Select Menu

Iklan 1080x90

SaintekSIROH

PKS BERKHIDMAT UNTUK RAKYAT

BERITA SIAK

FIQIH

SIROH

Kesehatan

Saintek

Video Pilihan

» » » Hati-hati, Jangan Merendahkan Kemampuan Anak

Hati-hati, Jangan Merendahkan Kemampuan Anak


By: Abol Ezz Jumat, 02 Mei 2014 0


995136_174589672725047_610635530_n-300x223

pkssiak.org - Oleh: Miarti

Pembaca setia…! Mungkin sering dantara kita yang tanpa sadar menyepelekan buah hati kita, apakah melalui sikap, ucapan, gestur, atau bahkan melalui tatapan mata. Contoh sederhana misalnya, anak bertanya tentang sesuatu, lalu kita bersikap datar dan memberi jawaban sekenanya. Contoh lainnya, anak begitu antusias menyampaikan sebuah informasi, lalu kita hanya menyikapinya dengan cara yang sangat sederhana alias cukup hanya dengan berkata; “Ooooh”.

Dan yang lebih menyakitkan bagi anak adalah ketika ia menawarkan atau menyodorkan sebuah ide, lalu kita berkomentar dengan nada yang sentimentil atau dengan sikap reaktif. Contohnya : “Mama, kayaknya dinding rumah itu harus dikasih bantal deh. Biar kepala Si Adek gak sakit kalo kejedot.” Mendengar penuturannya yang unik, sang Mama langsung menjawab dengan tergesa; “Itu kan berlebihan. Masa dinding tembok dilapisi bantal…? Yang wajar saja lah…!”

Nah, bagi siapa saja diantara Ayah dan Bunda yang merasa pernah berkomentar senada, cukup sudah dan jangan sampai terulang. Komentar atau sikap demikian sangat menjatuhkan. Bagi seorang anak, sebetulnya sangat wajar untuk berkomentar apapun. Termasuk memberi ide se”gila” apapaun. Karena mereka memiliki energi dan potensi yang bisa jadi jauh lebih berkapasitas daripada kita. Sementara tugas utama kita adalah menyisipkan berbagai pesan sehingga mereka tetap berada dalam bingkai-bingkai normatif.

Selanjutnya, satu hal yang sering tidak kita sadari yang termasuk dalam konteks “merendahkan” anak adalah, kita mengobrol panjang lebar dan heboh dengan lawan bicara yang sesama orang dewasa. Sementara anak kita mematung sendirian sambil mendengarocehan kita yang belum tentu dipahami atau belum tentu layak untuk ia dengar. Pada saat “obrolan seru” kita berlangsung, sementara ia hanya duduk diam tanpa diakrabi atau bahkan disapa, pada saat pula ia merasa dirinya dinomorduakan atau bahkan tidak dianggap apa-apa.

Suatu saat, kita semua perlu untuk belajar membalikkan sudut pandang. Dalam hal ini, kiranya perlu bagi kita utuk membuat sebuah pertanyaan tentang bagaimana rasanya jika kita tidak diacuhkan atau tidak dipedulikan orang. Sakit hati bukan? Atau bahkan kita merasa tidak dihargai atau merasa tidak dianggap apa-apa.

Nah, demikian pula dengan buah hati kita. Mereka sama dengan kita. Meskipun mereka masih kecil dan kita orang dewasa, tetapi mereka dan kita sama-sama memiliki perasaan standar seperti merasa tidak dihargai, merasa dilecehkan, merasa dihinakan, dan lain-lain.

Masalahnya, egosentrisme kita sebagai manusia dewasa kadang-kadang kurang bersikapqona’ah dalam mengakui kelebihan mereka. Sehingga yang tertancap kuat dalam persepsi kita adalah bahwa;
  • Anak hanyalah sesosok makhluk kecil yang belum mengerti apa-apa
  • Anak hanyalah sosok tak berdaya yang cukup menjadi objek diktatoris orang dewasa
  • Informasi yang disampaikan anak tidaklah se-valid informasi yang disampaikan orang dewasa
  • Pertanyaan anak hanyalah pertanyaan biasa yang tidak terlalu berarti apa-apa atau bahkan membuat orang dewasa merasa kesal
Padahal semestinya, kita memiliki ruang khusus dalam jiwa kita masing-masing untuk menyimpan persepsi positif tentang anak. Dan diantara persepsi positif itu adalah;
  1. Setiap pertanyaan yang diajukan anak adalah salah satu bukti dari kuriositas (rasa ingin tahu) mereka
  2. Anak itu brilian, sehingga mampu mengeluarkan komentar atau argumen atau gagagsan yang menakjubkan. Bahkan kalimat-kalimat unik yang tidak kita bayangkan sekalipun berpotensi muncul dan mengalir dari mulut seorang anak.
  3. Anak itu memiliki sensitifitas yang cukup tinggi, sehingga mereka mampu menakar kadar kita dalam memberi respon. Dan mereka pun sangat cerdas dalam mencicipi hambar dan lezatnya respon yang kita berikan.
  4. Anak memiliki urutan kebutuhan yang sama dengan orang dewasa (kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan rasa nyaman, kebutuhan untuk DIHARGAI dan kebutuhan untuk beraktualisasi)
Oleh karena itulah, menjadi orang tua memang butuh latihan yang ikhlas dan sustainable(berkesinambungan). Termasuk latihan merespon sikap atau ucapan atau antusiasme anak. Dan diantara latihan yang semestinya menginternalisasi dalam kehidupan kita sehari-hari adalah;
  1. Menjadi pendengar yang baik
  2. Murah dalam memberi penghargaan
  3. Menjaga ekspresi wajah dan gestur agar tetap hangat dan acceptance
  4. Memberi komentar yang baik dan mendidik, bukan komentar yang merendahkan dan menyakitkan
  5. Mengapresiasi ide-ide briliannya
  6. Menghargai privasinya
  7. Memberikan tugas yang ia sanggupi dan ia senangi
  8. Berbaik sangka terhadap maksud atau rencana yang ia miliki
  9. Mintai opini atau pendapat untuk menyelesaikan sebuah persoalan
  10. Jika ada yang salah dengan dirinya, beritahukan dengan bijak dengan cara personal alias tidak di depan orang lain.
Berikutnya, salah satu latihan yang tidak boleh terlewatkan adalah latihan mengurangi kesombongan posisi. Artinya, hanya karena posisi kita sebagai orang tua, tidak berarti bahwa kita boleh berbuat sekehendak serta menilai anak kita sebagai makhluk yang belum memiliki kemampuan apa-apa. Sebaliknya, yang terbaik untuk kita adalah merefleksi tentang seberapa besar penghargaan kita terhadap anak. Selanjutnya, kita bersama-sama memahami bahwa dalam bentuk apapun kita merendahkan kemampuan anak, semuanya termasuk dalam kategori pelecehan psikologis. Oleh karena itulah, mari belajar lebih bijaksana, sehingga kondisi emosinya yang positif dan rentan, tidak lagi terluka dan terluka.

Alloohu ‘alam bish showaab. Semoga bermanfaat.
[pksjatim]


DPD PKS Siak - Download Android App


«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama
0 Comments
Tweets
Komentar