Menyoal Gagasan Islam Nusantara
Oleh: Mahmud Budi, Lc
Penulis Bina Qalam Indonesia
SAMPAI saat ini, gagasan “Islam Nusantara”, masih menjadi buah bibir di media massa. Menariknya, organisasi besar PBNU dalam muktamar ke-33 bulan Agustus mendatang, mengangkat tema: “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia” (www.m.nu.or.id 09/03/2015).
Memperjelas Makna
Prof. Dr. Said Aqil Siraj dalam acara Istigotsah menyambut Ramadhan dan Pembukaan MUNAS alim ulama NU, Minggu(14/06) di Masjid Istiqlal Jakarta, menyatakan Islam Nusantara adalah, “Islam dengan cara pendekatan budaya, tidak doktrin yang kaku dan keras. Islam Nusantara ini didakwahkan merangkul budaya, melestarikan budaya, menghormati budaya, tidak malah memberangus budaya. Berbeda dengan Islam Arab(yang selalu konflik dengan sesama Islam dan perang saudara).” Presiden Jokowi pun dalam sambutannya, mendukung istilah ‘Islam Nusantara’(BBC Indonesia 15/06/2015).
Dari pemaparan Ketua Umum PBNU, dapat ditarik beberapa kata kunci dalam memahami makna ‘Islam Nusantara’. Pertama, Islam yang didakwahkan dengan pendekatan budaya. Kedua, tidak kaku dan keras. Ketiga, toleran. Keempat, bertentangan dengan ‘Islam Arab’.
Pro dan Kontra
Tokoh-tokoh yang setuju dengan pandangan ‘Islam Nusantara’ -sebagaimana Ketua PBNU-, adalah: Wapres. Jusuf Kalla, Prof. Azzumardi Azra, dan Sejarawan NU Dr. Agus Sunyoto(Penulis Atlas Walisongo).
Uniknya, di tubuh NU sendiri, rupanya penyebutan Islam Nusantara, masih menuai kritik. Pesantren Sidogiri misalnya, melalui akun twitternya menyatakan: “Tidak ada istilah Islam Nusantara. Islam untuk semua.”(23 Mei 2015/00.06). KH. Hasyim Muzadi (Anggota Dewan Pertimbangan Presiden) pernah mengutarakan, “Islam rahmatan lil `alamin (rahmat bagi seluruh alam) itu lebih otentik karena tercantum dalam Alquran sehingga tidak salah lagi. Kalau Islam Nusantara, nanti di Singapura saja sudah tidak diterima. Menggunakan nama lokal atau nasional saja, nanti yang lain tidak tercakup. Nanti ada Islam Amerika, Islam Manila dan lainnya. Kalau Islam rahmatan lil `alamin paling jitu.(www.antaranews.com, 21 Mei 2015).
Senada dengan Mantan Ketua PBNU, Ismail Yusanto, Jubir HTI mempertanyakan penggunaan istilah, ‘Islam Nusantara” yang diperhadapkan dengan ‘Islam Arab’. Ia menandaskan, “Agak kurang fair kalau membandingkan Timur Tengah sekarang dengan Indonesia pada tahun 2015. Tidak ada perbedaan Islam Indonesia dan Islam Timur Tengah dalam kerangka melawan ‘Penguasa Diktator’. Resolusi Jihadnya Hasyim Asyari (pendiri NU) di tahun 1945, 1949, itu `kan beliau mendapat inspirasi resolusi jihad `kan dari Islam. Dan beliau mengkajinya dari sumber Timur Tengah,”(BBC Indonesia 15/06/2015).
Menguji Ketepatan Gagasan
Terlepas dari pro dan kontra masalah gagasan “Islam Nusantara”, perlu kiranya diuji secara kritis mengenai ketepatan penggunaan istilah yang masih dinilai kontroversial.
