Select Menu

Iklan 1080x90

SaintekSIROH

PKS BERKHIDMAT UNTUK RAKYAT

BERITA SIAK

FIQIH

SIROH

Kesehatan

Saintek

Video Pilihan

» » Nabi Ibrahim, Empat Ribu Tahun Kemudian

Nabi Ibrahim, Empat Ribu Tahun Kemudian


By: admin Minggu, 05 Oktober 2014 0

Oleh. Jamal D. Rahman

Sejarah para nabi dan rasul adalah sejarah yang sangat menggetarkan, yang dengan energi kerohaniannya memancarkan kesucian dan kemurnian manusia dalam sejarah konkretnya yang seringkali begitu sulit dan berat. Sejarah mereka tetap menggetarkan melintasi ruang dan waktu, karena di situlah pusat abadi hakikat kemanusiaan dalam perjuangan mencapai missi suci kenabian dan kerasulan, yaitu menegakkan landasan iman bagi sejarah kemanusiaan yang sejati. Dan menegakkan landasan iman yang kokoh bagi sejarah kemanusiaan yang sejati pastilah tidak mudah. Ia kadangkala meminta darah dan airmata, bahkan menuntut pengorbanan besar luar biasa. Tidaklah mengherankan kalau sejarah para nabi dan rasul yang begitu menggetarkan itu adalah riwayat manusia-manusia agung keluar dari lubang jarum sejarah mereka yang seringkali membuat mereka sendiri terguncang.

Demikianlah Nabi Muhammad diancam akan dibunuh terutama selama beliau menjalankan missi kenabian di Makkah. Dan peristiwa hijrah adalah usaha beliau meloloskan diri dari lubang jarum sejarah yang amat membahayakan itu. Dalam kadar dan corak yang berbeda-beda, riwayat serupa dialami juga oleh Nabi Isa a.s., Nabi Musa a.s., Nabi Yusuf a.s., dan hampir semua nabi dan rasul yang lain. Kisah-kisah mereka adalah riwayat yang mengagumkan tentang perjuangan manusia menegakkan cita keimanan di hadapan realitas kekufuran, perjuangan kerendahhatian di hadapan kecongkakan dan kesombongan, perjuangan kejujuran di hadapan kepalsuan. Perjuangan para nabi dan rasul itu, yang berdarah-darah dengan seluruh risiko dan pengorbanan yang tak ternilai, memperlihatkan jiwa yang teguh, hati yang kokoh, pikiran yang kuat, dan —di atas semuanya— memancarkan cahaya keimanan yang amat cemerlang di hadapan ancaman kemanusiaan yang amat berbahaya dan membahayakan. Adalah menggetarkan bahwa, untuk menghadapi semuanya, mereka rela mengorbankan segalanya.

Di antara kisah paling menggetarkan dari paranabi dan rasul itu tentu saja adalah kisah Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, dan Siti Hajar. Inilah tiga tokoh utama yang kita kenang hari-hari ini, di hari Idul Adlha ini.Nabi Ibrahim adalah leluhur relijius dan spiritual para rasul, khususnya rasul-rasul yang disebutkan di atas. Dengan seluruh rasa simpati, penghormatan, dan shalawat kita kepada para rasul tadi atas semua perjuangan dan pengorbanan mereka, kepada sejarah tiga tokoh utama inilah hari-hari ini kita merundukkan muka. Mendahului pengorbanan luar biasa yang diberikan para rasul sesudahnya, Nabi Ibrahim telah terlebih dahulu menunjukkan sebentuk pengorbanan yang bebannya tiada tanding. Semata-mata karena pengorbanan itu bersifat relijius dan profetik, sebentuk kurban yang merupakan pancaran iman yang luar biasa, maka Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, dan Siti Hajar tidak hancur menerima beban keharusan berkurban yang sesungguhnya terlalu berat itu.

Bagi seorang ayah, pastilah terlalu berat untuk mengurbankan anak kandungnya sendiri, anak kandung yang bertahun-tahun ditunggu dengan penuh harap dan doa setelah karunia anak yang sangat terlambat. Bagi seorang anak kecil yang masih asyik menikmati masa-masa bermain, pastilah terlalu berat untuk menerima kenyataan bahwa dia mesti dikurbankan oleh ayah kandungnya. Dan bagi seorang ibu, adakah ibu yang sanggup mengikhlaskan anak kandung yang dicintainya disembelih oleh tangan tua ayah kandungnya sendiri? Tetapi, cahaya iman bagaimanapun terlalu agung di hadapan dunia gelap egoisme manusia. Dan tepat pada titik itulah cahaya iman memancarkan kekokohan sekaligus kekukuhan luar biasa pada dunia batin ketiga tokoh kita ini.

