Select Menu

Iklan 1080x90

SaintekSIROH

PKS BERKHIDMAT UNTUK RAKYAT

BERITA SIAK

FIQIH

SIROH

Kesehatan

Saintek

Video Pilihan

» » Jalan Mengenali Kekurangan Diri Sendiri

Jalan Mengenali Kekurangan Diri Sendiri


By: admin Sabtu, 31 Mei 2014 0

http://www.hasanalbanna.com/harokah/wp-content/uploads/2014/02/Firadi-Nasruddin-460x250.jpg

pkssiak.org

الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ


“Orang yang cerdas adalah orang yang mengenal dirinya sendiri (selalu bermuhasabah terhadap kekurangan-kekurangan diri) dan beramal untuk bekal setelah kematiannya.” (HR. Tirmidzi).

Saudaraku,

Orang yang cerdas dalam pandangan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah orang yang mengenali diri sendiri. Persoalannya adalah sering kita mengenali kelebihan-kelebihan diri kita yang tak seberapa, namun kita tidak mampu meraba kekurangan-kekurangan, kelemahan dan aib yang selalu melekat pada diri kita.

Bahkan tidak jarang, kelebihan dan prestasi yang telah kita raih membuat kita ujub dan bangga diri, dan melupakan Zat yang telah melapangkan untuk kita jalan-jalan kemudahan dan meringankan langkah kaki kita untuk menggapai kesuksesan dan kejayaan tersebut. Padahal tanpa pertolongan dan bantuan-Nya, kita tak akan pernah menggapai apa yang kita impikan.

Dan hal ini tentunya merupakan bencana besar bagi kita yang sedang mengadakan perjalanan menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala. Berarti kita telah menambah beban berat di pundak kita. Yang akan menghalangi kita berjumpa dengan Zat yang Maha Agung lagi Maha Kuat.

Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anh pernah berucap, “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati seseorang yang menunjukan untukku kekurangan-kekuranganku.”

Kita akan sangat berterima kasih kepada orang yang berkenan memberikan informasi bahwa seekor ular berbisa masuk ke dalam rumah kita atau menunjukan noda kotoran yang ada pada baju dinas kita.

T
api kita justru tersinggung, jika ada orang yang menyampaikan tentang kelemahan dan kekurangan bekal kita menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala. Atau sifat-sifat tercela yang dilihatnya dari kita. Atau kebiasakan buruk yang sering kita perbuat.

Kita bergembira, jika ada orang yang menyelamatkan kita dari gangguan yang akan mengancam fisik kita dan keluarga (seperti ular berbisa), tapi kenyamanan kita malah terusik, jika ada orang yang menjauhkan kita dari sengatan api neraka. Dengan mengingatkan kekurangan dan kealpaan kita serta sifat-sifat buruk yang harus kita benahi untuk menghadap-Nya.

Saudaraku,

Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah, dalam karyanya “Mukhtashar Minhaj al-Qashidin” berbagi pengalaman untuk kita agar kita selalu mengenali kekurangan diri dan meraba aib-aib kita:

Berkonsultasi kepada seorang tokoh agama (terpercaya) yang mendalami persoalan ini (aib dan kelemahan diri), lalu ia menunjukan aib diri kita dan memberikan obat penawar agar kita terbebas dari penyakit yang mendera kita. Ia ibarat seorang tabib yang kita perlukan setiap saat dan kita harus selalu berdekatan dengannya.

Saudaraku,

Sebagaimana kita biasa bertanya kepada pakar bisnis, agar kita sukses dalam bisnis kita. Bertanya kepada pakar bidang pertanian, dengan tujuan agar kita berjaya dalam menggarap sawah ladang dan kebun kita. Dan seterusnya. Tapi jarang di Antara kita yang memiliki perhatian serius untuk selalu mengadakan konsultasi intensif kepada ahli agama, yang akan membantu kita meraih sukses di akherat sana. Dengan menunjukan kepada kita bekal-bekal meraih keberuntungan di sana. Dan kiat-kiat menjauhi aib dan kekurangan diri yang akan menghambat perjalanan kita ke sana.

Meminta salah seorang sahabat yang jujur, cerdas dan Islami sebagai pengontrol dan pengawas agar kita tak terjatuh ke jurang akhlak yang tercela dan ucapan yang mendatangkan kebencian-Nya.

Saudaraku,

Umar radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Hudzaifah bin Yaman, apakah ia termasuk dalam kelompok orang-orang munafik. Ia pernah pula meminta kepada Salman al-Farisi untuk mendengarkan suara rakyat perihal kepemimpinannya.

Demikian pula di Antara sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, jika bertemu satu sama lain saling menanyakan tentang kabar keimanannya hari ini dan seterusnya. Berbeda dengan kita, jika bertemu dengan sahabat-sahabat kita, yang kita bicarakan adalah persoalan bisnis dan dunia. Seolah-olah hanya kebahagiaan dunia yang ingin kita gapai. Padahal kerugian dan kebangkrutan di akherat telah mengintai kita, wal ‘iyadzu billah.

Mendengarkan kelemahan-kelemahan kita dari lisan orang-orang yang membenci kita (para pesaing kita). Karena pandangan mata mereka teramat tajam menyisiri kelemahan-kelemahan diri kita.

Saudaraku,

Pernahkah kita mendengarkan suara-suara orang yang membenci dan memusuhi kita? Pernahkah kita meminta orang yang dekat dengan kita, untuk menulis makalah dengan judul “penilaian masyarakat dengan kita”.

Jika ini kita perbuat, mudah-mudahan kita akan mengenal kelemahan, kekurangan dan aib-aib kita dari orang-orang di sekitar kita. Bisa jadi kita akan menangis, dengan banyaknya catatan buruk dan komentar miring dari orang lain tentang kita.

Yang sebelumnya kita merasa bahwa diri kita sarat dengan kelebihan, berhiaskan prestasi dan memiliki kemampuan dan pesona diri yang mengagumkan.

Ternyata di mata masyarakat, kita dikenal pribadi yang angkuh, sombong, memiliki kepribadian yang rapuh, mudah tersinggung, senang dengan pujian, pamer dengan amalan dan yang seirama dengan itu.

Bergaul dan berinteraksi dengan masyarakat. Setiap tindakan dan perilaku mereka yang tidak kita sukai, kita jauhi dan hindari. (Karena jika kita berbuat seperti mereka, maka hal itu merupakan sebuah aib atau kekurangan yang dibenci pula oleh orang lain).

Saudaraku,

Jika kita mendengar keburukan dan aib kita dari lisan masyarakat, untuk perbaikan dan maslahat diri kita. Sebaliknya, kita amati dan pelajari sifat-sifat buruk dan perilaku mereka yang tak kita sukai, bukan untuk membeberkan aib mereka. Atau kita jadikan sebagai catatan dan raport buruk mereka, yang sewaktu-waktu bisa jadikan senjata untuk melumpuhkan mereka. Tapi tujuannya adalah agar kita dapat menjauhi sifat-sifat dan perangai buruk tersebut, agar kita dicintai oleh penghuni bumi dan langit sana.

Saudaraku,

Mengenali kelemahan diri, tidak akan memberikan faedah apa pun kepada kita, jika kita tidak mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka mari kita lanjutkan pendakian kita menuju puncak ubudiyah dengan menambal kekurangan dan aib diri kita dan sudah barang tentu dengan selalu menambah ma’rifat kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Sudahkah kita menjadi orang yang cerdas? Wallahu a’lam bi shawab.

Metro, 27 Mei 2014
Abu Ja’far.[HA]


DPD PKS Siak - Download Android App


«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama
0 Comments
Tweets
Komentar