Paling tidak ada beberapa hal yang perlu dipertanyakan: Pertama, apakah tepat kata ‘Islam’(sebagai agama) disandingkan dengan ‘Nusantara’(sebagai sifat, predikat)? Bukankah secara bahasa, bila kata ‘Islam’ ditambah dengan kata sifat atau predikat lain, malah akan mempersempit maknanya.
Kedua, Islam yang mengikuti budaya atau budaya yang mengikuti Islam? Dalam Islam ada ranah tsawābit [permanen, tidak bisah berubah] dan mutaghayyirāt[dinamis, yang memungkinkan berubah]( Ṣalāḥ Ṣāwī, al-Tsawābit wa al-Mutaghayyirāt). Jika ‘Islam mengikuti budaya’, jika digeneralisir, maka hal-hal yang sudah tetap seperti dasar-dasar akidah, ibadah mahdhoh, serta nilai-nilai akhlak akan disesuaikan dengan budaya lokal. Kalau ‘budaya yang mengikuti Islam’, maka budayanyalah yang disesuaikan dengan Islam.
Ketiga, apa batasan keras dan kaku dalam Islam? Kemudian siapa yang berhak menilai? Ini perlu diperjelas di tengah atmosfir penyudutan Islam dengan isu terorisme dan radikalisme. Kalau yang berpegang teguh dengannya dianggap keras dan kaku, maka Islam bagaimana yang diinginkan? Apakah Islam plural, liberal yang sinkron dengan ruh pemikiran Barat?
Keempat, apa yang dimaksud dengan toleransi? Bila yang dimaksud toleransi adalah membiaskan dan menjadikan Islam lebur dengan agama lain serta kepercayaan kebatinan yang bertentangan dengannya, maka ini sangat berlawanan dengan Islam(Qs. Ali Imran: 19, 85). Kelima, apakah tepat ‘Islam Nusantara’ dihadapkan dengan ‘Islam Arab’? Bukankah yang lebih tepat dihadapkan adalah Muslimnya? Yang masalah –jika ada kesalahan-, Islam apa Muslimnya?
Cermin Sejarah
Nabi Muhammad S.A.W orang Arab. Namun, Islam yang beliau bawa adalah Islam yang universal. Simak bagaimana universalitas dakwah nabi sejak di Makkah: “Katakanlah tiada Ilah selain Allah! Kalian pasti akan beruntung, dan akan memikat hati orang Arab dan non-Arab”(Subulu al-Huda, 2/451).
Pemeluk Islam, sejak awal terdiri dari berbagai suku bahkan di luar bangsa Arab, seperti Etiopia(Bilal), Persia(Salman), Roma(Shuhaib bin Sinan) (Sirah Ibnu Hisyām).
Ketika beliau mengirim surat kepada para raja pada tahun ke-7 hijriah, ajakan dakwahnya sangat universal, “Masuklah Islam, kalian akan selamat”(Abu Nu`aim, Dalāil al-Nubuwwah, 1/343). Sama sekali tidak ada atribut lain, kecuali ‘Islam’.
Sepanjang dakwah, meskipun akrab dengan budaya Arab, beliau tidak menyesuaikan Islam dengan budaya, justru sebaliknya budaya-budaya yang tidak sesuai dengan Islam, disesuaikan dengannya. Sebagai contoh: budaya adopsi, poligami dibatasi, standar kemuliaan yang dulunya karena harta diganti dengan kualitas takwa. Beliau pun sangat toleran, selama tidak menyangkut masalah ushul(As-Suhaili, al-Raudhu al-Anfu, 3/199).
Menariknya, coba simak penggalan teks pidato haji Wada` nabi: “Yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertakwa. Orang Arab tidak lebih utama dari orang non-Arab, melainkan dengan takwa”(Muhammad Khudhari, Nūr al-Yaqīn, 229). Dengan demikian, masih tepatkah penggunaan istilah atau gagasan Islam Nusantara?
Sumber islampos