Itu berarti,puncak dari semua perjuangan dan pengurbanan yang benar-benar berat namunmesti ditanggung, tak lain adalah perjuangan melawan diri sendiri; perjuangan menundukkan egoisme pribadi. Untuk menjalankan perintah menyembelih Nabi Ismail, ketiga tokoh kita ini tidak harus melawan siapa-siapa. Tak seorangmusuh pun. Yang harus mereka lawan hanya dan hanya diri mereka sendiri.

Tetapi adakah musuh yang lebih berbahaya dibanding dirisendiri? Kisah pengurbanan Nabi Ismail secara implisit menegaskan, bahwa musuh paling berbahaya justru adalah diri sendiri, egoisme, hawa nafsu, kecenderungan dan godaan setaniah dalam diri manusia. Ia amat berbahaya, karena dia mengintai kita sepanjang waktu tanpa kita sadari. Ia amat berbahaya, karena ada kalanya iamenyamar dalam bentuk-bentuk pertimbangan logis dan rasional. Ia amatberbahaya, karena ia menyusup ke ruang kesadaran kita tanpa kita selalu awasterhadapnya. Diri kita, egoisme, kecongkakan, kesombongan, seringkali terlalusamar bahkan untuk sekadar kita duga.

Inilah kiranya jihad akbar. Yaitu jihad besar melawan egoisme,kecongkakan, kesombongan, kecenderungan dan godaan setaniah di dalam diri kita sendiri.

Kisah pengurbanan Nabi Ismail adalah puncak dari jihad akbar dalam sejarah umat manusia. Ketiga tokoh kita ini adalah manusia-manusia agung yang dengan gemilang berhasil melawan diri mereka sendiri, menundukkan egoisme pribadi mereka di bawah terang cahaya iman, dan menaklukkan godaan setaniah dengan telak. Mereka adalah bala tentara yang terjunke medan perang mahadahsyat dalam pertempuran habis-habisan, pertempuran hidup-mati. Dan kitatahu, mereka keluar sebagai pemenang.

Keluar sebagai pemenang, mereka berhasil melawan diri mereka sendiri. Dan itu berarti mereka siap menanggung kenyataan bahwa Ismail, anak berusia kira-kira 7 tahun itu, akan disembeliholeh ayah kandungnya sendiri. Tetapi apakah yang terpancar dari kemenangan melawan diri sendiri ini? Ialah paradoks kerohanian yang luar biasa, yakni justru diselamatkannya nyawa seorang anak manusia, Ismail a.s., yang sudah dengan tulus siap menanggung maut. Nyawa Nabi Ismail selamat justru ketika ketiga tokoh sentral kisah ini dengan tulus dan kekuatan batin luar biasa siap menjalankan pengurbanan. Demikianlah, keberhasilan menundukkan guncangan batin yang amat dahsyat untuk menjalankan pengurbanan justru menyelamatkan nyawa manusia yang siap dikurbankan.

Kata Al-Quran(QS 5: 32), harga nyawa seorang manusia sama dengan harga nyawa seluruh umat manusia. Maka, keberhasilan melawan diri sendiri ini —yang telah menyelamatkan nyawa seorang manusia, Ismail a.s.— pada hakekatnya telah menyelamatkan nyawa seluruh umat manusia.Secara simbolik dan terutama secara kerohanian, kemenangan melawan diri sendiri bukan saja menyelamatkan nyawaseorang manusia, melainkan menyelamatkan nyawa manusia seluruhnya. Alangkah mahal nilai mengalahkan diri sendiri.

Diterjemahkan ke dalam kehidupan kita hari ini,keberhasilan kita melawan diri sendiri niscaya akan menyelamatkan bukan saja dirikita sendiri, melainkan juga orang lain. Seseorang yang berhasil melawan godaankorupsi, misalnya, jelaslah dia tidak hanya menyelamatkan diri sendiri,melainkan juga menyelamatkan orang lain. Sebaliknya, seseorang yang gagal melawan godaan korupsi sesungguhnya telah mencelakakan orang lain dan dirinyasendiri.

