Select Menu

Iklan 1080x90

SaintekSIROH

PKS BERKHIDMAT UNTUK RAKYAT

BERITA SIAK

FIQIH

SIROH

Kesehatan

Saintek

Video Pilihan

» » DUA TANDA MATINYA HATI

DUA TANDA MATINYA HATI


By: admin Selasa, 02 Juni 2015 0

PKS SIAK, Orang-orang yang selamat adalah mereka yang beriman dan menghadap kepada Allah Ta’ala dengan hati nan selamat. Hati yang senantiasa terpaut kepada Allah Ta’ala. Ialah pribadi yang bicaranya tasbih, diamnya berpikir, langkahnya jihad, dan keseluruhan waktunya dimanfaatkan dalam rangka melakukan amal saleh.

Waktu mereka efektif, kehidupannya sempurna. Tak ada cacat sebab yang mendominasi adalah kebaikan. Karenanya, mereka hidup di dunia dengan bahagia dan kelak menghadap Allah Ta’ala dengan sumringah. Tempatnya surga yang penuh dengan kenikmatan di dalamnya.

Berlawanan dengan mereka, ada sosok yang hatinya mati. Gelap. Gulita. Tanpa cahaya. Tak ada kehidupan. Jika pun terlihat bernafas, sejatinya mereka mati. Bahkan, mereka dianggap tidak ada meski jasadnya masih berkeliaran di muka bumi.

Jangan sampai kita menjadi bagian dari mereka yang mati hatinya. Karenanya, kenalilah cirinya dengan baik. Ibnu Athailah as-Sakandari memberitahukan kepada kita tentang dua ciri matinya hati seseorang.

“Di antara ciri matinya hati,” katanya dalam al-Hikam, “adalah tak adanya perasaan sedih bila terlewatkan kesempatan beramal.” Itulah ciri yang pertama. Sedangkan yang kedua, “Dan tidak adanya penyesalan atas bermacam pelanggaran yang telah engkau lakukan.”

Bahwa di dalam keseluruhan hidup ini terdapat banyak sekali perintah yang harus dikerjakan sebaik mungkin dan larangan-larangan yang wajib dijauhi sejauh-jauhnya. Dari kedua hal ini terlihatlah secara jelas tentang kualitas seorang hamba Allah Ta’ala.

Kesempatan beramal amatlah banyak. Shalat lima waktu setiap hari adalah contoh yang paling mudah. Di dalamnya ada keutamaan berjamaah awal waktu di masjid, mendatangi masjid dalam keadaan berwudhu, menambahinya dengan rawatib yang mu’akkad, menunggu waktu shalat setelah mendirikan shalat, mengisi waktu antara adzan dan iqamah dengan dzikir dan membaca al-Qur’an, dan amalan-amalan sunnah lainnya.

Pertanyaannya, adakah kita merasa sedih saat urung mendirikannya tanpa alasan yang dibenarkan syariat? Apakah ada gulana sebab terlewat dari shalat jamaah? Adakah sedih nan mendominasi saat tidak hadir bersama kaum Muslimin dengan ragam sunnah pilihan yang menyertainya?

Jika tak ada sedih, bahkan kita menganggap melewatkan peluang itu sebagai suatu kebiasaan yang dialami oleh sebagian kaum Muslimin masa kini, mungkin saja hati kita telah mati.

Sebaliknya juga demikian. Apakah kita menyesal selepas berghibah? Apakah kita bersedih setelah melewatkan shalat berjamaah? Apakah kita justru bangga dengan dosa dan kesalahan yang kian menumpuk? Apakah diri ini mengalami sesal yang mendalam atas kealpaan diri?

Jika tak ada sesal setelah lakukan maksiat dan dosa, bisa jadi hati ini benar-benar telah mati.

Hanya kepada Allahlah kita menyembah. Dan hanya kepada Allahlah kita meminta pertolongan.

Kisahikmah



DPD PKS Siak - Download Android App


«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama
0 Comments
Tweets
Komentar

Tidak ada komentar

Leave a Reply

Komentar sehat anda..