkan faktor agama yang baik (keshalihan) sebagai pertimbangan memilih pasangan demi mencapai kebahagiaan dan keberkahan? Maka kesamaan agama ibarat gerbang awal yang akan mempermudah tercapainya tujuan-tujuan mulia pernikahan karena suami istri telah memiliki misi hidup dan mati yang selaras.

Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam bersabda: "Perempuan itu dinikahi karena empat hal, yaitu: harta, keturunan, kecantikan, dan agamanya. Dapatkanlah wanita yang taat beragama, maka engkau pun akan berbahagia." (Muttafaq Alaihi dan Imam Lima). Dalam riwayat muslim disebutkan “engkau akan memperoleh berkah.”

Lagipula, keqowaman suami berarti kesiapan bertanggungjawab atas keluarganya di dunia dan akhirat. Kalau sampai akhir hayatnya istri tak kunjung beriman pada Allah dan RasulNya, begitu pula dengan anak-anak yang dilahirkan, bagaimana mempertanggungjawabkan hal ini di hadapan Allah kelak? []

*sumber: ummi-online.com
[pkspiyungan.org]


DPD PKS Siak - Download Android App


«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama
0 Comments
Tweets
Komentar