Kisah Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, dan Siti Hajar menyadarkan kita, bahwa pada esensinya mengalahkan diri sendiri merupakan perjuangan paling berat dari semua perjuangan yang pernah dan akan kita lakukan. Namun demikian, ia juga menunjukkan bahwa perjuangan seberat itu tidaklah mustahil menghasilkan kemenangan. Kisah tigatokoh kita itu adalah kisah kemenangan manusia melawan dirinya sendiri. Moral kisah itu tentu saja sudah sangat tua,tetapi ia memiliki relevansi abadi dengan sejarah umat manusia.

Dengan kemenangan dan seluruh perjuangan yang luar biasa itulah, ketiga tokoh kita ini mencapai kedudukan yang begitu istimewa di mata Allah Swt, yang dapat kita lihat jejaknya dengan kasat mata hingga hari ini. Yaitu, Siti Hajar dan NabiIsmail dikubur di dalam ka’bah, rumah Allah, baytullâh yang dibangun oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Bahwatak seorang pun dikubur di dalamka’bah selain Siti Hajar dan Nabi Ismail, jelaslah bahwa itu merupakan bukti keistimewaan sang ibu dan sang anak, manusia-manusia agung itu. Adapun Nabi Ibrahim, ialah satu-satunya rasul yang oleh Allah dijadikan sahabat karib-Nya sendiri.Wattakhadza ‘l-Lâhu Ibrâhiîma khalîlan (QS4: 125).

Ibadah haji secara lahiriah sesungguhnya merupakan “napak tilas” terhadap jihad akbar Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, dan Siti Hajar itu. Atas perintah Allah, Nabi Muhammad melembagakan secara formal napak tilas itu dalam berbagai bentuk praktik ibadah dalam rangkaian ibadah haji. Yang menarik adalah, berkat ajaran Rasulullah Saw, ketiga tokoh kita ini menjadi medan magnet abadi yang menyedot jutaan umat Islam di seluruh dunia ke pusat pengurbanan yang tiada bandingannya. Nabi Ibrahim adalah pusat abadi gravitasi kerohanian yang telah memberikan inspirasi pada jutaan manusia tentang bagaimana manusia seharusnya memposisikan diri di hadapan Allah Swt, di hadapan diri sendiri, di hadapan sesama manusia, dan di hadapan alam semesta.

Sekitar satu juta umat Islam (jamaah haji) dari seluruh dunia berangkat ke tanah suci setiaptahun, sebisa mungkin mereka menanggalkan egoisme pribadi masing-masing, dan disana mereka lebur bersama sebagai atom-atom kecil ciptaan Allah, berharap mereka menemukan secercah cahaya Ibrahim, cahaya Ismail, dan cahaya Siti Hajardi dalam diri mereka. Bersamaan dengan itu, sebanyak 1,3 miliar umat Islam diseluruh dunia ambil bagian dalam karnaval besar kerohanian yang dahsyat ini, ambil bagian dalam repertoar akbar usaha menemukan spirit pengurbanan yang luarbiasa ini. Mereka merayakan Idul Adlha dan sebagian menyembelih hewan korban. Semuanya ditarik oleh medan magnet dan pusat grafivitasi abadi kerohanian yang tiada bandingannya, ialah kisah pengurbanan Nabi Ibrahim, Siti Hajar, dan Nabi Ismail.

Hari-hari ini 4 ribu tahunyang lalu, Nabi Ibrahim dan Siti Hajar melempar setan yang menggodanya untuk membatalkan perintah mengurbankan Nabi Ismail. Dan hari-hari ini di Mina, 1juta jamaah haji melempar jamarat, lambang setan, egoisme, kesombongan, kemunafikan, dan kekufuran. Maka hari-hariini juga marilah kita melempar jamarat di dalam diri kita. Ya, kita adalah balatentara yang maju ke medan perang, tidak untuk mengalahkan siapa-siapa, kecuali mengalahkan diri sendiri. Dan, ketika kita berhasil mengalahkan diri sendiri itulah, kita meraih kemenangan yang sesungguhnya. Yaitu kemenangan yang menyelamatkan kita dan (seluruh) umat manusia. Amin. Salam. []

“Catatan Kebudayaan” majalah sastra Horison, edisiOktober 2014.



DPD PKS Siak - Download Android App


«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama
0 Comments
Tweets
Komentar

Tidak ada komentar

Leave a Reply

Komentar sehat anda..